30 November 2013

PENGLIHATAN DAN PEMAHAMAN



Menurut para sufi eksistensi Ilahiah tidak hanya dikenal melalui dalil akal atau pemberitaan para nabi, tetapi juga melalui penglihatan batin. Dalam menempuh tingkatan ini, menurut mereka, seseorang akan menemui berbagai keadaan mental, yang disebut dengan ahwal, seperti rasa cemas (khauf), tenteram (tuma’ninah), dan sedih (huzn), yang datang dan pergi pada waktu yang tidak diketahui secara persis. Ini terjadi bersamaan dengan perubahan kepribadian yang sedang dialami, yakni hilangnya kepribadian lama, menguatnya kepribadian baru dan munculnya ’pemahaman’.

Pemahaman tersebut bukan berasal dari pengetahuan yang bersifat demonstratif, tetapi ilham yang menyusup ke lubuk hati. Karena itu, pemahaman tersebut mustahil dapat diekspresikan atau dijabarkan –karena berupa kondisi perasaan yang sulit diterangkan- kepada orang lain dengan kata-kata biasa. Lagi pula pemahaman tersebut merupakan suatu kondisi yang cepat sirna dan jarang dapat bertahan lama meskipun dapat menimbulkan kesan yang sangat kuat dan mendalam.

Seseorang yang tirai hatinya telah terbuka terhadap pemahaman eksistensi Ilahiah niscaya akan menumpahkan segenap perhatian dan konsentrasi untuk mengejarnya. Ia tidak menemukan kepuasan rohani dan kebenaran sejati di bidang ilmu lain atau masalah apapun, tetapi lebih memilih terjun memasuki lautan rahasia dan ternyata di situ ia menemukannya.

Perkataan-perkataan sebagai ungkapan pemahamannya merupakan perkataan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari relung hati. Karena itu, dilihat dari sudut pandangan hukum, ia tidak dapat dihakimi karena perkataan tersebut, karena hal itu bukan keluar dari hawa nafsu tapi semata dari hasil penglihatannya yang kemudian dipahami. Tetapi seseorang yang tidak dapat mengendalikan diri akan senantiasa tetap dalam keadaan al-bidayah (permulaan/belum dewasa), ia tidak dapat dijadikan panutan bagi yang lain. Yang lebih sempurna adalah seseorang yang telah mapan dan mampu mengelola hasil-hasil penglihatan dan pemahamannya.

GAGAL MENCAPAI KEBAHAGIAAN



Bahagia atau kebahagiaan (happines) demikian ia disebut sudah menjadi perburuan purba. Tidak satu diripun yang tidak mencari keberadaannya, sebaliknya di berbagai tempat dan waktu, setiap manusia selalu hidup untuk mengejar mimpi misteri bernama kebahagiaan. Ada yang menempuh jalan sebagai filosof, sufi, resi, pertapa, pengembara, peziarah atau bahkan ada yang tidak menempuh jalan apapun karena tidak tahu kemana mencari kebahagiaan tersebut. Kitab suci diturunkan, nabi dan rasul diutus, berbagai kitab dan buku ditulis, meskipun demikian, ia tetap menjadi misteri agung. Hanya mereka yang mengetahui kunci rahasianyalah yang bisa memilikinya. Namun, hingga saat ini manusia tidak tahu siapa yang mengetahui kunci dari hidup bahagia tersebut.
Dari masa ke masa bermunculan kelompok dan individu yang melakukan penelitian dan riset secara mendalam. Di antara mereka akhirnya menemukan bahwa pencarian itu dilandasi oleh pengetahuan akan diri sendiri. Bagaimana mungkin kita mencari tahu sesuatu dengan bijaksana kalau kita tidak mengenali diri kita sendiri. Karena substansi manusia adalah jiwanya bukan tubuhnya yang memenjarakan maka kajian tentang jiwapun menjadi tema pokok mereka.
Ikhwan as-Shafa, sebuah persaudaraan rahasia pada masa dinasti Abbasiyah, menjelaskan bahwa jiwa yang berpengetahuan, substansinya akan bersih karena tidak terkotori perilaku jahat dan moralitas rendahan serta pandangan-pandangan sesat (pandangan-pandangan tentang fenomena yang tidak sesuai dengan hakekat realitasnya). Akan tampak darinya bentuk-bentuk atau gambaran-gambaran sempurna realitas-realitas imaterial di dunia spiritual (vision) hingga jiwa itu dapat menangkapnya sesuai dengan realitas yang sebenarnya dan menyaksikan realitas-realitas non fisik, sebagaimana indera lahir yang sehat  menangkap objek berupa realitas-realitas material. Terdapat hubungan kausalitas antara vision (musyahadah)  dengan kebahagiaan (as-sa’adah).
Sebaliknya jiwa yang terus menerus dalam keadaan terkotori oleh kebodohan, perbuatan jahat dan moralitas rendahan serta pandangan-pandangan sesat, ia akan selalu terhalang untuk bisa menangkap realitas-realitas non fisik di atas dunia fisik ini. Ujungnya, ia tidak akan mampu ’mengenal’ Tuhan. Lebih rinci lagi, hijab manusia dengan Tuhannya yang berupa kebodohan terhadap substansi diri sendiri, dunianya, tempat asal dan kembalinya akan berakibat dirinya diliputi oleh perbuatan-perbuatan jahat dan merugikan orang lain.
Jiwa yang senantiasa diliputi oleh hijab-hijab di atas, selain berakibat ia tidak bisa melihat dirinya sendiri, juga tidak akan bisa tampak darinya sesuatu yang baik lagi indah dan lezat. Jiwa semacam itu tidak akan merasakan kesenangan dan enggan berusaha mencapai apalagi merindukan padanya. Mereka tidak bisa mencapai kenikmatan lebih tinggi dan abadi yang bersifat rohani (imaterial). Inilah jiwa-jiwa yang menderita dan gagal mencapai kebahagiaan.

