25 December 2011

JIKA KAMU MERASA…


Jika kamu merasa bodoh maka berbahagialah karena hal itu akan menghindarkan dirimu dari kesombongan intelektual dan akan mendorongmu untuk semakin tekun mencari ke dalam untuk menemukan pencerahan spiritual yang sulit dicapai oleh seseorang yang hanya mengutamakan intelektualitas permukaan demi popularitas.

Jika kamu merasa miskin maka berbahagialah karena dalam kondisi seperti itu berarti Allah menghendakimu dalam kebaikan. Karena Allah lebih tahu jika kamu menjadi orang kaya kamu akan menjadi orang yang sombong, pelit, kikir dan suka menghardik fakir miskin dan anak yatim. Hal ini juga akan menuntunmu untuk merenung bahwa kekayaan atau kehidupan dunia bukanlah hak milik manusia, akan tetapi titipan dan sesuatu yang tidak seharusnya dibanggakan.

Jika kamu merasa menderita maka berbahagialah karena hal itu akan membawamu pada sesuatu yang terdalam tentang diri manusia dan kemanusiaan. Rasa empati pada penderitaan sesama akan muncul di hatimu, karena tidak ada seorangpun yang akan mengerti penderitaan orang lain kecuali dia pernah menderita.

SEBAB, MAKSUD DAN TUJUAN AKHIR


Segala obyek bergerak sesuai sedemikian rupa karena memiliki keterarahan. Maksud atau tujuan dari berbagai realitas sedemikian penting daripada sekadar melihat fakta-fakta fisik. Manusiapun selalu mengarah pada tujuan. Di dalam diri manusia terdapat maksud dan tujuan yang disadari.

Ada suatu kepekaan tertentu pada saat berbagai tujuan kita dibelokkan ke suatu titik atau tujuan yang lebih rendah. Jika hidup tanpa ada tujuan tertinggi yang ada di dalam pikiran, maka hidup akan berputar-putar pada satu lingkaran. Sejauh semua tujuan hanya berhenti pada dirinya sendiri, seseorang sesungguhnya hanya akan mendapatkan kekosongan belaka. Meskipun sebuah kemajuan terjadi terus menerus jika tidak sampai pada tujuan akhir adalah tanpa arti.

Jadi, lakukanlah apa yang seharusnya Anda lakukan, dalam kondisi yang tepat, demi orang-orang yang selayaknya dibantu, dan demi tujuan akhir serta cara-cara yang seharusnya digunakan, atau berbuat apa yang seharusnya dibuat dalam situasi tertentu dan dengan cara yang semestinya.

