Pernah suatu saat saya merasa sangat bodoh, yaitu semasa sekolah di bangku SMP
dan SMA. Otak seperti sulit digunakan untuk memahami materi pelajaran. Berada
di sekolah merupakan penderitaan tak berkesudahan. Setiap hari dihantui
perasaan gelisah, khawatir tidak bisa mengerjakan soal dan takut pada pelototan
mata guru yang tak punya belas kasihan.
Sesampainya di rumah, saya sebenarnya ingin membaca dan mengulang pelajaran
tetapi otak seperti tidak bisa mencerna tulisan dan angka yang ada di hadapan. Padahal
kalau dipikir-pikir sekolah adalah kewajiban bagi anak-anak seusia saya. Beda
sekali rasanya ketika bermain-main atau membaca komik, ada perasaan senang yang
menggumpal dan seperti ada dahaga yang terpenuhi. Akan tetapi aktifitas seperti
ini justru yang sering dianggap mengganggu anak-anak dalam rangka melakukan
kewajiban sekolahnya.
Ketika kuliah saya mulai kagum sama teman-teman yang aktif berorganisasi. Keren
sekali melihat mereka berdiskusi dan berbicara di depan audience dengan rasa
percaya diri. Ketika saya sudah bekerja ada beberapa teman yang berprofesi sebagai motivator
dan muballigh yang laris diundang ke sana kemari. Profesi yang sangat
prestisius menurut saya. Ingin sekali seperti mereka, popularitas dan
kecukupan finansial tentu saja menjadi alasan utama. Tetapi ketika mulai melangkah untuk
masuk ke bidang-bidang tersebut kaki terasa berat. Ada
perasaan gelisah yang kuat menghambat ditambah dengan perasaan terbebani.
Akhirnya saya lebih
memilih menghabiskan waktu dengan menenggelamkan diri bersama buku-buku. Ternyata
aktifitas inilah yang lebih menyenangkan dan memberi rasa aman. Nah, dari membaca
buku itulah akhirnya bisa dipahami bahwa kondisi seperti ini disebabkan karena
saya belum memahami potensi unik saya sendiri. Belum menemukan passion
dalam hidup, begitulah menurut buku-buku motivasi yang saya baca. Karena belum menemukan potensi diri, seseorang tidak bisa
mencintai aktifitas atau pekerjaan selain yang sesuai dengan potensi tersebut.
Sebenarnya ada korelasi positif antara potensi diri dengan aktifitas yang
dicintai atau aktifitas yang membuat gembira, fun, dan enjoy. Bisa saja
dikatakan bahwa aktifitas yang dicintai itu salah satu cermin potensi diri
seseorang. Atau, di dalam aktifitas tersebut tersimpan potensi dirinya. Leider
dan Shapiro dalam bukunya Whistle While You Work mengatakan, ”Lakukanlah apa
yang Anda sukai, bukan apa yang harus Anda lakukan. Dengan melakukan apa yang
Anda sukai, Anda meningkatkan kemungkinan bahwa pekerjaan yang Anda lakukan
akan sesuai dengan bakat Anda”.
Gordon Dryden & Dr. Jeannette Vos mengungkapkan, ”Setiap anak secara
potensial pasti berbakat –tetapi ia mewujud dengan cara yang berbeda-beda.
Setiap orang juga memiliki gaya belajar, bekerja dan karakter yang unik. Orang
dari segala usia dapat belajar apa saja jika diberi kesempatan untuk
melakukannya dengan gaya unik mereka, dengan kekuatan pribadi mereka sendiri.”
