Eksistensi
Tuhan tak bisa dibuktikan oleh akal. Pengetahuan rasional tak memberikan makna
kehidupan. Hanya iman yang memendam kebijaksanaan manusia terdalam. Tulisan ini
tentang pencarian seorang pengembara kesepian atas kedamaian batin. Menyuguhkan
pandangan personal mendalam dari relung hati tentang pergolakan spiritual, langkah-langkah
salah yang pernah diambil, perasaan was-was, tahun-tahun keraguan,
keputusasaan, pencarian akhir kepastian religius, spiritual yang dalam dan
sebuah keyakinan.
Apapun
keyakinan itu dan apapun jawaban yang mungkin dan pada siapapun diberikan,
setiap jawaban memberi makna tak terbatas pada eksistensi terbatas manusia. Suatu
makna yang tak hancur oleh penderitaan, kehilangan atau kematian. Ini berarti,
hanya dalam iman kita bisa menemukan makna dan kemungkinan bagi kehidupan. Iman
adalah kekuatan hidup. Jika seorang manusia hidup, ia akan percaya pada
sesuatu. Jika ia tak percaya bahwa orang harus hidup untuk sesuatu ia tak akan
hidup atau sudah mati dalam kehidupan. Jika ia memahami sifat menyesatkan dari
yang terbatas, ia harus percaya pada yang tak terbatas.
Aku
merasa, untuk memahami makna hidup ini diperlukan yang pertama, hidup mestinya
bukan tak bermakna dan bukan kemalangan. Kemudian diperlukan akal budi guna
menjelaskanya. Jika tak ada kehidupan, akal budi tak akan ada. Karena itu akal
budi adalah anak kehidupan. Akal budi ada karena memberi respon terhadap
kehidupan. Pengetahuan filosofi tak mengingkari apapun, tapi hanya menjawab
bahwa pertanyaan itu tak bisa dipecahkan olehnya –bahwa untuk itu, solusinya
tetap tak tentu.
Kupahami
mengapa aku terjebak dalam pengembaraan tak kenal usai padahal kebenaran itu
sangat jelas. Jika orang berpikir dan bicara soal kehidupan maka dia harus menjalani
kehidupan itu, bukan membicarakan kehidupan orang lain. Pengetahuan akan
kebenaran hanya bisa ditemukan dengan menjalaninya.
Selama
bersama dengan arah pikiran dan pengamatan tentang apa yang telah kucari selama
ini, hatiku tertekan oleh perasaan yang menyakitkan yang hanya bisa kugambarkan
sebagai mencari Tuhan. Kukatakan bahwa pencarian ini bukan pemikiran melainkan
perasaan. Pencarian ini berproses bukan dari alur pemikiranku. Itu bahkan
secara langsung bertentangan dengan pemikiranku. Sebaliknya itu berproses dari
hati. Itu perasaan akan kekhawatiran, kesendirian, terkucil di tempat asing dan
harapan akan uluran tangan dari seseorang.
Kita
tak bisa berhenti untuk mengetahui rahasia kebahagiaan. Hiduplah penuh
keceriaan bersama isteri atau orang-orang yang kau cintai selama hidup yang
sia-sia ini. Jangan kau lupa, untuk setiap istana, ada seribu orang yang harus
membangunnya dengan lelehan keringat.
Suatu
kekuatan yang tak bisa dibendung mendorongku untuk menarik diriku dari
kehidupan manusia dengan satu cara atau cara lain. Selalu hanya ingin pergi
sejenak. Aku sendiri tak tahu apa yang kutunggu. Selalu ada perasaan ingin
meloloskan diri dari sesuatu tapi anehnya masih berharap sesuatu darinya.
Mencari
seseorang untuk bersama-sama mencari keselamatan –tapi tak kutemukan siapapun.
Aku jadi yakin bahwa semua, sebagaimana diriku, yang telah mencari makna kehidupan
dalam pengetahuan, sama-sama tak menemukan apapun. Bukan hanya tak menemukan
apapun tapi secara sederhana mengetahui bahwa hal pokok yang membuatku putus
asa –yaitu kesia-siaan hidup- adalah satu hal yang tak dapat diragukan.