11 December 2011

GRAND SCENARIO TUHAN


Manusia lahir dengan membawa kodrat. Kodrat adalah suatu substratum tetap yang ditentukan dari sononya oleh Tuhan. Sejak semula dalam diri Tuhan sudah terdapat semacam rencana dimana esensi benda-benda ciptaan – juga esensi manusia- telah ditentukan. Dengan begitu, seorang manusia tidak dapat berubah mencapai taraf lebih tinggi daripada yang ditentukan oleh Tuhan lewat kodratnya sebagai sesuatu yang tidak bisa dilawan oleh manusia. Jika kemudian ada pertanyaan, “Apakah Anda bermaksud mengatakan bahwa saya tidak mampu memutuskan nasib diri sendiri?” Bisa saya katakana ya dan tidak, Anda mungkin mempunyai hak untuk menggerakkan ibu jari Anda ke arah manapun yang Anda sukai. Tapi ibu jari Anda hanya dapat bergerak sesuai dengan kodrat alamnya. Ia tidak dapat lepas dari tangan Anda dan bergoyang-goyang di sekeliling Anda. Anda mungkin bisa mengangkat satu kaki dan berdiri dengan satu kaki yang lain. Tetapi lain ceritanya jika Anda mengangkat kedua kaki secara bersamaan.
Tuhan bukanlah dalang yang menggerakkan semua wayang, mengontrol segala sesuatu yang terjadi. Seorang dalang mengontrol wayang-wayang itu dari luar dan karena itu dia merupakan penyebab lahiriah gerakan-gerakan wayang. Tapi bukan begitu cara Tuhan mengontrol dunia. Tuhan mengontrol dunia melalui hukum alam. Ini berarti bahwa segala sesuatu di dunia material ini terjadi karena harus terjadi. Hanya kalau kita bebas untuk mengembangkan kemampuan bawaan kitalah, kita akan dapat hidup sebagai makhluk bebas. Manusia dapat berjuang untuk mendapatkan kebebasan agar bisa hidup tanpa kendala lahiriah, tapi dia tidak akan pernah meraih ‘kehendak bebas’. Kita tidak mengontrol segala sesuatu yang terjadi dalam tubuh kita –yang merupakan mode atribut perluasan. Kita juga tidak dapat memilih pemikiran kita. Oleh karena itu, manusia tidak mempunyai ‘jiwa bebas’, jiwa itu kurang-lebih terpenjara di dalam badan mekanis.
Hasrat kitalah –seperti ambisi dan nafsu syahwat- yang menghalangi kita meraih kebahagiaan dan keselarasan sejati, tapi jika kita mengakui bahwa segala sesuatu terjadi karena memang harus terjadi, kita akan mendapatkan pemahaman intuitif tentang alam secara menyeluruh. Kita dapat sampai pada kesadaran yang benar-benar jernih bahwa segala sesuatu itu saling terkait, bahkan segala sesuatu itu adalah Satu. Perbedaan kelamin, tingkat kecerdasan, kekayaan, profesi, karakter sifat manusia dan sebagainya adalah supaya kehidupan bisa berjalan dengan semestinya. Jika tidak demikian, maka alam akan berjalan tidak dengan teratur, seperti seorang petani yang berdoa minta hujan agar tanamannya dapat tumbuh dengan baik dan segar sedangkan tetangganya yang sedang menjemur gabah berdoa pada Tuhan supaya hari itu panas dan tidak hujan. Tidak mungkin kemudian akan terjadi hujan sekaligus panas. Tujuannya adalah recara komprehensif memahami semua yang ada dalam suatu persepsi yang mencakup keseluruhan. Dengan begitu, barulah kita dapat meraih kebahagiaan dan kepuasan sejati.
Kita jangan terjebak ke dalam sikap yang fatalistik-deterministik, misalnya dengan menerima takdir buta sebagai penentuan Ilahi, dan hidup manusia ibarat wayang di tangan Tuhan Sang Dalang. Tipe orang beriman ini mungkin akan beranggapan bahwa manusia itu tak ada. Akan tetapi bukankah di dalam riwayat hidup orang-orang beragama (para nabi, wali dan ulama) bisa dilihat bukti sebaliknya, bahwa justru di dalam kepercayaan pada Tuhan, mereka mampu bersikap lepas bebas, misalnya terhadap segala pamrih atau keinginan serta nafsu tak teratur yang membutakan dan memperbudak. Bukankah banyak juga dari mereka bahkan rela (sikap bebas) kehilangan nyawanya daripada dipaksa untuk menyangkal imannya?
Maka, apakah Tuhan membatasi kebebasan manusia? Kebalikannya yang benar: hanya dalam relasi intensif dengan Yang Tak Terbatas, manusia mendapatkan kemerdekaan terhadap segala sesuatu yang hanya terbatas dan fana sifatnya. Apakah Tuhan memperbudak manusia? Sebaliknya: hanya dengan mengikatkan diri pada Tuhan dan kehendak-Nya, manusia tidak menjadi budak kekuasaan dan pesona duniawi. Justru berdasarkan hubungannya dengan Yang Mutlak, manusia beriman sanggup merelatitivir pelbagai kekuasaan manusiawi manapun, dan bahkan berani menentangnya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Sebagaimana dimaksudkan Louis Leahy, kebebasan tidak terjadi pada sebab-sebab kodrati (misal keadaan fisik kita), melainkan pada tingkat alasan-alasan atau motif-motif. Di sini manusia mampu mengorganisir sebab-sebab yang ada pada kodrat dan mengarahkannya sesuai dengan maksud dan keinginannya (atau bagaimana kita memaknai kodrat). Ini berarti bahwa pelaksanaan kebebasan hanya mungkin dengan menaati pembatasan kodrat atas kita.
Seorang Sartre menyadari keterbatasan fisiknya, badannya pendek (dia sendiri mengatakan fisiknya mirip kodok) dengan mata strabismus (juling). Di satu sisi, Sartre tahu bahwa sejak awal dirinya adalah perayu ulung dan membutuhkan cinta dari para wanita untuk kehidupan dan intelektualitasnya. Dia berusaha melampaui keterbatasan atau kodrat yang menimpa dirinya. Dengan kecerdasan filosofisnya (bukan keterbatasan fisiknya) akhirnya dia mampu ‘melahap banyak wanita’.
Kisah lain, pada pertengahan tahun 1974 ada sebuah prognosis tentang diri saya dari seseorang yang misterius. Selang beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya bulan September 2011 kemarin prognosis itu mewujud menjadi sebuah reality. Hal ini semakin memberikan pengertian pada saya bahwa kehidupan ini berjalan di atas kodrat atau Grand Scenario Tuhan. Namun apakah saya berpangku tangan mensikapi realitas tersebut? Tidak, meskipun mensikapi dengan rasa penasaran yang penuh misteri saya berusaha supaya hal tersebut berjalan dengan bahagia dan menyenangkan.

