25 December 2016

PENGETAHUAN HAQQ AL-YAQIN ( ILMU YANG TAK DIAJARKAN: SEBUAH META INTELEKTUAL )


Secara epistemologis dalam tradisi Barat keilmuan terbagi dalam empat aliran mainstream yaitu rasionalisme, empirisisme, positivisme dan post positivisme. Demikian juga dalam tradisi Islam. Selain pembagian Abid al-Jabiri ke dalam nalar Bayani, Burhani dan Irfani juga ada pembagian yang banyak digunakan dalam tradisi tasawuf, yaitu ‘Ilmu al-Yaqin, ‘Ayn al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin.
Menurut al-Sha’rani dalam kitab al-Kibrit al-Ahmar dan 'Abdullah ibnu Abi Bakr al-'Idrus dalam kitabnya al-Kibrit al-Ahmar wa al-Iksir al-Akbar ‘Ilmu al-Yaqin adalah pengetahuan yang bersifat eksplanatif informative deduktif, mencapai kebenaran dengan jalan memperbanyak data. Adapun‘Ayn al-Yaqin adalah pengetahuan yang bersifat logis argumentative induktif, mencapai kebenaran dengan jalan memperbanyak pengalaman empiris di lapangan (demonstrative). Sedangkan Haqq al-Yaqin adalah pengetahuan yang bersifat pengalaman langsung (bārizan, na’t al-‘ayan), tanpa metode, media dan perantara. Kedua pengetahuan yang pertama menyusun metodenya masing-masing dalam mengembangkan keilmuannya.
Al-Qushairy dalam al-Risalahnya memasukkan kedua pengetahuan yang disebut pertama ke dalam wilayah ‘aqli/nadzari (diskursif). Kebenaran keduanya bersifat temporal dan spekulatif. Sedangkan yang ketiga masuk ke dalam wilayah wahbi/kasyfi atau pengetahuan tanpa metode, media dan perantara, kebenarannya bersifat mutlak.
Tradisi akademis Barat memahami pengetahuan yang ketiga ini bersifat intuitif imajinatif teofanik meskipun faktanya tidak identik dengan konsep mereka yang positivistik. Sartre, seorang tokoh Eksistensialis, dalam bukunya The Psychology of Imagination, mengilustrasikan pengetahuan seperti ini ibarat orang yang tidak bisa ikut merasakan sakit yang diderita oleh orang lain, hanya terhenti pada rasa ikut merasakan belaka, sekedar berempati. Dan ini bukanlah perasaan otentik yang dirasakan oleh si sakit. Dibutuhkan pengetahuan yang bersifat intuitif dan imajinatif untuk bisa masuk ke dalam perasaan otentik si sakit.
Tanpa pengetahuan ini manusia akan terpenjara oleh dirinya sendiri dan tidak mampu merasakan sesuatu yang berada di luar dirinya. Lewat pengetahuan intuitif dan imajinatif lah akhirnya manusia akan mempunyai kesadaran dan mengalami kebebasan.
Dari ketiga model pengetahuan di atas, pengetahuan Haqq al-Yaqin merupakan pengetahuan para Nabi, para sahabat Nabi dan orang-orang yang dekat dengan Allah SWT. Lebih kongkritnya ikuti kisah berikut ini:
Diriwayatkan oleh al-Suyuti dalam al-Durr al-Manthur dan Ibnu katsir dalam tafsirnya bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bertanya kepada Zaid ibn Haritsah, “Apa tanda mekarnya bunga-bungaan di taman imanmu? Dapatkah engkau menjelaskan kepadaku tandanya?” Dia menjawab, “Sejak aku kehilangan gairah akan dunia ini, hari-hariku dihabiskan tanpa air dan malamku tanpa tidur. Aku telah melewati hari-hari dan malam-malam ini bagaikan sebuah tombak yang telah menembus perisai. Aku telah mencapai rahasia kepastian dalam pengetahuan melalui pengalaman langsung. Dalam momen kehidupan pada tingkat kesadaran itu, aku mengamati bahwa di sana waktu tidak memiliki keberadaan. Satu jam sama dengan satu abad. Semua yang tampak merupakan manifestasi yang Esa dan Tunggal. Siang dan malam tidak berlaku di sana. Yang ada hanya keabadiaan tanpa awal dan akhir. Itu sebuah dunia, yang melampaui horizon pemikiran terbatas manusia, di mana tak ada ruang dan waktu. Ketika momen ini pertama bangkit, aku merasa seakan-akan melihat singgasana Tuhanku, dan seolah-olah aku melihat para penghuni surga yang saling mengunjungi dan penghuni neraka yang saling membenci.”
Atau yang ini:
Diriwayatkan dari Imam Bukhari tentang ibnu Abbas: Pernah suatu hari Umar mengajakku dalam suatu forum bersama para veteran perang Badar, dan kelihatannya sebagian di antara mereka tidak suka dengan kehadiranku yang masih kanak-kanak. Dia berkata, “Mengapa kau masukkan anak ini bersama kami padahal kami juga punya anak-anak seumuran dia?” Maka Umar berkata, “Sesungguhnya kalian sudah tahu siapa dia.”
Pernah suatu hari Umar memanggil mereka dan juga mengajakku sebagai anak kecil. Aku sama sekali tidak mengira kalau Umar mengajakku hanya untuk dipamerkan kepada mereka. Umar bertanya kepada mereka, “Apa pendapat kalian tentang firman Allah ‘azza wa jalla dalam surah al-Nasr?”
1. “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”,
2. “Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong”,
3. “Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”.
Sebagian dari mereka menjawab, “Kita diperintahkan untuk memuji Allah, memohon ampun kepada-Nya ketika ditolong dan dimenangkan dari musuh-musuh kita.” Dan sebagian dari mereka terdiam tidak berkata sepatah katapun. Kemudian Umar menoleh dan bertanya kepadaku, “Apakah kamu juga berpendapat demikian hai Ibnu Abbas?” Aku menjawab, “Tidak” Dia bertanya lagi, “Lalu apa pendapatmu?” Aku berkata, “Itu adalah kabar tentang ajal Rasulullah SAW yang aku sampaikan kepada beliau, wahai Rasulullah itu adalah tanda-tanda ajalmu”. Umar berkata, “Aku tidak mengetahui tentang hal itu kecuali apa yang telah engkau sampaikan”.

Wallahu a’lam bi al-sawab