28 December 2012

MERENUNG


Merenung tak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Merenung baru memperoleh peluang untuk hidup bila kita mencintai dan mengenal nilai waktu senggang. Senggang bukan berarti bermalas-malasan, tetapi menyepi, menyendiri agar dapat fokus ke diri sendiri. Penghayatan tentang kesendirian inilah yang membuat orang kreatif dalam membuahkan gagasan. Tentu saja maksudnya adalah gagasan yang bersifat rohani dan spiritual.
Aktifitas semacam ini kiranya bertentangan dengan konsep efektifitas dan efisiensi, konsep guna dan kegunaan. Apa yang berguna untuk hidup praktis dan pragmatis, haruslah diburu. Apa yang tak berguna, janganlah diburu. Tapi apakah gerangan yang berguna bagi manusia dan kehidupannya?
Merenung bukanlah pekerjaan yang bersifat dan bernilai ekonomis. Tidak akan ada perusahaan yang mau menggaji seorang karyawan yang pekerjaannya merenung. Bahkan seorang isteri akan marah-marah jika melihat suaminya setiap hari pekerjaannya hanya merenung dan tidak mau mencari uang. Meskipun begitu, Thomas Aquinas berpesan “Adapun suatu keharusan bagi kesempurnaan masyarakat manusia bila beberapa orang membaktikan kehidupannya untuk merenung”. Merenung, lebih jauh, adalah kontemplasi menuju pusat dan hakekat diri.
Perlu bagi kita dapat menyisihkan waktu dan menyendiri untuk kerja perenungan sekaligus menikmatinya. Perenungan bagaikan oase kecil, lambang kesegaran dan harapan, bahwa masih ada setetes embun di tengah gurun pasir kehidupan. Masih ada benteng hati nurani untuk tetap mempertahankan kebenaran nilai-nilai di tengah-tengah kegalauan zaman.
Perenungan akan mengasah hati nurani kita untuk senantiasa peka akan gerak roh suatu masyarakat dan kegelisahannya. Dapat dengan tajam untuk melihat tanda-tanda zaman dan menuliskannya, meskipun di tengah-tengah keterbatasan dan keterhimpitan. Hanya manusia yang mau gelisah dan tidak mau mapan yang mampu menuliskannya.
Inilah juga yang dialami oleh Muhammad SAW ketika kehidupannya tiba-tiba berubah secara dramatis pada usia sekitar empat puluh tahun. Sering merenung dan mencari-cari sesuatu yang lebih tinggi dan lebih suci ketimbang bentuk-bentuk keagamaan tradisional yang ada. Merenungi kondisi masyarakatnya yang hidup tanpa pegangan. Nabi Muhammad SAW akhirnya pergi menyendiri ke Gua Hira’ di daerah bebukitan dekat Makkah dan kemudian menerima pencerahan spiritual dengan turunnya wahyu pertama yang kemudian merubah kehidupannya dan merubah kehidupan seluruh umatnya.

04 October 2012

PERJALANAN SPIRITUAL



Pada masa sekarang, terjadi reduksi pandangan spiritual ke dalam tata aturan ritual dan etis. Agama menjadi ritualisme dan kepatuhan etis, dan kehilangan roh awal yang ditandai semangat pencarian spiritual. Orang hanya memperhatikan apa yang dapat diperhatikan dan diregistrasi, yakni ungkapan lahiriah. Padahal kasih sayang Allah dapat dijumpai kalau orang memandang manusia, menangkap kegembiraan dan berempati dengan yang berkekurangan. Tidak ada jalan menuju Allah yang tidak melewati manusia. Kapan saja manusia mesti menghayati hidupnya sebagai anugerah, memperlakukan sesamanya sebagai saudara dan mendekati alam sebagai tarbiyah imaniyah dan bagian dari kehidupan.
Dia dicari bukan terutama karena Dia menyatakan diri dan menyembunyikan kehendak-Nya. Dia dicari karena keterbatasan dunia untuk menyingkapkan diri-Nya dan menyampaikan maksud-Nya. Perjalanan spiritual untuk mencari harus dilakukan karena pikiran manusia terlalu sempit untuk menyelami hakekat-Nya dan hati manusia terlampau kecil untuk menduga kedalaman rencana-Nya. Pencerahan spiritual harus didapatkan supaya seseorang bisa bertaqarrub kepada Allah, menemukan kehendak dan memahami maksud-Nya.
Namun, hal yang paling sering terjadi adalah bahwa pandangan-pandangan keagamaan menempatkan dirinya pada posisi Tuhan. Allah yang tak terbatas hendak dibatasi dalam penafsiran-penafsiran agama yang terbatas, rahim-Nya yang merangkul semua hendak diatur menurut aturan-aturan ’agama’ yang memilah-milah. Ajaran agama yang bermaksud mengantar orang ke kedalaman rahasia Allah ditafsiri dan diabsolutkan. Ritual-ritual baru masing-masing ‘agama’ dipandang sebagai satu-satunya yang benar. Visi dunia yang holistis dan pandangan tentang manusia yang sangat luhur bisa punah sebagai absolutisasi diri pandangan agama tertentu.
Sesungguhnya, menjadi orang asing di dunia, menjadi pejalan atau peziarah adalah untuk mengenal dunia sebagaimana adanya dan menempatkan dunia pada peran yang sebenarnya. Dunia memiliki keterbatasan, tidak dapat memenuhi segala harapan dan karena itu tidak boleh dipaksa untuk memaksakan semua keinginan dan kebutuhan.

