07 January 2018

ZAMAN EDAN



Amenangi zaman edan
Ewuh aya ing pembudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman milik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersaning Allah
Begja begjaning kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada

(Ronggowarsito)

Waspada di sini bukanlah kesadaran diri menurut rasionalisme Barat yang mendasarkan diri pada pikiran rasional murni, melainkan kesadaran diri dalam sebuah pancaran religius hubungan antara Pencipta dan makhluknya, suatu kesadaran yang membuat manusia eling atau ingat akan eksistensi dirinya dan kenyataan sosial di luar dirinya.

Dalam tradisi sastra Jawa kuno dapat ditemukan konsep kesadaran yang sangat sensitif terhadap krisis-krisis sosial. Dan seperti halnya dalam peradaban lain, masyarakat Jawa kuno juga memiliki ‘orang-orang bijaksana’nya sendiri, yang dengan pendekatan khususnya membantu masyarakatnya mereorientasikan diri pada nilai-nilai kulturalnya. Acuan mereka adalah tradisi dan stabilitas nilai-nilai yang sudah dihayati secara turun temurun.

Kehidupan sosial senantiasa berubah, kondisi lama bergerak menuju kondisi baru. Dalam kenyataan, apa yang disiratkan dalam puisi Zaman Edan itulah yang sebenarnya terjadi. Peralihan ini menimbulkan kebingungan moral atau kontradiksi kehidupan. Intuisi estetis penyair Jawa ini menangkap fenomena krisis secara lebih utuh, yang meliputi krisis identitas dan krisis makna. Sebuah krisis yang memunculkan kesenjangan dan menghasilkan proses dehumanisasi.

Zaman Edan di sini dihubungkan dengan pergeseran nilai-nilai, maka tersirat bahwa pemeliharaan tradisi merupakan sebuah kondisi dari Zaman Waras. Banyak muncul kesenjangan antara konsep kehidupan dan kenyataan sehari-hari. Penipuan-penipuan diri secara tak sadar merupakan hasil dari kehilangan kesadaran. Kalau ‘keedanan’ dapat didefinisikan sebagai hilangnya kontrol kesadaran diri, sebenarnya hal ini sudah luas menjangkiti kehidupan bermasyarakat.

Semua dipaksa berkompromi dengan logika pasar dan logika birokrasi. Padahal berkompromi bukanlah sebuah rekonsiliasi yang mengintegrasikan proses-proses interaksi modern dalam sebuah penghayatan batin, melainkan sebuah cara berkelit untuk bertahan hidup.

Kembali kepada puisi di atas, dilukiskan di sana bahwa setiap orang mengalami kebingungan, mengalami disorientasi nilai-nilai, maka ngedan adalah cara adaptasi untuk bertahan hidup. Ngedan bukan sekedar perilaku, melainkan juga semacam cara berpikir yang timbul karena desakan objektif kebutuhan lahiriah, taruhlah kondisi sosial, kebutuhan ekonomi, atau situasi politik yang menghimpit individu pada tuntutan untuk bertahan hidup.

Perilaku ngedan ini akan memaksa individu untuk bertindak, sampai akhirnya diterima lingkungan dengan sukarela sebagai syarat untuk bertahan hidup. Bahkan lebih jauh akan raib ke alam bawah sadar dan membuatnya ‘lupa’. Lupa pada dirinya dan lupa pada kehormatannya. Hanya untuk sekedar bertahan hidup dia menghalalkan segala cara. Hanya untuk mendapatkan sedikit ‘sesuatu’ dia menjilati kaki atasannya.

Menurut penyair Zaman Edan, waspada sebenarnya mengacu kepada kemampuan untuk membentuk kesadaran diri dari bentuk-bentuk kesadaran lain yang masuk kategori ngedan. Edan tetaplah edan dan tentu saja berbeda dengan waras. Ketegasan ini, satu paket dengan resikonya, hanya mungkin dan mampu dilakukan oleh seseorang yang memahami dan menarik diri dari ‘keedanan’.

Diagnosis mengenai ‘keedanan’ disudahi dengan sebuah tindakan introvert, mengadakan kesadaran dan kewaspadaan diri. Akar masalah dikembalikan pada diri, dunia batiniah, sehingga diharapkan setelah memperbaiki diri maka seseorang akan lebih eling dan waspada dalam memperbaiki lingkungan dan masyarakatnya.