Canfield mengatakan, ”Kita semua diberkati dengan beberapa talenta yang
dianugerahkan Tuhan. Sebagian besar kehidupan kita itu adalah untuk menemukan
apa saja talenta kita, lalu memanfaatkan serta menerapkannya dengan sebaik
mungkin. Proses penemuan ini bisa memakan waktu bertahun-tahun bagi banyak
orang dan ada yang tidak pernah benar-benar memahami apa saja talenta
terbesarnya. Konsekuensinya, kehidupan mereka kurang memenuhi. Orang-orang ini
cenderung bergumul dengan kegalauan karena mereka habiskan sebagian besar waktu
mereka dalam pekerjaan yang tidak sesuai dengan kekuatan mereka. Ibarat
memaksakan pasak persegi ke dalam lubang bulat, hal itu sangat tidak efektif
dan menimbulkan banyak stress serta frustasi.”
Tyler G. Hicks berkata, ”Banyak orang bersusah payah selama bertahun-tahun
karena membenci aktifitasnya. Jika Anda tidak menyukai pekerjaan Anda, sangat
kecil kemungkinannya Anda akan meraih kesuksesan.
Bila kita mencintai secara absolut apa yang kita lakukan, peluang sukses akan
menjadi cukup besar. Sebagian besar orang tidak jujur mengatakan ini. Sering
menerima pekerjaan yang ditawarkan, meski mereka tidak menyukainya. Padahal untuk
menemukan karier yang ideal seseorang harus memahami diri sendiri terlebih dahulu.
Dalam jangka panjang, tidak mungkin untuk bekerja dengan tingkat produktifitas
yang tinggi bila kita tidak menyukai sebuah pekerjaan. Kalau kita melakukan
aktifitas yang kita cintai, kita bisa sangat asyik, sehingga bisa lupa waktu
atau bahkan lupa makan.
Mihaly Scikszenmihhalyi dikutip Leider dan Shapiro mengatakan, ”Ketika
sedang mengungkapkan potensi diri, kita cenderung masuk ke dalam kondisi
mengalir. Kita menjadi sangat terlibat dengan apa yang sedang kita lakukan,
begitu dalam terlibat sehingga seolah waktu mencair. Waktu menjadi tidak
penting. Satu jam, bahkan seharian penuh bisa berlalu dalam sekejap”.
Marwah Daud Ibrahim menulis, ”Terlalu banyak di antara kita merasa kecil
hati dan rendah diri, seolah-olah bukan siapa-siapa. Padahal, setiap kita
adalah spesial dan unik. Setiap kita memiliki potensi besar untuk sukses dan
berhasil. Asal saja kita mau secara serius mengenal potensi diri kita yang
sesungguhnya. Setiap kita adalah unik. Tiap-tiap kita adalah sesuatu yang sama
sekali baru di muka bumi ini. Tidak ada seorangpun yang pernah ada dan yang
akan ada persis seperti kita. Kita harus mengenal diri kita dan berusaha
menjadi diri kita yang terbaik. Berbagai analisis, antara lain oleh William
James, menyatakan bahwa manusia rata-rata mengembangkan hanya 10% dari potensi
yang mereka miliki”.
Seto Mulyadi mengatakan bahwa masing-masing anak memiliki keelokan dan
keunggulan pribadi sesuai dengan bakatnya masing-masing. Mereka bagaikan bunga
aneka warna di taman sari keluarga yang indah. Bunga-bunga itu tidak mungkin
dipangkas begitu saja sama rata karena setiap bunga memiliki pesona
masing-masing. Apabila bunga-bunga tersebut disiram dengan penuh kasih sayang,
maka bunga-bunga itupun akan tumbuh merekah dengan semakin indah. Demikian pula
halnya dengan anak-anak dalam sebuah keluarga.
Ibrahim Hamd Al-Qu’ayyid mengutip Muhammad Qutub, ”Jika bukan karena
potensi yang telah ditanamkan Allah SWT dalam diri manusia, niscaya manusia
akan menghabiskan hidupnya hanya untuk belajar berjalan, berbicara atau berhitung”.
Dr. ’Aidh ibn Abdillah al-Qarni mengungkapkan, ”Biasakan diri Anda untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang membuat Anda gembira. Setelah Anda menentukan
apa saja hal-hal yang membuat bahagia, jauhi hal-hal lain dari pikiran Anda.