MENEMUKAN KEBAHAGIAAN



 Kematian, bagi kebanyakan manusia merupakan sesuatu yang menakutkan. Kematian merupakan sebuah ancaman karena kematian mematahkan kesinambungan hidup yang bertujuan untuk ’mengejar’ karier atau cita-cita. Padahal, sesungguhnya, ’pengejaran’ membuat orang terikat karena ia harus selalu mengejar sesuatu dan semakin terlempar jauh dari ’kebahagiaan’. Sebaliknya ’menemukan’ membuat orang bebas dan menerima, karena ia tidak dikejar-kejar untuk meraih sesuatu. Hanya dengan bebas dan menerima, orang bisa merasakan pelbagai anugerah kebahagiaan yang tiap hari datang menghampirinya dengan berlimpah-limpah. Dengan begitu dia dapat memberi arti pada hidupnya. Untuk itu Saudaraku, mari membebaskan jiwa supaya kita bisa segera menerima kebahagiaan.

15 August 2012

ZIARAH


Bagi saya, yang memberi arti pada hidup adalah keterarahan kepada masa depan yang dicita-citakan. Bukan masa depan yang dikhayalkan. Dan bukan cita-citalah yang menentukan arah hidup, tetapi arah itu yang menentukan cita-cita. Hidup berarti menghayati diri dan makin menjadi diri sendiri. Sebab tujuan hidup hanya punya arti sejauh dimengerti. Bukan pemahamanlah yang memberi arti, tetapi perkembangan menurut arah yang dipahami. Sekaligus menjaga jarak terhadap dunia.
Jarak terhadap dunia konkret bukanlah suatu contemptus mundi, penolakan terhadap dunia. Sehingga keterlibatannya dalam dunia tidak mengikatnya pada dunia. Ia selalu mengambil jarak, paling sedikit dalam hatinya. Titik pangkal bukanlah dunia, melainkan hatinya sendiri. Tidak membatasi diri oleh pengalaman hidup yang terbatas. Berarti, menerima keterbatasan diri dalam kesadaran diri. Dalam kesadaran bahwa pada dasarnya hidup tidak terbatas dan kita hanya berziarah di alam semesta ini.
Ziarah bukanlah suatu ide atau gagasan, melainkan pengalaman dan penghayatan. Dengan tetap berjalan, tetapi pelan-pelan, ganti persneling. Menjalankan yang biasa, tetapi rutin. Dengan tetap mencari, dengan mata terbuka untuk sesuatu yang baru, yang bisa memberi inspirasi. Hal ini sangat membutuhkan keberanian.
Keberanian bukanlah ketegasan dalam mengambil aneka keputusan, melainkan adalah keberanian untuk menjadi diri sendiri. Adakah yang masih berani menjadi diri sendiri? Semua takut bahwa keberadaannya tidak diterima kalau punya gaya sendiri dan tidak menyesuaikan diri dengan yang lain. Orang tidak berani masuk ke dalam dirinya sendiri, karena pandangannya selalu terarah keluar –untuk menyesuaikan diri agar semua bisa berjalan dengan baik. Semua berjalan baik, tetapi tidak punya arti.
Di sisi lain, orang yang beriman adalah  peziarah di dunia ini. Dia berada dalam dunia, sibuk dengan urusan dunia dan melibatkan diri untuk menangani permasalahan dunia. Namun dia tidak tenggelam di dalamnya. Dia masih memiliki peluang untuk mengambil jarak dari dunia. Kesanggupan untuk mengambil jarak inilah yang memberikan ruang bagi keterbukaannya bagi Allah, bagi satu perspektif lain untuk menilai dunia dan mentransformasikannya.
Berziarah berarti berjalan menuju tempat tertentu. Inti dari ziarah bukan hanya pencapaian tujuan, melainkan pengalaman perjalanan dan refleksi atasnya. Perjalanan memerlukan waktu. Waktu dan jarak merupakan unsur penting untuk menciptakan kondisi batin tertentu. Kerinduan akan tujuan, kesadaran akan semua yang diperoleh di tengah jalan adalah bantuan yang bermanfaat yang akan mengantar kepada tujuan itu sendiri. Ziarah yang dilaksanakan sebagai perjalanan akan memberikan waktu yang cukup bagi permenungan.
Peziarah bukanlah berarti pelancong atau turis. Sebab perjalanannya punya tujuan, biarpun itu tidak selalu jelas. Yang jelas hanyalah arah perjalanannya, sebab perjalanan diarahkan dari dalam hati dan budi si pejalan itu sendiri. Pegangan dalam perjalanan manusia adalah pengharapan. Itulah tema pokok menurut Ernst Bloch seorang filosof Marxist Jerman, yang menegaskan bahwa pengharapan bukanlah sesuatu yang kabur dan samar-samar. Pengharapan adalah pegangan hidup di tengah dunia yang tidak punya arah.
Sementara kita belum melihat apalagi punya kepastian tentang arah dan mengenai akhir, kita berkiblat diri dan membenahi kembali jalan-jalan yang kita tempuh. The realized eschatology terdapat dalam langkah-langkah mereka yang menempuh ziarah. Manusia tidak mendapatkan ketenangan dalam dirinya sendiri. Dia terpuruk dalam kesombongan dan egoisme dalam usahanya untuk menjadi istimewa. Maka, pengalaman batin orang sewaktu berziarah biasanya hanya bisa dipahami kekayaannya kalau ditempatkan dalam continuum perjalanan hidup orang itu sendiri. Bukankah seluruh hidup ini adalah sebuah laku ziarah? Singkatnya, karena terbukanya indera rohani peziarah, perjumpaan sesederhana apapun bisa menjadi awal sebuah pengalaman rohani yang mengubah, yang dapat terus menggema sepanjang perjalanan ziarah kehidupan.
Bisa saja seseorang tidak lagi menemukan jalan kepada penghayatan keagamaan dalam wadah agama-agama tradisional. Sebaliknya seseorang dapat saja menemukan ekspresi religiusitasnya di dalam ziarah atau kembali menemukan jalannya kepada religiusitas itu melalui ziarah. Yang pasti, ziarah didorong oleh keyakinan bahwa dengan melaluinya orang akan mengalami pertemuan yang intensif dengan kekuatan ilahi, yang memberi daya penyembuhan fisis atau pemulihan dan penyegaran batin.
Ziarah membuat orang peka terhadap banyak hal yang kurang mendapat perhatian dalam keseharian. Ziarah hadir dalam jiwa orang-orang miskin, cacat dan berdosa, yang tidak mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam ibadah resmi di tempat-tempat ibadah. Ziarah bukanlah sebagai kunjungan pada tempat-tempat suci dan keramat, tetapi justru sebagai perjalanan dalam suasana do’a dan refleksi. Dengan asketisme, perjalanan melangkah maju, sambil mencari inspirasi dari segala sesuatu yang dilewati. Ziarah adalah untuk hidup yang mesti diwujudkan kembali.

