07 January 2013

IDEOLOGI KERJA

 
”Sebuah kehidupan yang tak diamati dan direnungkan tidaklah berharga bagi seorang manusia”.

Kerja, adalah sebuah kata kunci untuk kehidupan masa kini. Seseorang akan merasa bermartabat jika sudah bekerja dan akan semakin terangkat harga dirinya sebanding lurus dengan jenis pekerjaan yang dianggap terhormat dalam masyarakat. Seorang pemuda akan percaya diri melamar idaman hatinya jika sudah bekerja. Sang mertuapun tidak akan berpikir seribu kali untuk menerima calon menantu jika sudah bekerja. Akan tetapi di sisi lain pekerjaan juga menimbulkan efek negatif berupa stress. Menurut data Everest College's 2012 Work Stress Survey yang dilakukan oleh Harris Interactive, perusahaan layanan survei untuk perkembangan bisnis dan karier, hampir 73 persen pekerja di Amerika merasa stres saat bekerja.
Akibat stress karena kerja ini manusia terinfeksi penyakit nostalgia masa silam sambil gamang menghadapi masa sekarang, dan gelisah akan masa depan. Selain itu, ia terus menerus hidup dalam aura panas persaingan produktivitas, prestasi, kepentingan politis dan ekonomi, yang memicu manusia mengambil jalan pintas, yang kerap brutal, ilegal, imoral dan berakibat fatal. Akhirnya manusia kehilangan orientasi; kehilangan kesempatan menilai dan mengevaluasi; kehilangan daya untuk menghimpun kekuatan dan menyusun strategi. Fenomena ini antara lain disebabkan oleh ’pendewaan’ terhadap kerja. Dunia manusia menjadi begitu riuh, bising dan glamor dengan urusan bisnis, kerja dan karir sehingga manusiapun terbelenggu secara eksistensial.
Seorang Josef Pieper, filosof Jerman, mensinyalir bahwa kini kerja telah menjadi sebentuk ’agama’, sesuatu yang dikultuskan, ”bekerja berarti berdoa”. Kerja menjadi satu-satunya sarana yang dimutlakkan, hingga tak heran bahwa ia lantas mudah mendehumanisasi kemanusiaan. Kerja tak lagi menjadi ekspresi eksistensi manusia, tak lagi bernilai sakral, tak lagi mempunyai fungsi sosial. Kerja telah menginvasi pelbagai ranah kehidupan atas nama prinsip utilitarian, maka manusia terjerembab ke lembah rutinitas, otomatisasi dan mekanisasi.
Dengan kata lain, kerja tak lagi menjadi ruang untuk bertanggung jawab, tetapi justru dimanfaatkan oleh orang atau kelompok tertentu demi tujuan tertentu, sehingga lantas melahirkan pola-pola perilaku atau struktur psikologis yang tak bisa dipertanggungjawabkan, baik dari orang yang dipekerjakan maupun yang mempekerjakan. Struktur inilah yang pada akhirnya menghunjam dalam diri seseorang.
Louis Althusser seorang filosof Aljazair percaya bahwa masyarakat, lewat struktur keluarga, sudah memberikan kerangka-kerangka yang membatasi ruang pandang individu untuk mengenali dunia kerja. Dunia kerja seorang manusia sejak semula adalah dunia terbingkai struktur yang tertanam dalam dirinya. Tumbuhlah ia menjadi manusia yang digerakkan struktur, makin menjauh dari dirinya, tak disadari dan tak terhindari.
Kepercayaan yang tertanam tanpa disadari itulah yang dinamakan ideologi kerja dalam pengertian Althusser. Ideologi adalah segala yang sudah tertanam dalam diri individu sepanjang hidupnya; history tum into nature, produk sejarah yang seolah-olah menjelma sesuatu yang alamiah. Semuanya dijelaskan dengan aturan-aturan yang tidak dapat ditemukan dasar epistemologisnya. Kita tak ingat siapa yang menjelaskan cara berpikir yang kita pakai sekarang, dan mengapa cara itu yang kita gunakan.
Kita tidak bermaksud menggugat pemahaman tentang kerja per se; tidak pula menolak, mengecam atau mengelakkan dunia bisnis dan ekonomi. Karena bagaimanapun tanpa adanya kerja kebudayaan dan peradaban tidak akan terbentuk. Kemalasan kerja adalah kerapuhan dalam memaknai kehidupan. Dalam tradisi Islam banyak pula hadith Nabi SAW yang menerangkan tentang keutamaan bekerja.
Akan tetapi yang berlaku dan sering kita dengar adalah sebuah kehidupan yang hampir semuanya diatur oleh disiplin kerja, sistem administrasi dan dorongan sukses, sehingga ’dunia kehidupan’ yang leluasapun tertekan. Padahal kita kadang perlu berbicara bahwa ada yang tak bertujuan tapi perlu. Ada laku manusia yang berharga karena tak dijajah oleh ’guna’, tak dikungkung oleh perhitungan efisiensi, rencana dan dorongan untuk berprestasi. Suatu kondisi di mana seseorang menjadi tak perlu, tak diminta dan mengikatkan diri ke manapun. Jadi, kita boleh saja rajin bekerja, tapi janganlah kemudian secara otomatis menjadi penganut buta ideologi kerja.