Aku
mengerti pemikiran-pemikiran filosof itu sangat menarik, tapi mereka tepat dan
jelas dalam proporsi terbalik dengan kemampuan mereka terhadap soal kehidupan. Mereka
tak memberi jawaban atas persoalan kehidupan. Untuk memahami siapakah dirinya
sebenarnya seseorang harus lebih dulu memahami seluruh umat manusia yang
terdiri dari orang-orang seperti dirinya yang tak memahami satu sama lain. Jika
mereka filosof sejati tugasnya hanya mencoba memperjelas pertanyaan itu.
Dunia
adalah sesuatu tanpa batas dan tak bisa dipahami. Kehidupan manusia adalah
bagian yang tak bisa dipahami dari ’semua yang tak bisa dipahami itu’. Kita
mendekati kebenaran hanya karena kita menyimpang dari kehidupan. Dimana tak ada
kehendak, tak ada perwujudan dan tak ada dunia. Di depan kita, tentu saja tinggal
ketiadaan. Tapi yang menahan transisi ke ketiadaan ini hanyalah kehendak yang
sama untuk hidup (Wille zum Leben).
Semua
adalah kesia-siaan. Keuntungan apa yang dimiliki manusia dari seluruh pekerjaan
yang dilakukannya di bawah kolong langit ini? Satu generasi berlalu dan
generasi lainnya datang, tapi bumi tetap ada selamanya. Dalam banyak kearifan
ada banyak duka cita dan ia yang bertambah pengetahuannya bertambah pula
kesedihannya. Mereka juga tak lagi mendapat penghormatan karena memori tentang
mereka terlupakan. Juga cinta, kebencian atau jasa mereka kini binasa. Mereka
juga tak lagi punya bagian selamanya dalam hal apapun yang telah dilakukan di dunia.
Setiap
kali kucoba untuk mengekspresikan hasrat yang paling dalam yang baik secara
moral, aku menghadapi ejekan dan hinaan. Tapi begitu aku berhasil menurunkan
hasratku, aku dipuji dan disemangati karena memang sekelompok manusia menginginkan
keseragaman dan membenci seseorang yang tidak sama dengan mereka. Ambisi,
cinta kekuasaan, ketamakan, hal-hal yang menimbulkan nafsu berahi, kebanggaan,
kemarahan dan balas dendam- semua itu dihormati.
Sebetulnya, penentu baik dan
jahat bukan apa yang dikatakan dan dilakukan orang lain juga bukan kemajuan
yang tercapai melainkan itu adalah hatiku dan aku sendiri. Tak ada teori yang bisa memberi jawaban atas penderitaan
manusia. Penyebab aku berubah bersama semua itu akan diketahui suatu hari. Kondisi
baru kehidupan keluarga yang nyaman benar-benar mengalihkanku dari semua
pencarian makna hidup.
Aku
menulis untuk mengajarkan pada diriku sendiri kebenaran satu-satunya yang
mestinya dijalani agar memperoleh yang terbaik bagi diri sendiri maupun
keluarga. Tersesat dan menjadi patah semangat, kondisi itu selalu
terekspresikan dalam pertanyaan untuk apa? Akan kemana? Semula tampak bagiku semua
itu tak bertujuan dan merupakan pertanyaan-pertanyaan tak relevan. Kupikir
semua sudah diketahui dan jika aku pernah menghadapi solusinya hal itu tak akan
membutuhkan banyak upaya. Sebagaimana kini aku tak punya waktu untuk itu. Tapi
ketika menginginkan demikian aku harus mampu menemukan jawabannya.
Pertanyaan-pertanyaan
itu, bagaimanapun, mulai sering berulang dan terus menerus menuntut jawaban. Seperti
tetesan-tetesan tinta yang jatuh di suatu tempat, tetesan-tetesan itu mengumpul
jadi satu noda hitam yang mungkin akhirnya menjadi tulisan atau puisi. Sederhana
bagiku bahwa tulisan dan puisi adalah perhiasan kehidupan, pemikat hidup.