28 May 2012

MENCARI PEGANGAN

-->

Eksistensi Tuhan tak bisa dibuktikan oleh akal. Pengetahuan rasional tak memberikan makna kehidupan. Hanya iman yang memendam kebijaksanaan manusia terdalam. Tulisan ini tentang pencarian seorang pengembara kesepian atas kedamaian batin. Menyuguhkan pandangan personal mendalam dari relung hati tentang pergolakan spiritual, langkah-langkah salah yang pernah diambil, perasaan was-was, tahun-tahun keraguan, keputusasaan, pencarian akhir kepastian religius, spiritual yang dalam dan sebuah keyakinan.
Apapun keyakinan itu dan apapun jawaban yang mungkin dan pada siapapun diberikan, setiap jawaban memberi makna tak terbatas pada eksistensi terbatas manusia. Suatu makna yang tak hancur oleh penderitaan, kehilangan atau kematian. Ini berarti, hanya dalam iman kita bisa menemukan makna dan kemungkinan bagi kehidupan. Iman adalah kekuatan hidup. Jika seorang manusia hidup, ia akan percaya pada sesuatu. Jika ia tak percaya bahwa orang harus hidup untuk sesuatu ia tak akan hidup atau sudah mati dalam kehidupan. Jika ia memahami sifat menyesatkan dari yang terbatas, ia harus percaya pada yang tak terbatas.
Aku merasa, untuk memahami makna hidup ini diperlukan yang pertama, hidup mestinya bukan tak bermakna dan bukan kemalangan. Kemudian diperlukan akal budi guna menjelaskanya. Jika tak ada kehidupan, akal budi tak akan ada. Karena itu akal budi adalah anak kehidupan. Akal budi ada karena memberi respon terhadap kehidupan. Pengetahuan filosofi tak mengingkari apapun, tapi hanya menjawab bahwa pertanyaan itu tak bisa dipecahkan olehnya –bahwa untuk itu, solusinya tetap tak tentu.
Kupahami mengapa aku terjebak dalam pengembaraan tak kenal usai padahal kebenaran itu sangat jelas. Jika orang berpikir dan bicara soal kehidupan maka dia harus menjalani kehidupan itu, bukan membicarakan kehidupan orang lain. Pengetahuan akan kebenaran hanya bisa ditemukan dengan menjalaninya.
Selama bersama dengan arah pikiran dan pengamatan tentang apa yang telah kucari selama ini, hatiku tertekan oleh perasaan yang menyakitkan yang hanya bisa kugambarkan sebagai mencari Tuhan. Kukatakan bahwa pencarian ini bukan pemikiran melainkan perasaan. Pencarian ini berproses bukan dari alur pemikiranku. Itu bahkan secara langsung bertentangan dengan pemikiranku. Sebaliknya itu berproses dari hati. Itu perasaan akan kekhawatiran, kesendirian, terkucil di tempat asing dan harapan akan uluran tangan dari seseorang.
Kita tak bisa berhenti untuk mengetahui rahasia kebahagiaan. Hiduplah penuh keceriaan bersama isteri atau orang-orang yang kau cintai selama hidup yang sia-sia ini. Jangan kau lupa, untuk setiap istana, ada seribu orang yang harus membangunnya dengan lelehan keringat.

