15 November 2011

KEKELIRUAN EPISTEMOLOGIS


Filosof Universitas Cambridge, Inggris, yang dianggap sebagai perintis aliran Filsafat Bahasa, George Edward Moore (1873-1958), mengatakan bahwa kekeliruan epistemologis adalah kekeliruan naturalistik. Ia memberi contoh, ternyata kita tidak pernah mengetahui makna kata “baik” sekalipun kata itu merupakan kata kunci dalam perbincangan moral. Kata “baik” dengan demikian seolah-olah sudah jelas dengan sendirinya, padahal begitu banyak definisi tentang kata “baik”.

Kaum Hedonis, misalnya, mengatakan bahwa “baik” bermakna “senang”, sementara itu Spencer berpendapat bahwa “baik” artinya “apa yang bermanfaat”. Moore menegaskan, definisi semacam itu belum menjawab makna kata “baik” karena segala usaha untuk menyamakan “baik” dengan salah satu sifat, misalnya dengan “senang” atau “apa yang bermanfaat”, dengan sendirinya sudah keliru. Kekeliruan naturalistik ini dipicu oleh penyamaan antara sesuatu yang primer (“baik”) dan sesuatu yang bersifat faktual (“senang” atau “apa yang bermanfaat”). Oleh karena itu, Moore menegaskan bahwa kata “baik” merupakan kata dasar yang tidak dapat direduksi pada sesuatu yang lebih mendasar lagi. Sifatnya yang primer pun membuat kata “baik” tidak memiliki bagian-bagian sehingga tidak dapat dianalisis (Magnis Suseno, 2006). Dengan demikian, boleh dipertanyakan apakah yang “senang” atau apakah “yang bermanfaat” dapat dikatakan “baik”?

Kekeliruan-kekeliruan ini kita produksi dalam berbagai macam kesempatan bahkan setiap hari, seperti waktu mengajar di kelas, dalam kehidupan beragama, debat politik di parlemen, penyampaian berita di TV, menulis buku, menulis status di Facebook atau bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai macam kosa kata yang setiap hari kita gunakan seperti cinta, tanggung jawab, komitmen dan sebagainya hampir semuanya tidak kita ketahui makna substansinya. Hal inilah yang kemudian akan berkembang menjadi kesalahpahaman, beda penafsiran, salah tampa, atau bahkan bisa menjadi konflik.

Kekeliruan epistemologis yang menjangkiti kita memang sulit dianalisis hanya melalui pendekatan psikologi, apalagi melalui pendekatan politik dan ekonomi. Pasalnya, hemat saya, kekeliruan tersebut adalah habitus kita yang jika ditinjau melalui perspektif etika ditengarai berasal dari proses pembentukan “kacamata” di ruang kepala akibat persepsi dan kategori dalam memahami kehidupan yang tanpa refleksi atau menurut John Locke tanpa sumber kesadaran tentang eksistensi dan keadaan-keadaan mental yang ada.

12 November 2011

AGAMA DAN KEBUTUHAN PERUT


Menurut Feuerbach, bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi sebaliknya Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia. Agama hanyalah sebuah proyeksi manusia. Allah, malaikat, surga, neraka tidak mempunyai kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanya merupakan gambar-gambar yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri. Agama hanyalah sebuah epiphenomenon; ia tidak mempunyai realitas dan arti pada dirinya sendiri, melainkan menunjuk pada sebuah basis yaitu manusia. Menurut Karl Marx dengan ajaran Historical Materialismenya, seseorang menjalankan agama bukan karena ia mengimaninya, melainkan karena ia membutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari, karena fungsinya. Niccolo Machiavelli, mengatakan bahwa pada zaman Romawi kuno, golongan bangsawan cepat sekali memanfaatkan agama untuk kepentingan sendiri. Bisa jadi seseorang berbicara masalah A, akan tetapi pada saat yang sama dia melakukan tindakan B yang berlawanan dengan apa yang dibicarakannya. Tingkah laku manusia seperti ini kalau menurut tiga orang di atas ternyata dibentuk oleh kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan perut dan yang di bawah perut.