07 September 2010

Pola Pikir II: Logika Spiritual dan Logika Material

Berdasarkan pengamatan dan klasifikasi sederhana yang saya lakukan, manusia dari cara berpikirnya terpola menjadi dua macam. Yang pertama adalah pola pikir dengan menggunakan logika spiritual dan yang kedua adalah pola pikir dengan menggunakan logika material. Perbedaan ini bersifat essensial, artinya adalah perbedaan ini tidak didasarkan pada perbedaan secara lahiriah atau perbedaan berdasarkan status sosial, tetapi perbedaan yang berlaku pada seseorang tanpa membedakan kondisi fisiknya.
Logika Spiritual
Seseorang yang menggunakan logika spiritual dalam hidupnya akan menjadikan ridho Allah sebagai tujuan utama. Dia akan selalu menyandarkan tingkah lakunya pada keridloaan Tuhannya. Karena kalau tidak seperti itu dia akan malas untuk menjalani hidup. Dengan hidup untuk menyenangkan Tuhan dia akan lebih bersemangat dalam beraktifitas sehari-hari.
Lebih menghargai proses dalam bekerja. Usaha, kerja keras, bersabar atau berhasil mencapai rintangan merupakan hal yang menggairahkan dan menantang. Seperti main extreme game yang dapat memacu adrenalin. Hasil bukanlah hal yang utama, sedangkan keberhasilan merupakan bonus kehidupan yang pantas diterima dengan senang hati. Orang yang berpola pikir seperti ini tidak suka mencari jalan pintas untuk mencapai tujuan. Menjalani proses merupakan kenikmatan yang diakhiri dengan hasil yang mantap dan berkualitas.
Kepuasan batin selalu menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan hidup. Selalu mempelajari sesuatu dan bekerja sesuai dengan minat.Tidak menyesal dan tidak menggerutu merupakan konsekwensi logis dari sikap ini.
Lebih menekankan pada makna. Kelanjutan dari kepuasan batin adalah menemukan makna. Seperti orang yang punya hobi minum teh, maka setiap seruputan merupakan kenikmatan yang tiada tara yang selalu ingin dia ulangi berkali-kali. Atau seperti orang yang hobi membaca, menikmati huruf per huruf, kata per kata dan seterusnya merupakan sesuatu yang menggairahkan. Hatinya selalu riang gembira, jasmaninya sehat, awet muda dan insya Allah juga awet hidup.
Menemukan rasa syukur. Orang yang bisa menemukan rasa syukur pada dirinya akan dapat merasakan bahwa setiap detik, menit, jam, hari dan seterusnya terdapat kelimpahan kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan pada dirinya.
Tolok ukur dari perbuatannya adalah kualitas spiritual atau barakah. Sehingga hal ini akan mendorongnya untuk selalu menempuh jalan yang benar, terhormat dan pantas. Kaya terhormat, miskin bermartabat adalah adagium yang selalu dipegangnya.
Mempunyai rasa rendah hati atau empati. Diri selalu merasa kurang, merasa masih miskin, belum pintar, belum banyak amal baik, takut kalau nggak masuk surga, takut amal ibadahnya tidak diterima oleh Allah SWT, merasa tidak tampan atau tidak cantik dan seterusnya, dimana semua itu akan mendorongnya untuk bersikap rendah hati.
Mudah berbagi. Kebahagiaan dan kesenangan pada dirinya ingin juga dibagi dengan orang lain. Senang melihat orang lain senang, bukan malah sebaliknya, tidak senang melihat orang lain senang, akan mendorong dirinya untuk selalu menebar kebaikan dan kemanfaatan di tengah-tengah sesama.
Menemukan jati diri karena selalu melihat diri sendiri. Pertanyaan mengapa, untuk apa dan bagaimana hidup dijalani merupakan pertanyaan yang selalu muncul dan harus segera dijawab setiap saat. Dengan sedini mungkin menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan membuat seseorang menjadi bijak dan arif dalam memandang kehidupan.
Menghayati setiap fase kehidupan. Setiap fase kehidupan mempunyai kenangan unik. Seseorang yang penuh dengan kualitas spiritual tidak akan membiarkan setiap fase kehidupannya berlalu dengan sia-sia. Setiap fase kehidupan harus diisi dengan jejak yang unik pula.
Logika Material
Sedangkan orang yang menggunakan logika material dalam hidupnya akan selalu mencari pengakuan manusia berupa pujian, simpati, kekaguman dan superioritas. Supaya dikatakan sebagai orang kaya, intelektual, alim, religius dan berpengaruh. Walaupun akhirnya malah kelihatan janggal dan lucu.
Lebih menghargai hasil daripada proses, dengan menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Korupsi, kolusi atau kongkalikong, nepotisme atau perkoncoan/perduluran, menabrak prosedur baku yang sudah menjadi ketentuan merupakan hal yang biasa dan tidak menjadi soal.
Tujuannya adalah pemenuhan kebutuhan atau kesejahteraan secara fisik. Makan enak, rumah nyaman, tidak mau sedikit sengsara, ingin hasil besar tapi tidak mau berusaha atau ingin bersenang-senang setiap hari tanpa bersusah payah. Orang seperti ini akan selalu memegang semboyan: muda foya-foya, tua bahagia, mati masuk surga.
Mempunyai kehidupan yang hampa dan tidak menemukan ketenangan, karena selalu memandang bahwa kehidupan di dunia ini adalah persaingan dengan orang lain. Selalu memposisikan dirinya sebagai sosok yang paling unggul baik dalam lingkungan kecil maupun besar. Jika dalam lingkungan besar dia kalah, maka dia akan mencari lingkungan kecil di mana dia menjadi yang paling unggul.
Sulit mendapatkan rasa syukur, walaupun setiap saat secara fisik lidahnya mengucap syukur Alhamdulillah tetapi hatinya berkata lain. Orang yang demikian tidak akan bisa melihat apalagi menghargai tambahan rizqi setiap hari yang diberikan oleh Tuhan pada dirinya. Selalu merasa kurang..kurang..kurang.. adalah sifat yang melekat.
Yang menjadi tolok ukur keberhasilan hidupnya adalah kelimpahan materi. Rumah bagus supaya tamu yang datang ke rumahnya berdecak kagum, mobil bagus supaya kehadirannya dalam sebuah acara diperhitungkan, isteri cantik atau suami ganteng supaya pantas diajak untuk menghadiri resepsi pernikahan, atau anak berprestasi agar bisa dipamerkan pada teman-temannya dalam arisan maupun pengajian. Semua itu merupakan hal yang harus dicapai dalam hidup. Kalau perlu dengan menempuh segala cara meskipun tidak pantas.
Mempunyai sifat takabbur dan individualis. Semua orang dianggap berada dibawahnya dan secara otomatis harus melayani dirinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Membentak dan memaki orang lain adalah kebiasaan rutin dari orang seperti ini.
Tidak mau berbagi, kalaupun mau berbagi karena ada pamrih, yaitu untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Tidak ubahnya seperti para politikus yang membeli suara rakyat dalam pemilu atau pilkada dengan cara membagi uang, sembako dan kaos supaya terpilih. Setelah tidak ada kesempatan untuk maju lagi, menjadi malas untuk berbagi.
Tidak mampu menemukan jati diri, karena sibuk melihat segala hal yang berada di luar dirinya. Kehidupannya hanya mondar-mandir di dunia tanpa tujuan pasti yang kemudian ditutup dengan kematian.