MENARIK DIRI



Suatu kekuatan yang tak bisa dibendung mendorongku untuk menarik diriku dari kehidupan manusia dengan satu cara atau cara lain. Selalu hanya ingin pergi sejenak. Aku sendiri tak tahu apa yang kutunggu. Selalu ada perasaan ingin meloloskan diri dari sesuatu tapi anehnya masih berharap sesuatu darinya.
Mencari seseorang untuk bersama-sama mencari keselamatan –tapi tak kutemukan siapapun. Aku jadi yakin bahwa semua, sebagaimana diriku, yang telah mencari makna kehidupan dalam pengetahuan, sama-sama tak menemukan apapun. Bukan hanya tak menemukan apapun tapi secara sederhana mengetahui bahwa hal pokok yang membuatku putus asa –yaitu kesia-siaan hidup- adalah satu hal yang tak dapat diragukan.
Aku mengerti pemikiran-pemikiran filosof itu sangat menarik, tapi mereka tepat dan jelas dalam proporsi terbalik dengan kemampuan mereka terhadap soal kehidupan. Mereka tak memberi jawaban atas persoalan kehidupan. Untuk memahami siapakah dirinya sebenarnya seseorang harus lebih dulu memahami seluruh umat manusia yang terdiri dari orang-orang seperti dirinya yang tak memahami satu sama lain. Jika mereka filosof sejati tugasnya hanya mencoba memperjelas pertanyaan itu.
Dunia adalah sesuatu tanpa batas dan tak bisa dipahami. Kehidupan manusia adalah bagian yang tak bisa dipahami dari ’semua yang tak bisa dipahami itu’. Kita mendekati kebenaran hanya karena kita menyimpang dari kehidupan. Dimana tak ada kehendak, tak ada perwujudan dan tak ada dunia. Di depan kita, tentu saja tinggal ketiadaan. Tapi yang menahan transisi ke ketiadaan ini hanyalah kehendak yang sama untuk hidup (Wille zum Leben).
Semua adalah kesia-siaan. Keuntungan apa yang dimiliki manusia dari seluruh pekerjaan yang dilakukannya di bawah kolong langit ini? Satu generasi berlalu dan generasi lainnya datang, tapi bumi tetap ada selamanya. Dalam banyak kearifan ada banyak duka cita dan ia yang bertambah pengetahuannya bertambah pula kesedihannya. Mereka juga tak lagi mendapat penghormatan karena memori tentang mereka terlupakan. Juga cinta, kebencian atau jasa mereka kini binasa. Mereka juga tak lagi punya bagian selamanya dalam hal apapun yang telah dilakukan di dunia.

MENULIS KEHIDUPAN


Setiap kali kucoba untuk mengekspresikan hasrat yang paling dalam yang baik secara moral, aku menghadapi ejekan dan hinaan. Tapi begitu aku berhasil menurunkan hasratku, aku dipuji dan disemangati karena memang sekelompok manusia menginginkan keseragaman dan membenci seseorang yang tidak sama dengan mereka. Ambisi, cinta kekuasaan, ketamakan, hal-hal yang menimbulkan nafsu berahi, kebanggaan, kemarahan dan balas dendam- semua itu dihormati.
Sebetulnya, penentu baik dan jahat bukan apa yang dikatakan dan dilakukan orang lain juga bukan kemajuan yang tercapai melainkan itu adalah hatiku dan aku sendiri. Tak ada teori yang bisa memberi jawaban atas penderitaan manusia. Penyebab aku berubah bersama semua itu akan diketahui suatu hari. Kondisi baru kehidupan keluarga yang nyaman benar-benar mengalihkanku dari semua pencarian makna hidup.
Aku menulis untuk mengajarkan pada diriku sendiri kebenaran satu-satunya yang mestinya dijalani agar memperoleh yang terbaik bagi diri sendiri maupun keluarga. Tersesat dan menjadi patah semangat, kondisi itu selalu terekspresikan dalam pertanyaan untuk apa? Akan kemana? Semula tampak bagiku semua itu tak bertujuan dan merupakan pertanyaan-pertanyaan tak relevan. Kupikir semua sudah diketahui dan jika aku pernah menghadapi solusinya hal itu tak akan membutuhkan banyak upaya. Sebagaimana kini aku tak punya waktu untuk itu. Tapi ketika menginginkan demikian aku harus mampu menemukan jawabannya.
Pertanyaan-pertanyaan itu, bagaimanapun, mulai sering berulang dan terus menerus menuntut jawaban. Seperti tetesan-tetesan tinta yang jatuh di suatu tempat, tetesan-tetesan itu mengumpul jadi satu noda hitam yang mungkin akhirnya menjadi tulisan atau puisi. Sederhana bagiku bahwa tulisan dan puisi adalah perhiasan kehidupan, pemikat hidup. Refleksi kehidupan dalam puisi dan tulisan dari semua jenis memberiku kesenangan. Sungguh menyenangkan untuk melihat kehidupan di cermin tulisan.
Itulah yang terjadi padaku. Aku mengerti itu bukan keadaan kurang sehat atau kegelisahan, melainkan sesuatu yang sangat penting. Jika pertanyaan-pertanyaan itu terus berulang-ulang, maka harus dijawab dan kucoba menjawabnya. Pertanyaan-pertanyaan itu tampaknya sederhana, kekanak-kanakan, bodoh bahkan naif, tapi begitu ’kusentuh’ dan kucoba memecahkan, aku menjadi yakin seketika tentang ketidaksederhanaannya. Selama aku belum tahu jawabnya, aku tak bisa melakukan apapun dan tak bisa menjalani. Tak ada kehidupan karena tak ada harapan yang akan terwujud dan bisa kuanggap masuk akal. Aku bahkan tak bisa berharap untuk mengetahui kebenaran, karena sudah kuterka apa isinya.