15 November 2011

KEKELIRUAN EPISTEMOLOGIS


Filosof Universitas Cambridge, Inggris, yang dianggap sebagai perintis aliran Filsafat Bahasa, George Edward Moore (1873-1958), mengatakan bahwa kekeliruan epistemologis adalah kekeliruan naturalistik. Ia memberi contoh, ternyata kita tidak pernah mengetahui makna kata “baik” sekalipun kata itu merupakan kata kunci dalam perbincangan moral. Kata “baik” dengan demikian seolah-olah sudah jelas dengan sendirinya, padahal begitu banyak definisi tentang kata “baik”.

Kaum Hedonis, misalnya, mengatakan bahwa “baik” bermakna “senang”, sementara itu Spencer berpendapat bahwa “baik” artinya “apa yang bermanfaat”. Moore menegaskan, definisi semacam itu belum menjawab makna kata “baik” karena segala usaha untuk menyamakan “baik” dengan salah satu sifat, misalnya dengan “senang” atau “apa yang bermanfaat”, dengan sendirinya sudah keliru. Kekeliruan naturalistik ini dipicu oleh penyamaan antara sesuatu yang primer (“baik”) dan sesuatu yang bersifat faktual (“senang” atau “apa yang bermanfaat”). Oleh karena itu, Moore menegaskan bahwa kata “baik” merupakan kata dasar yang tidak dapat direduksi pada sesuatu yang lebih mendasar lagi. Sifatnya yang primer pun membuat kata “baik” tidak memiliki bagian-bagian sehingga tidak dapat dianalisis (Magnis Suseno, 2006). Dengan demikian, boleh dipertanyakan apakah yang “senang” atau apakah “yang bermanfaat” dapat dikatakan “baik”?

Kekeliruan-kekeliruan ini kita produksi dalam berbagai macam kesempatan bahkan setiap hari, seperti waktu mengajar di kelas, dalam kehidupan beragama, debat politik di parlemen, penyampaian berita di TV, menulis buku, menulis status di Facebook atau bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai macam kosa kata yang setiap hari kita gunakan seperti cinta, tanggung jawab, komitmen dan sebagainya hampir semuanya tidak kita ketahui makna substansinya. Hal inilah yang kemudian akan berkembang menjadi kesalahpahaman, beda penafsiran, salah tampa, atau bahkan bisa menjadi konflik.

Kekeliruan epistemologis yang menjangkiti kita memang sulit dianalisis hanya melalui pendekatan psikologi, apalagi melalui pendekatan politik dan ekonomi. Pasalnya, hemat saya, kekeliruan tersebut adalah habitus kita yang jika ditinjau melalui perspektif etika ditengarai berasal dari proses pembentukan “kacamata” di ruang kepala akibat persepsi dan kategori dalam memahami kehidupan yang tanpa refleksi atau menurut John Locke tanpa sumber kesadaran tentang eksistensi dan keadaan-keadaan mental yang ada.