Lakukan semua kemungkinan yang mengarah pada terrealisasikannya hal-hal yang
membuat bahagia itu dan jauhkan yang lainnya.
”Kita diciptakan dengan bakat tertentu untuk melakukan sebuah pekerjaan
tertentu pula”. Bakat, karakter, temperamen dan potensi itu benar-benar diciptakan
Allah SWT, kemudian dianugerahkan kepada kita dalam rangka mengemban tugas
sebagai khalifah di muka bumi. Setiap orang diberikan Allah SWT bakat yang
unik, ini karena Allah SWT menghendaki terjalinnya kerja sama antar makhluk.
Kita diciptakan dengan bakat tertentu untuk melakukan sebuah pekerjaan tertentu
pula. Belum cukupkah bukti bahwa masalah potensi diri atau bakat adalah masalah
yang sungguh-sungguh besar? Bukankah sudah waktunya bagi kita untuk benar-benar
serius merenungi dan menggali soal potensi diri tersebut.
”Permasalahan ingin menjadi diri sendiri adalah sesuatu yang sudah tua,
setua sejarah dan sangat umum sekali, seperti kehidupan manusia. Seperti halnya
permasalahan ingin tidak menjadi diri sendiri, ini juga menjadi sumber yang
banyak menimbulkan masalah psikologis. Tidak ada orang yang paling menderita,
melebihi orang yang tumbuh tidak menjadi dirinya sendiri dan tidak hidup dengan
pikirannya sendiri. Akan sampai waktunya nanti ketika ilmu pengetahuan manusia
sampai pada sebuah keyakinan bahwa kedengkian (perasaan ingin menjadi seperti
orang lain) itu adalah sebuah kebodohan dan meniru-niru kepribadian orang lain
adalah bunuh diri.
Di dalam kitab suci
al-Quran juga disebutkan:
Dia (Musa) menjawab,
”Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala
sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (Surat Taha ayat 50). Artinya adalah sesungguhnya Allah menciptakan bentuk
dan potensi segala sesuatu sebaik-baiknya. Kemudian memberi petunjuk untuk
memanfaatkan bentuk dan potensi tersebut dengan sebaik-baiknya pula.
Pada bagian ayat yang lain juga disebutkan:
Katakanlah
(Muhammad), ”Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” Maka
Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Surat Al-Isra’ ayat
84).
Penjelasan dari ayat ini mengungkapkan bahwa setiap manusia diciptakan
untuk berbuat sesuai dengan kondisi sifat, karakter dan potensi (passion)yang
melekat pada diri mereka. Passion atau kondisi sifat, karakter dan
potensi pada diri manusia itulah yang nanti akan menuntun kehidupannya.
Nabi Muhammad juga sudah mengemukakan hal itu dalam hadits yang
diriwayatkan Imam Muslim. Beliau bersabda ”Segala sesuatu sudah ada ukurannya (qadar),
sampai pada sifat pasif dan agresif pada diri seseorang.”
Kesimpulannya adalah jika seseorang ingin bahagia dia harus berusaha untuk
mengenali dan menemukan jalan kehidupannya sendiri melalui segala kelebihan,
kekurangan dan potensi yang melekat pada dirinya (muhasabah, muraqabah).
Untuk selanjutnya menapaki jalan yang sudah ditemukannya tersebut, serta harus
dihindari keinginan untuk menapaki jalan yang diperuntukkan bagi orang lain (hasud/iri
dengki).
”Fokuskanlah dan dekatkanlah (kehidupan kalian dengan
tujuan apa kalian diciptakan), sesungguhnya calon penghuni sorga akan
mengakhiri kehidupannya dengan amal perbuatan penghuni sorga, meskipun
sebelumnya dia berbuat seburuk-buruknya. Dan sesungguhnya calon penghuni neraka
akan mengakhiri kehidupannya dengan amal perbuatan penghuni neraka, meskipun
sebelumnya dia berbuat sebaik-baiknya.”
(Hadits
Sahih Riwayat al-Tirmidzi)