GOYAH


Kemampuan, kejujuran, keandalan, budi pekerti yang baik dan sikap moral sering ditemui di kalangan orang-orang yang tidak bicara agama. Sekarang sebagaimana sebelumnya, doktrin agama diterima berdasarkan kepercayaan dan didukung oleh tekanan eksternal, dibenahi secara bertahap di bawah pengaruh pengetahuan dan pengalaman hidup yang berkonflik dengannya. Seseorang sangat sering menjalani hidup dengan membayangkan bahwa ia masih menganut secara kukuh doktrin agama yang diajarkan padanya semasa kecil, sedangkan faktanya pada masa kini tak ada bekasnya lagi. Jika keyakinan bagi mereka adalah cara mencapai tujuan secara harfiah, maka tentunya itu bukan keyakinan.
Perasaan skeptisku terhadap doktrin menjadi suatu kesadaran pada usia yang sangat dini. Kupelajari semua ’kebenaran’ yang bisa kupelajari, apapun yang ’dilemparkan’ kehidupan di jalanku. Serta membiasakan diri terhadap daya tahan dan kesabaran dengan bermacam kekurangan.
Apa yang kulakukan ketika mencari jawaban tentang kebenaran dalam lembaga-lembaga pendidikan formal? Aku ingin tahu mengapa aku hidup dan untuk maksud ini, kupelajari semua yang berada di luar diriku. Jelaslah, aku menghabiskan 23 tahun, tapi tak ada pengetahuan tentang apa yang kubutuhkan.
Apa yang kulakukan ketika kucari jawaban dalam bacaan-bacaan filosofis? Aku mempelajari pemikiran-pemikiran mereka yang telah menemukan diri mereka. Dalam pandangan yang sama denganku, jelaslah aku mungkin tak mempelajari apapun melainkan apa yang kutahu tentang diriku sendiri yaitu tak ada yang bisa kuketahui. Siapakah aku? Bagian dari yang tak terbataskah? Dalam sedikit kata-kata itu, terletak keseluruhan masalah. Pertanyaan yang begitu sederhana dan keluar dari lidah setiap anak bijak. Sejak manusia tercipta, relasi antara yang terbatas dengan yang tak terbatas telah dicari dan dinyatakan.
Alasan pertama keraguanku adalah aku mulai memperhatikan bahwa para tokoh agama sama sekali tidak sesuai dengan diri mereka sendiri. Saling mengumbar kebenaran, padahal terhadap pertanyaan paling sederhana tentang kehidupan: apa yang baik dan yang buruk, mereka tidak bisa fokus bagaimana menjawabnya. Mereka semua tak saling mendengarkan. Sebaliknya bicara bersamaan, kadang saling mendukung dan memuji agar ganti didukung dan dipuji. Kadang jadi marah satu sama lain- persis seperti di rumah sakit jiwa. Selalu marah bahwa mereka tak mendapat cukup perhatian. Seperti semua orang gila, menyebut semua orang adalah gila kecuali dirinya sendiri.
Perdebatan tentang kebenaran hanya berhasil dalam menyembunyikan ketidaktahuan mereka dari satu sama lain. Aku melihat apa yang mereka bagikan sebagai keyakinan tak menjelaskan makna kehidupan. Sebaliknya mengaburkannya. Mereka sendiri mengukuhkan keyakinan bukan untuk menjawab pertanyaan soal kehidupan yang dapat membawaku pada keyakinan, tapi untuk beberapa tujuan lain yang asing bagiku.
Pekerjaan otoritas-otoritas agama dalam mendakwahkan kebenaran adalah untuk melindungi otoritas kekuasaan yang diwariskan secara turun temurun. Kualihkan perhatianku pada apa yang dilakukan atas nama agama dan aku merasa geli sekaligus ngeri. Aku hampir menyangkal otoritas itu sepenuhnya. Hubungan kedua antara otoritas keyakinan dengan soal kehidupan adalah berkaitan dengan perang dan eksekusi.
Kuingat perasaan menyakitkan terhadap ketakutan akan jatuh kembali ke dalam keadaan putus asa seperti sebelumnya, setelah harapan yang sering kualami dalam pergaulanku dengan mereka. Makin banyak doktrin yang mereka jelaskan padaku, makin jelas aku merasakan kesalahan mereka dan menyadari harapanku untuk menemukan penjelasan tentang makna kehidupan dalam keyakinan mereka adalah sia-sia.
Bukan bahwa dalam doktrin mereka, mereka mencampurkan banyak hal yang tak perlu dan tak masuk akal dengan kebenaran-kebenaran agama. Itu bukan hal yang meresahkanku. Aku resah oleh fakta bahwa hidup orang-orang ini, seperti hidupku, demikian tak sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka paparkan dalam ajaran mereka sendiri.
Aku merasa mereka menipu diri sendiri dan mereka, sama sepertiku, tak menemukan makna kehidupan lainnya selain menjalani hidup selama kehidupan berlangsung dan dunia masih berputar. Aku melihat ini karena jika mereka punya makna yang menghancurkan ketakutan akan kehilangan, penderitaan dan kematian, mereka tak kan takut pada semua ini.
Tak ada argumen yang bisa meyakinkanku tentang kebenaran akan keyakinan mereka. Kecuali  perbuatan-perbuatan yang bisa menunjukkan bahwa mereka melihat suatu makna dalam kehidupan, yang membuat apa yang sangat menakutkan bagiku –kemiskinan, penyakit dan kematian- dan tak menakutkan bagi mereka, bisa meyakinkanku.
Sangat berlawanan dengan cara orang-orang di lingkungan terdekatku (mereka orang-orang sederhana, orang-orang biasa) dalam hal mensikapi nasib karena kehilangan dan penderitaan. Mereka menerima penyakit dan duka cita tanpa kebingungan dan menentang. Dengan diam dan keyakinan kokoh bahwa semua itu akan baik-baik saja. Mereka tahu makna kehidupan dan kematian, bekerja diam-diam, menerima kehilangan dan penderitaan serta menjalani hidup dan mati dengan memandang semua itu bukan sia-sia melainkan biasa.
Orang-orang kaya dan terpelajar, bukan hanya menjadi sangat tidak kusukai tapi kehilangan semua makna di mataku. Semua tindakan, diskusi, buku akademis dan jurnal ilmiah, menampilkan diri padaku dalam bentuk yang lain. Kupahami semua itu hanya kemanjaan diri dan tak mungkin menemukan makna di dalamnya. Sedangkan hidup semua manusia biasa itu, semua orang yang menghasilkan kehidupan, bagiku memiliki makna yang sebenarnya. Kupahami bahwa itulah hidup itu sendiri dan makna yang diberikan pada hidup itu adalah kebenaran dan aku menerimanya.
Aku berhenti ragu dan menjadi yakin sepenuhnya bahwa tak semua benar dalam otoritas kebenaran yang kutemui. Semua orang punya pengetahuan tertentu tentang kebenaran. Dalam keyakinan orang-orang, kebohongan juga bercampur dengan kebenaran. Betapapun mungkin tampak liar bagi pikiran lamaku yang mapan tapi itu satu-satunya harapan ketenangan. Hal itu harus diperiksa dengan penuh perhatian dan hati-hati agar bisa memahaminya.
Bahwa ada kebenaran dalam otoritas itu bagiku tak bisa diragukan, tapi juga pasti ada kebohongan di dalamnya. Aku harus menemukan apa yang benar dan yang salah, dan harus membebaskan yang satu dari lainnya. Aku akan mengerjakan tugas ini. Kebohongan yang kutemukan dalam ajaran itu dan yang kutemukan tentang kebenaran serta terhadap kesimpulan yang kuperoleh akan membentuk bagian-bagian pekerjaan ini berikutnya. Jika hal itu berharga dan jika anak keturunanku menginginkannya, suatu hari mungkin akan jadi monumen.