12 November 2011

AGAMA DAN KEBUTUHAN PERUT


Menurut Feuerbach, bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi sebaliknya Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia. Agama hanyalah sebuah proyeksi manusia. Allah, malaikat, surga, neraka tidak mempunyai kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanya merupakan gambar-gambar yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri. Agama hanyalah sebuah epiphenomenon; ia tidak mempunyai realitas dan arti pada dirinya sendiri, melainkan menunjuk pada sebuah basis yaitu manusia. Menurut Karl Marx dengan ajaran Historical Materialismenya, seseorang menjalankan agama bukan karena ia mengimaninya, melainkan karena ia membutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari, karena fungsinya. Niccolo Machiavelli, mengatakan bahwa pada zaman Romawi kuno, golongan bangsawan cepat sekali memanfaatkan agama untuk kepentingan sendiri. Bisa jadi seseorang berbicara masalah A, akan tetapi pada saat yang sama dia melakukan tindakan B yang berlawanan dengan apa yang dibicarakannya. Tingkah laku manusia seperti ini kalau menurut tiga orang di atas ternyata dibentuk oleh kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan perut dan yang di bawah perut.

22 June 2011

Al-Abdāl: Para Penggenggam Rahasia


Dalam tradisi Islam atau khususnya tasawuf dikenal adanya sosok yang misterius, yang dikenal dengan sebutan al-Abdāl (Para Pengganti). Disebut demikian karena setiap di antara mereka meninggalkan posisinya maka akan diganti dengan yang lain. Posisi tersebut adalah keberadaan untuk selalu memberikan kemaslahatan kepada umat dan ajakan untuk mendekat kepada Tuhan. Di seluruh alam para penggenggam rahasia ini selalu berjumlah tujuh, tidak kurang dan tidak lebih. Ketika salah seorang meninggalkan posisinya maka akan segera diganti oleh yang lain. Tidak diragukan lagi bagi seseorang yang mengetahui sosok misterius ini bahwa dialah calon penggantinya. Jadi tidak akan ada seseorang yang mengetahui keberadaannya di dunia ini kecuali calon pengganti tersebut.

Mereka selalu diselimuti sifat-sifat dan karakter yang akan selalu menjaga kerahasiaan keberadaannya, di antaranya adalah berlapar-lapar (al-jū’), terjaga di malam hari (al-sahar), pendiam (al-sumt) dan suka menyendiri (al-‘uzlah). Sifat-sifat yang menunjukkan kesederhanaan dan kesunyian hidup. Jauh dari popularitas, keinginan untuk bermewah-mewah dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan kendaraan. Jauh dari keinginan untuk dihormati dan dipuja-puji. Enggan untuk mencari pengakuan dan penghormatan dari keawaman manusia.

Mereka tidak menampakkan diri karena bertujuan menjaga dan tidak mau pengetahuan mereka yang merupakan amanat diolok-olok oleh manusia. Meskipun terhijab dari pandangan dunia sesungguhnya mereka akrab dengan para penghuni alam malakut. Karena penghuni alam malakut lebih memahami alusi-alusi yang paling tersembunyi dan paling halus sekalipun. Ketika berbicara dengan penghuni dunia, di tengah keterbatasan bahasa dunia yang terikat tempat dan waktu, mereka menggunakan simbol-simbol demi keamanan dan keselamatan dirinya.

Bagi para al-Abdal, lebih suka diam dan menyendiri daripada banyak berbicara dan melarutkan diri dalam riuhnya keramaian adalah tindakan untuk berjalan ke pusat diri, mencari hakekat demi mencari kesembuhan. Menghindari pembicaraan, yang hanya akan menghambur-hamburkan pikiran ke luar, sehingga jati dirinya terabaikan. Itulah akhirnya yang mendorongnya untuk beraktifitas pada pekerjan-pekerjaan yang sunyi dan mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat sunyi dan permenungan.