Pola Pikir I: Realitas Non Inderawi



Dalam beraktifitas sehari-hari tentu banyak hal menarik yang bisa kita amati dan amat sayang kalau hal itu dibiarkan berlalu begitu saja. Interaksi dengan warga di kampung, lingkungan kerja maupun keluarga tentunya merupakan tempat bagi kita untuk banyak mengambil pelajaran. Otak kita setiap hari menerima jutaan input dari lingkungan sekitar. Kita bisa memilah dan memilih dari jutaan input tersebut hal-hal yang berupa pelajaran dan hal-hal yang sangat menyenangkan dan menggairahkan bagi kehidupan.

Hal-hal yang berharga itu bisa kita dapatkan apabila kita menggunakan pengalaman empirik sehari-hari yang kemudian dipoles dengan intuisi. Panca indera sebagai alat untuk mendapatkan pengalaman empirik atau menemukan realitas yang obyektif, sedangkan mata hati merupakan alat untuk meraih realitas yang terdapat di balik kenyataan empirik.

Banyak hal yang telah ditemukan oleh panca indera manusia, tetapi realitasnya manusia telah tertipu, karena manusia lupa bahwa terdapat realitas lain di balik setiap yang terlihat oleh mata. Tidak kita ketahui bukan berarti sesuatu itu tidak ada, demikian kata filosof postmodern.

Sebagaimana warna-warni yang berada di tengah malam yang gelap, hanyalah warna yang terkena pantulan cahaya terang yang tertangkap penglihatan. Akan tetapi, ketika mata tak mampu menembusnya, semua warna hanyalah hitam pekat. Oleh karena itulah, manusia tidak mampu berjalan dalam kehidupan dengan baik.

Dengan demikian, realitas mana yang dicari manusia? Hati nurani adalah alat untuk melihat setiap realitas lain di samping realitas yang inderawi. Karena pada umumnya banyak orang yang melihat, tetapi senyatanya tidak memperhatikan.

Di antara banyak realitas non inderawi dan sering diabaikan manusia adalah pola pikir seseorang. Kehidupan seseorang ditentukan oleh pola berpikirnya. Dr. Ibrahim Elfiky yang berjudul Quwwat al-Tafkīr (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Terapi Berpikir Positif dan diterbitkan oleh penerbit Zaman).

Pikiran dapat melahirkan mindset, memengaruhi intelektualitas, fisik, perasaan, sikap, hasil, citra diri, harga diri, rasa percaya diri, kondisi jiwa, kondisi kesehatan, menambah atau mengurangi energi dan melahirkan kebiasaan. Tujuan hidup, kebahagiaan, kesengsaraan, kehampaan atau kebermaknaan bahkan kesehatan jasmani akan dikendalikan oleh apa yang ada di dalam pikiran. Pola atau cara berpikir seseorang sedemikian penting kedudukannya dalam kehidupan seseorang.