23 January 2012

POLA KEHIDUPAN


Dalam kehidupan individu terdapat kemungkinan adanya pola-pola partikular yang akan memberi dampak lain. Pola-pola partikular tersebut, misalnya, hal-hal yang kita pilih dan kita lakukan atau hal-hal yang tidak kita pilih namun tetap saja terjadi. Saya yakin, sebagian besar orang mengira bahwa mereka harus memilih satu pola tertentu dan menerapkannya ke dalam kehidupan.

”Karier” sering dipandang sebagai salah satu bentuk pola tersebut, walaupun sukses atau tidaknya karier adalah masalah lain. Kesuksesan barangkali terjadi akibat kematangan rencana, kelihaian mengambil kesempatan –pendek kata, kesuksesan sepenuhnya adalah persoalan kesempatan. Seseorang merasa sukses dalam hal keduniaan (harta melimpah, jabatan terhormat, rumah bagus, kendaraan mahal, gelar, popularitas, hasil karya, monumen diri, kehormatan, atau beristeri lebih dari satu) berarti selama hidupnya atau bisa dikatakan, dia menghabiskan umurnya, tenaganya bahkan kesehatannya hanya untuk merencanakan, meraih kesempatan tersebut. Bahkan melakukan ibadah dan berdoa kepada Tuhan supaya dia diberi kesuksesan dunia itu.

Dalam setiap peristiwa, pola-pola tadi selalu dianggap sebagai ”sumber pujian”. Seorang dikatakan sukses jika mencapai hal-hal di atas, meskipun pada kenyataannya moralnya harus dipertanyakan. Sebaliknya, selamanya tidak ada orang baik yang bisa dikatakan sukses kalau dia miskin atau bodoh.

Tapi bukan itu yang penting, hidup bukanlah sekedar pencapaian ”sukses” dan ”tidak sukses”, apalagi tolok ukurnya adalah hal-hal yang bersifat duniawi. Pendirian yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini adalah bahwa kehidupan ini dibatasi oleh kesempatan baik dan kesempatan buruk –sesuatu yang tidak kita rencanakan, perhatikan atau pahami.