Refleksi kehidupan dalam puisi dan tulisan dari semua jenis memberiku
kesenangan. Sungguh menyenangkan untuk melihat kehidupan di cermin tulisan.
Itulah
yang terjadi padaku. Aku mengerti itu bukan keadaan kurang sehat atau kegelisahan,
melainkan sesuatu yang sangat penting. Jika pertanyaan-pertanyaan itu terus
berulang-ulang, maka harus dijawab dan kucoba menjawabnya.
Pertanyaan-pertanyaan itu tampaknya sederhana, kekanak-kanakan, bodoh bahkan
naif, tapi begitu ’kusentuh’ dan kucoba memecahkan, aku menjadi yakin seketika
tentang ketidaksederhanaannya. Selama aku belum tahu jawabnya, aku tak bisa
melakukan apapun dan tak bisa menjalani. Tak ada kehidupan karena tak ada
harapan yang akan terwujud dan bisa kuanggap masuk akal. Aku bahkan tak bisa
berharap untuk mengetahui kebenaran, karena sudah kuterka apa isinya.
Kemampuan,
kejujuran, keandalan, budi pekerti yang baik dan sikap moral sering ditemui di
kalangan orang-orang yang tidak bicara agama. Sekarang sebagaimana sebelumnya,
doktrin agama diterima berdasarkan kepercayaan dan didukung oleh tekanan
eksternal, dibenahi secara bertahap di bawah pengaruh pengetahuan dan
pengalaman hidup yang berkonflik dengannya. Seseorang sangat sering menjalani
hidup dengan membayangkan bahwa ia masih menganut secara kukuh doktrin agama
yang diajarkan padanya semasa kecil, sedangkan faktanya pada masa kini tak ada
bekasnya lagi. Jika keyakinan bagi mereka adalah cara mencapai
tujuan secara harfiah, maka tentunya itu bukan keyakinan.
Perasaan
skeptisku terhadap doktrin menjadi suatu kesadaran pada usia yang sangat dini. Kupelajari
semua ’kebenaran’ yang bisa kupelajari, apapun yang ’dilemparkan’ kehidupan di
jalanku. Serta membiasakan diri terhadap daya tahan dan kesabaran
dengan bermacam kekurangan.
Apa yang kulakukan ketika
mencari jawaban tentang kebenaran dalam lembaga-lembaga pendidikan formal? Aku
ingin tahu mengapa aku hidup dan untuk maksud ini, kupelajari semua yang berada
di luar diriku. Jelaslah, aku menghabiskan
23 tahun, tapi tak ada pengetahuan tentang apa yang kubutuhkan.
Apa
yang kulakukan ketika kucari jawaban dalam bacaan-bacaan filosofis? Aku
mempelajari pemikiran-pemikiran mereka yang telah menemukan diri mereka. Dalam
pandangan yang sama denganku, jelaslah aku mungkin tak mempelajari apapun
melainkan apa yang kutahu tentang diriku sendiri yaitu tak ada yang bisa
kuketahui. Siapakah aku? Bagian dari yang tak terbataskah? Dalam sedikit
kata-kata itu, terletak keseluruhan masalah. Pertanyaan yang begitu sederhana
dan keluar dari lidah setiap anak bijak. Sejak manusia tercipta, relasi antara
yang terbatas dengan yang tak terbatas telah dicari dan dinyatakan.
Alasan
pertama keraguanku adalah aku mulai memperhatikan bahwa para tokoh agama sama
sekali tidak sesuai dengan diri mereka sendiri. Saling mengumbar kebenaran,
padahal terhadap pertanyaan paling sederhana tentang kehidupan: apa yang baik
dan yang buruk, mereka tidak bisa fokus bagaimana menjawabnya. Mereka semua tak
saling mendengarkan. Sebaliknya bicara bersamaan, kadang saling mendukung dan
memuji agar ganti didukung dan dipuji. Kadang jadi marah satu sama lain- persis
seperti di rumah sakit jiwa. Selalu marah bahwa mereka tak mendapat cukup
perhatian. Seperti semua orang gila, menyebut semua orang adalah gila kecuali
dirinya sendiri.