Sifat-sifat ini sangat bertolak belakang dengan para penghuni dunia yang sudah renta ini. Dengan sifat-sifat tersebut sosok seperti ini, di tengah-tengah kerumunan manusia yang memilih kebenaran sebagai bagian tak terpisahkan dari popularitas dan banyaknya jumlah pengikut, tentu saja sangat sulit ditemukan dan seandainya ditemukanpun akan segera dilupakan oleh sejarah. Meskipun begitu, ketiadaannya inilah yang akan menjadi inspirasi bagi umat dan selalu meninggalkan jejak unik yang menginspirasi generasi sesudahnya.

10 April 2011

MENULIS


Dengan menulis aku menciptakan dunia yang sangat personal. Dunia yang aku tempati sendiri, bukan dunia yang ditempati bersama. Di situ aku bisa melakukan apa yang aku ingin lakukan tanpa khawatir ada yang mengganggu, melarang dan memerintah. Dengan menulis aku dapat secara perlahan menemukan makna dan tujuan hidup pribadiku. Dengan menulis apa yang ada dalam diriku, baik itu berupa keluh kesah, pengalaman spiritual yang sangat pribadi maupun gagasan-gagasan yang remeh temeh dan tidak penting, aku dapat melengkapi kehidupan yang tidak pernah merasa tercukupi dengan harta benda. Menulis dapat melebursatukan antara perenungan dengan pengalaman hidup di masa lalu untuk dijadikan bahan refleksi ke masa depan.

Menulispun bagiku tidak selalu identik dengan menulis makalah, artikel, tesis atau disertasi tapi menulis bagiku adalah menumpahkan yang ada di pikiran tanpa terbebani oleh masalah bermutu atau tidak, sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah atau tidak, atau juga tidak takut untuk dinilai orang. Menulis menurutku adalah untuk melakukan pelepasan bukan untuk mencari pengakuan. Dengan memulai menekan tuts keyboard sesuatu yang sebelumnya tidak terpikirkan tiba-tiba muncul di layar monitor. Pikiran-pikiran yang samar bisa menjadi kongkrit dengan menulis, atau hasil membaca dari beberapa buku bisa disatukan menjadi satu halaman karena adanya kesatuan ide. Buku, lembaran kertas bahkan fasilitas note di hp pun bisa jadi pelampiasan untuk menulis.

Dengan menulis aku bisa berpendapat yang mungkin berbeda bahkan bertentangan dengan pendapat banyak orang, tradisi masyarakat, kemapanan, atau bahkan menulis tentang sesuatu yang tidak lazim tapi yang benar-benar menarik perhatianku. Di mana hal itu tidak bisa dilakukan atau akan banyak mendatangkan kesulitan jika dilakukan dengan selain menulis.

MEMBACA


Bagiku membaca buku bukanlah untuk gagah-gagahan, untuk menunjukkan bahwa seseorang itu kutu buku atau seorang intelektual. Akan tetapi buku bagiku merupakan sahabat sejati, yang dapat menghibur ketika aku dalam keadaan yang paling buruk sekalipun. Bisa membangkitkan semangat hidup, memunculkan rasa senang dan gembira.

Ibarat memilih sahabat, maka akupun lebih suka memilih sebuah buku yang dapat menyenangkan hatiku. Buku dalam bidang apapun yang penting dia dapat mengajakku ngobrol santai dengan cara yang betul-betul menyenangkan, yang kadang dapat membuatku lupa waktu. Kemana-mana aku selipkan sebuah atau dua buah buku yang selalu aku ajak bergurau, saling curhat tentang berbagai macam tema yang aku inginkan pada waktu itu. Bahkan dalam jeda waktu dalam mengajar yang tidak seberapa banyak aku sempatkan menarik buku dari tas dan kubaca, sehingga kepenatan dan kejenuhan pun segera sirna.

Dalam menghadapi permasalahan yang rumit dan menegangkan akupun tidak lupa memegang atau membuka buku untuk mencari ketenangan, fokus dan inspirasi pemecahan masalah. Jadi bagiku tidak ada kata tidak sempat membaca buku karena tidak ada waktu, atau berada pada waktu dan tempat yang tidak tepat untuk membaca. Karena justru dengan membaca buku, berdasarkan pengalaman, ketepatan putusan-putusan penting dalam hidup aku dapatkan.