Tujuan saya mengatakan adanya kemungkinan sebuah pola dalam kehidupan individual adalah untuk melibatkan aspek-aspek yang tidak dapat dipilih ini –aspek-aspek yang bersifat given (diberikan). Ketika pola-pola tertentu telah ditemukan, itu berarti pola tersebut sebetulnya dapat dijadikan sebagai tuntunan dan bagian dari ”makna kehidupan”.

Pola semacam ini, dilihat dari sudut pandang logika, mengandaikan bahwa manusia bisa bermakna hanya bagi dirinya sendiri dan orang lain memiliki nilai bagi orang lain dalam konteks hidup bersama. Akan tetapi, kita juga bisa membayangkan kehidupan ini tanpa pola dan sebagian kita tentu pernah mengalami tahap hidup seperti ini. Tahapan di mana warna dan konfigurasi hidup sama sekali mengalami perubahan dan mulai terlihat berbeda dari sebelumnya.

Saya mengemukakan keterangan di atas sebagai salah satu kenyataan hidup, bahwa kita bisa terus dan terus mencari pola tertentu hingga menemukan sebuah pola yang sesuai. Pola yang sesuai ini adalah pola yang akan memainkan peran penting dalam tataran praktis. Sampai pada titik tertentu, pola tersebut akan mampu menjawab pertanyaan, Bagaimana saya harus menjalani hidup ini? Apa yang harus saya lakukan dengan hidup saya ini?

”Mencari sebuah pola” dan ”menerima sebuah pola” harus dipahami dengan cara dan konteksnya masing-masing. Dengan ungkapan yang pertama, saya tidak melibatkan pengertian ”pilihan secara total”, yang ingin saya ketengahkan adalah pengertian tentang menerima kenyataan-kenyataan hidup ini apa adanya (given). Namun tentu saja ada situasi-situasi yang mengharuskan kita melakukan pilihan, meskipun dalam ruang gerak yang sangat sempit.

Saya telah mencoba menjelaskan pendapat bahwa kehidupan ini tidak hanya ”melakukan” (doing) tapi juga ”memahami” (understanding). Menentukan pola-pola tertentu menyiratkan aspek quite (kepastian) di dalamnya, yang bersifat sangat tidak idealistik. Saya berharap bisa menemukan satu pola kehidupan yang sesuai sehingga saya bisa menyesuaikan diri dengannya bukan karena ingin mendapatkan pujian atau imbalan.

Dalam melaksanakan pola pilihan, tidak berarti saya menyepelekan pola-pola lain, hanya saja saya memandang pola lain tidak sebaik pola yang saya yakini. Berarti dalam hal ini saya telah membuat putusan praktis yang hanya terasa sempurna bagi diri saya sendiri.

Saya sedang membicarakan kemungkinan kehidupan individual yang memiliki polanya sendiri. Tapi untuk menyetujui pendapat ini kita harus memiliki prinsip-prinsip umum evaluasi. Kita bisa saja berharap orang lain mau menerima prinsip-prinsip tertentu, namun kita tidak bisa memaksa atau mengarahkan orang lain menerima pola-pola tertentu untuk kehidupan mereka. Sebabnya adalah karena pola-pola individual ini melibatkan unsur-unsur yang given, yang tidak bisa dipilih. Sama halnya dengan dua orang yang memiliki penilaian sama tentang sebuah benda, tapi dalam hidup mereka masing-masing, benda tersebut pasti menempati tempat berbeda.

Saat saya bicara tentang ”menerima pola-pola tertentu”, yang dimaksud bukanlah memiliki sebuah pola, bahwa segala sesuatu harus saya lakukan berdasarkan pola tersebut. Ini terjadi karena pola-pola tersebut mencakup unsur-unsur ”yang given” yang tidak bisa saya pilih dan pola-pola tersebut bisa saja berubah tanpa keinginan saya. Misalnya, saya tentu akan bertambah tua, dengan begitu waktu yang dihabiskan akan makin banyak dan pilihan-pilihan yang harus dihadapi juga semakin bertambah. Sekarang setelah memiliki hubungan dengan orang lain, mereka mungkin akan mati, pindah atau tidak termasuk lagi ke dalam masyarakat tempat saya tinggal. Sementara kehidupan terus berjalan, pola yang saya pakai membuat saya kebal terhadap hal-hal yang tak terduga dalam kehidupan, baik hal yang baik maupun yang buruk.

Pola-pola inilah yang saya pahami ketika beberapa waktu lalu membaca kitab suci:

”Dia (Musa) menjawab, ”Tuhan kami ialah (Tuhan) yang memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu kemudian memberinya petunjuk”.

Dalam arti Tuhan memberikan akal, insting (naluri) dan kodrat alamiah untuk kelanjutan hidup masing-masing makhluk.

Pada tingkatan selanjutnya saya juga membaca:

”Katakanlah (Muhammad), ”Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”.

