Kalau
dipikir-pikir, selama sekolah, yang secara praktis membekas dan betul-betul
saya rasakan manfaatnya dalam kehidupan justru dari kegiatan ekstra kurikuler. Aktif
di kegiatan Pramuka pada waktu SMP dan organisasi dakwah pada waktu SMA.
Pramuka menurut saya mengajari hidup mandiri dan tidak gamang menghadapi
kesulitan-kesulitan hidup, sedangkan keterlibatan saya di organisasi dakwah telah
membelokkan cita-cita saya yang semula ingin menjadi serdadu menjadi seperti
sekarang ini.
Sebagian
besar keilmuan yang menjadi minat saya justru saya peroleh dari luar lembaga
pendidikan formal dan dari membaca. Ya, selain dari bermain dan berinteraksi
dengan teman-teman di sekolah atau organisasi saya juga membaca. Pada waktu SD
banyak membaca dongeng dari buku perpustakaan sekolah tempat bapak menjadi
kepala sekolah dan dari majalah anak-anak bekas yang dibelikan bapak di loakan
di kota Malang. Sewaktu SMP berlangganan menyewa komik dan novel dari dua
persewaan di desa. Semasa SMA mulai berkenalan dengan buku-buku keagamaan yang
saya temukan di musholla sekolah. Bebas saja membaca apa yang
memang ingin saya baca. Benar-benar menyenangkan. Cuma kemudian ada dampaknya,
saya menjadi tidak nyaman dengan proses pembelajaran yang ada di sekolah.
Aturan seragam (yang tidak
memakai seragam lengkap dipermalukan di depan peserta upacara), tata tertib,
hukuman, sistem ranking, intimidasi menjelang ujian dan sebagainya benar-benar
membuat gelisah. Bahkan sampai sekarang saya masih sering bermimpi ketakutan menghadapi
EBTANAS (nama ujian nasional sekitar tahun 90-an). Sampai muncul pertanyaan
dalam hati bukankah pendidikan itu seharusnya harus memberi harapan dan
kehidupan dalam diri siswa bukan malah memberi kekhawatiran dan kegelisahan?
Eric
Weil seorang filosof Jerman memberikan jawaban tentang tiga hal penting yang sebenarnya
harus terjadi dalam proses pendidikan di keluarga lebih-lebih di sekolah
formal. Pertama, sekolah merupakan tempat untuk mengembangkan
pengetahuan (menuntut ilmu). Kedua, sekolah merupakan tempat untuk
mengalami persahabatan, menghargai keragaman dan mengembangkan dialog. Ketiga,
sekolah merupakan komunitas (yang membekali pengetahuan yang luas dan
pengalaman hidup bersama) yang menumbuhkan idealisme tentang makna hidup
bersama dan tanggung jawab sosial. Ketika sekolah mengabaikan salah satu dari
tiga hal penting tersebut, sekolah tidak mampu memberi sumbangan bagi
terwujudnya masyarakat yang sehat. Sekolah tidak mampu menjalankan peran dan
fungsinya dengan baik.
Fungsi
sekolah sekarang seolah-olah tidak lebih dari pembuat ranking, dari juara
pertama sampai level yang terendah. Menyerupai perlombaan balap karung, siapa
yang menjadi pemenang akan dapat hadiah. Maka orang-orang tua bangga sekali
kalau anaknya menjadi juara kelas. Sangat menjadi kehormatan kalau orang tua
dipanggil ke pentas untuk menerima piagam penghargaan dan hadiah dari sekolah.
Sedangkan anak-anak yang masuk kategori ’bodoh’ hanya bisa menonton dari jauh
dan gigit jari. Coba, dengar saja percakapan orang tua di sekolah saat
pembagian raport: ”Eh anaknya ranking berapa?” ”Kalau anak saya ranking pertama
dong!”.
Sebetulnya
siapa sih yang bisa menjamin anak yang juara pertama nanti setelah dewasa akan
menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama? Terus terang saya pribadi
tidak sreg dengan sistem peringkat di sekolah. Peran guru bukanlah
memilah-milah anak-anak didiknya antara yang pintar dan yang bodoh. Bahkan guru
tidak boleh menampakkan isyarat membeda-bedakan seorang anak didik dengan
lainnya. Apalagi sampai mengatakan
seorang anak didiknya bodoh. Perkataan itu tidak akan membuat dia berubah
menjadi pintar, bahkan akan membuatnya rendah diri, kehilangan kepercayaan dan
bisa merusak masa depannya.
Pendidikan
kita sesungguhnya kehilangan arah dan fokus. Anak-anak didik dijejali berbagai
macam ilmu pengetahuan sehingga kepalanya penuh, luber, dan akhirnya tidak ada
yang nyangkut. Materi pelajaran yang banyak bukan saja tidak efektif tapi juga
membuang waktu dan energi para peserta didik tanpa hasil yang maksimal. Pendidikan
yang hanya mementingkan pengembangan ilmu dengan memberi banyak tugas dan
pekerjaan rumah, tambahan pelajaran dan les privat akan mengurangi atau bahkan
menghilangkan porsi pengembangan karakter dan tanggung jawab sosial. Beban
pembelajaran (kurikulum) yang berlebihan akan merampas waktu untuk memaknai
pengalaman kebersamaan dan menumbuhkan idealisme tentang hidup bersama.
Akibatnya, para pelajar dan mahasiswa akan berkembang menjadi hamba ilmu,
tenaga atau pekerja siap pakai dan kurang mampu berefleksi secara kritis. Akhirnya,
begitu tamat mereka kebingungan mau ngapain.
Sebaik-baik sekolah adalah kehidupan dan sebaik-baik guru
adalah pengalaman.
No comments:
Post a Comment