Hal-hal, orang-orang, kejadian atau peristiwa yang tidak terkait dengan jalur kehidupan yang aku tempuh yang berpotensi mengganggu kesenangan dan kegembiraan dapat aku singkirkan dengan segera dan tanpa efek samping. Aku dapat memilih variasi kehidupan dan menyingkirkan kemonotonan karena menemukan sahabat yang bisa diajak ngobrol tentang berbagai macam hal tanpa gagap dan canggung.

Aku sangat bahagia dengan hal ini. Dalam membaca buku aku tidak punya target tertentu. Aku tidak butuh diakui oleh orang lain sebagai seorang intelektual yang banyak membaca buku, tidak juga supaya dipandang sebagai seorang yang berpandangan luas. Juga tidak ada target tertentu demi jabatan, gelar atau kenaikan pangkat. Aku membaca buku karena aku bahagia melakukannya..itu saja.

06 March 2011

KEGELISAHAN ABADI


Bagi para sufi, kegelisahan merupakan penderitaan spiritual amat mendalam yang dirasakan karena tidak bisa cukup dekat dengan Allah, karena tidak dapat melakukan cukup banyak amalan demi Allah di dunia ini. Seorang pengikut sufi sejati tidak akan memperhatikan hal-hal duniawi seperti kematian, apalagi benda-benda atau harta kekayaan: dia menderita kegelisahan yang mendalam, kekosongan, dan ketidakcukupan karena dia tidak pernah merasa cukup dekat dengan Allah, karena ketakutannya akan Allah tidak cukup mendalam. Itulah yang disebut dalam literatur Sufi sebagai kegelisahan abadi (al-huzn al-da’im). Dari kalangan filosof muslim, Al-Kindi, memandang kegelisahan sebagai keadaan mistis (yang ditimbulkan oleh perasaan frustasi karena gagal mencapai tujuan menyatu dengan Allah). Lebih jauh lagi, kegagalan merasakan kegelisahan di atas akhirnya juga memunculkan kegelisahan. Gelisah karena tidak merasakan kegelisahan karena Allah. Diriwayatkan bahwa Nabi Musa AS berkata, “ Ya Tuhanku, dimanakah aku dapat menemukanmu ketika aku mencarimu?” Maka Tuhan berkata, “ Kamu dapat menemukanku pada hati-hati yang gelisah karena Aku”.

Bagi penyair, pelukis dan penulis yang dilanda kegelisahan karya-karya mereka bertujuan untuk membangkitkan dalam diri orang yang melihat dan membaca karya mereka perasaan yang sama dengan yang ditimbulkan oleh perasaan tersebut dalam dirinya, sebagaimana gagasan ini terutama diterima luas pada pertengahan abad ke 19 di kalangan tokoh-tokoh romantisme. Kegelisahan atau tristesse bagi Montaigne tahun 1580 sama sunyinya dengan perkabungan, menggerogoti pikiran seorang manusia yang hidup sendiri dengan buku-bukunya. Dalam bukunya The Anatomy of Melancholy, Richard Burton mempercayai bahwa kegelisahan akan membuka jalan menuju kesendirian yang membahagiakan dan memperkuat imajinasi. Tidak jadi soal apakah kegelisahan merupakan hasil dari kesendirian ataukah kesendirian sebagai inti, esensi dari kegelisahan. Jadi kegelisahan menjadi entitas yang tak terpisahkan dengan kesendirian dan kesepian.

Kesendirian dalam istilah tasawuf dikenal dengan istilah khalwat atau uzlah. Khalwat adalah menyendiri secara fisik atau jasmani sedangkan yang dimaksud dengan uzlah adalah uzlahnya hati. Sikap penyendiri ini juga merupakan sifat bagi orang yang dikasihi Allah. Dalam kitab Iqadzul Himam fi Syarh al-Hikam karangan al-Arif billah Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Ajibah al-Hasani dituliskan bahwa orang-orang yang dikasihi oleh Allah adalah orang-orang yang baik menurut Allah dan menyendiri dari pergaulan makhluknya. Rasulullah juga pernah berkata kepada Abdullah ibnu Umar, “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau seperti pengembara kesepian.