TAMAN JIWA



Selain kesenangan yang muncul dari nafsu-nafsu yang melekat dengan penggunaan tubuh (epithumia) seperti makan, minum dan seks. Ada juga ”kesenangan-kesenangan lain”, yaitu kesenangan murni jiwa. Ada perbedaan antara kesenangan murni jiwa dengan kesenangan saat menggunakan tubuh sebagai instrumen.
Bila orang hidup melulu mengikuti nafsu tubuh, maka kenikmatan baginya adalah menumpuk harta benda, mendapatkan keuntungan material, mendapat kepuasan seksual dan semacamnya. Mengapa? Karena dengan harta benda ia bisa memenuhi hasratnya akan makan, minum, seks (menikah lagi) dan apa saja yang sejenis dengan itu.
Orang yang hidup mengikuti hasrat harga diri ( thumos), kenikmatan tertinggi adalah ketika ambisi-ambisinya tercapai dan mendapatkan penghargaan serta nama besar. Sementara orang yang mencintai kebijaksanaan dan kebenaran-kebenaran sejati, kenikmatan baginya tidak ditemukan dalam keuntungan material, bukan juga pada soal harga diri dan reputasi. Kenikmatan pencinta kebijaksanaan adalah pengetahuan akan hal-hal yang dalam dirinya sendiri benar, baik dan indah.
Dari berbagai macam kenikmatan yang ada, ada kenikmatan yang stabil dan murni yang hanya muncul dari aktifitas berpikir –yaitu saat intelek mengkontemplasikan yang intelligible atau idea. Kenikmatan ini berbeda dengan kenikmatan yang diperoleh binatang yang hanya melihat ke bawah, menunduk dan sekedar lekat pada hal-hal yang selalu berubah. Tunduk pada nafsu-nafsu makan, minum atau seks yang tak pernah puas, padahal semua itu semu, sehingga orang seperti kehausan untuk selalu mencari yang sejati dalam kesemuan, dengan akibat tak pernah puas, semakin terbenam dalam lingkaran tanpa pernah bisa melongok ke atas (terjebak dalam fatamorgana).
Hidup yang baik dan membahagiakan selalu diiringi kenikmatan. Namun bukan sembarang kenikmatan yang bersifat tak terbatas dan selalu meminta lagi dan lagi. Melainkan sebuah kenikmatan yang sudah diberi batas oleh rasio.
Ketika menganalisis sebuah fenomena muncullah rasa nikmat (kesenangan, pleasure, hedone). Ada dua macam kenikmatan sebagai efek terpenuhinya suatu kebutuhan yang berkenaan dengan tubuh. Saat perut terisi, hal yang bersifat fisik ini ditemani oleh sebuah efek, rasa nikmat. Sebaliknya, rasa sakit juga bukan karena kosongnya perut, melainkan suatu efek yang menyertai perut yang kosong. Namun, kedua, ada jenis kenikmatan lain yang tidak tergantung pada perubahan-perubahan fisiologis, yaitu rasa nikmat dan rasa sakit yang berkenaan dengan jiwa. Terlepas dari soal-soal fisiologis, saat jiwa cenderung pada sesuatu, orang bisa membayangkan dan merasakan nikmat atau sakit disitu. Jadi, tanpa adanya hal-hal yang bersifat fisis, kita bisa pula merasakan sakit atau nikmat. Dengan demikian, kenikmatan sebenarnya lebih berkaitan dengan penilaian jiwa manusia daripada fenomenon yang melulu fisik.
Dari situ, kenikmatan yang murni adalah semacam efek yang menyertai saat kita mempersepsi objek yang sejati (intelligible). Artinya, aktifitas rasional yang mengkontemplasikan objek sejati dengan sendirinya membawa kenikmatan.
Di titik ini, munculnya kenikmatan sebenarnya tidak lagi tergantung pada apa yang dirasakan jiwa, melainkan dari hal yang dikontemplasikan itu sendiri. Hal yang sejati (idea, keadilan, keindahan) dengan sendirinya membuat manusia senang, nikmat, puas. Sebaliknya, hal yang jelek dapat membuat jiwa sakit.
Sejauh jiwa menjadi dorongan yang hadir di tiap tataran diri manusia, pemuasan atas dorongan itu menyertakan kenikmatan pada tiap tingkatan manifestasinya. Namun secara keseluruhan, kenikmatan sejati akan dirasakan manakala ada harmoni dalam ”bagian” jiwa manusia, manakala rasio menjadi guide bagi kenikmatan-kenikmatan terukur di tiap bagiannya.
Jiwa yang sudah tercerahkan akan mudah untuk mencerap atau mencandra sesuatu di balik kenyataan, fenomena di balik yang maujud. Mencari substansi atau memaknai hakekat dari setiap kejadian dan peristiwa. Di samping memfungsikan mata fisik, seseorang juga dapat memfungsikan mata hatinya (Al-Bashiroh) dengan baik. Dunia makna adalah tempat yang paling disukainya, lebih dari dunia nyata tempat di mana dia hanya sekedar menjalankan kehidupannya sebagai manusia bersama manusia-manusia yang lain. Dia sibuk dengan permasalahan sebab akibat, kontinuitas, keabadian atau tata tertib alam semesta dan segala yang berjalan di dalamnya. Menciptakan sebuah taman jiwa dalam dirinya, bergembira dalam dunia ruhaniah. Semua aktifitas itu dia jaga dengan baik sampai dia bertemu dengan orang-orang bisa diajaknya berbincang-bincang. Karena bincang-bincang yang menyenangkan juga memberikan kebahagiaan.



-->