04 November 2013

JALAN YANG LURUS




”Yang tidak mencari, tidak akan pernah menemukan”

Manusia menemui banyak halangan untuk menyadari dirinya sendiri, mudah mengalami alienasi dan diskontinuitas. Merasa jauh dengan aspek terdalam dari diri mereka sendiri. Ketidakmampuan berdialog dengan diri ini telah membuat seseorang nyaris hidup sebagai the others atau menjadi ‘yang lain’. Peran-peran sebagai ’yang lain’ ini terus mereka mainkan sepanjang waktu sehingga mereka makin tersesat dengan situasi yang konon bersifat ilusif, delusif serta gagal di dalam mengalami emosi yang mereka miliki.

Terlalu banyak pengaruh eksternal yang mempengaruhi kehidupan. Alih-alih, mereka diporakporandakan secara tidak sadar oleh berbagai filsafat ilmu (epistemology) yang berbeda bahkan bertolak belakang saat mempelajari mata pelajaran di sekolah dasar dan menengah kemudian diperparah oleh perguruan tinggi dan pelatihan-pelatihan profesional. Siapapun tidak dapat belajar selama bertahun-tahun dan kemudian tidak tersentuh oleh apapun yang telah dia pelajari. Inilah rintangan utama dan penghambat pemulihan kesadaran murni manusia.

Selanjutnya, pada level kemasyarakatan, pengaruh sistem dan tekanan birokrasi pemerintah menyebabkan seseorang kehilangan kemandirian intelektual dan peniruan buta mereka terhadap norma-norma yang dipersonifikasikan dalam ideal-ideal, pranata-pranata, struktur-struktur dunia modern yang dingin, kaku dan tanpa hati. Di antara bentuk rintangan-rintangan ini adalah politisasi komunitas, penulisan sejarah, interpretasi monolitik atas ajaran-ajaran agama dan ketundukan tak sadar mereka terhadap pengajaran ideologis para pemuka agama dan sebagainya.

Louis Althusser seorang filosof Aljazair tidak hanya melihat bagaimana struktur besar seperti pendidikan, ekonomi, negara (beserta perangkatnya) serta agama berpengaruh terhadap individu dalam kehidupannya di dunia. Lebih mendasar lagi, ia mengkaji bagaimana sejak tangis pertama bayi di dunia pengaruh struktur sudah mulai ditanamkan di sana.

Jalan kehidupan semakin terlihat bercabang-cabang, menyeruak benak diliputi kegelapan. Kemudian pertanyaannya di manakah jalan yang satu dan lurus itu? Jawabannya adalah sesungguhnya ia seperti cahaya yang tergenggam tangan ajaib. Maka, hanya ketika tangan ajaib itu bermurah hati sajalah seseorang bisa sungguh-sungguh beruntung dan melihatnya.



”Tunjukilah kami jalan yang lurus”

(Pembukaan: 6)