Perdebatan
tentang kebenaran hanya berhasil dalam menyembunyikan ketidaktahuan mereka dari
satu sama lain. Aku melihat apa yang mereka bagikan sebagai keyakinan tak
menjelaskan makna kehidupan. Sebaliknya mengaburkannya. Mereka sendiri
mengukuhkan keyakinan bukan untuk menjawab pertanyaan soal kehidupan yang dapat
membawaku pada keyakinan, tapi untuk beberapa tujuan lain yang asing bagiku.
Pekerjaan
otoritas-otoritas agama dalam mendakwahkan kebenaran adalah untuk melindungi otoritas
kekuasaan yang diwariskan secara turun temurun. Kualihkan perhatianku pada apa
yang dilakukan atas nama agama dan aku merasa geli sekaligus ngeri. Aku hampir
menyangkal otoritas itu sepenuhnya. Hubungan kedua antara otoritas keyakinan
dengan soal kehidupan adalah berkaitan dengan perang dan eksekusi.
Kuingat
perasaan menyakitkan terhadap ketakutan akan jatuh kembali ke dalam keadaan
putus asa seperti sebelumnya, setelah harapan yang sering kualami dalam
pergaulanku dengan mereka. Makin banyak doktrin yang mereka jelaskan padaku,
makin jelas aku merasakan kesalahan mereka dan menyadari harapanku untuk
menemukan penjelasan tentang makna kehidupan dalam keyakinan mereka adalah
sia-sia.
Bukan
bahwa dalam doktrin mereka, mereka mencampurkan banyak hal yang tak perlu dan
tak masuk akal dengan kebenaran-kebenaran agama. Itu bukan hal yang meresahkanku.
Aku resah oleh fakta bahwa hidup orang-orang ini, seperti hidupku, demikian tak
sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka paparkan dalam ajaran mereka sendiri.
Aku
merasa mereka menipu diri sendiri dan mereka, sama sepertiku, tak menemukan
makna kehidupan lainnya selain menjalani hidup selama kehidupan berlangsung dan
dunia masih berputar. Aku melihat ini karena jika mereka punya makna yang
menghancurkan ketakutan akan kehilangan, penderitaan dan kematian, mereka tak
kan takut pada semua ini.
Tak
ada argumen yang bisa meyakinkanku tentang kebenaran akan keyakinan mereka. Kecuali
perbuatan-perbuatan yang bisa menunjukkan
bahwa mereka melihat suatu makna dalam kehidupan, yang membuat apa yang sangat
menakutkan bagiku –kemiskinan, penyakit dan kematian- dan tak menakutkan bagi
mereka, bisa meyakinkanku.
Sangat
berlawanan dengan cara orang-orang di lingkungan terdekatku (mereka orang-orang
sederhana, orang-orang biasa) dalam hal mensikapi nasib karena kehilangan dan
penderitaan. Mereka menerima penyakit dan duka cita tanpa kebingungan dan menentang.
Dengan diam dan keyakinan kokoh bahwa semua itu akan baik-baik saja. Mereka
tahu makna kehidupan dan kematian, bekerja diam-diam, menerima kehilangan dan
penderitaan serta menjalani hidup dan mati dengan memandang semua itu bukan
sia-sia melainkan biasa.
Orang-orang
kaya dan terpelajar, bukan hanya menjadi sangat tidak kusukai tapi kehilangan
semua makna di mataku. Semua tindakan, diskusi, buku akademis dan jurnal
ilmiah, menampilkan diri padaku dalam bentuk yang lain. Kupahami semua itu
hanya kemanjaan diri dan tak mungkin menemukan makna di dalamnya. Sedangkan
hidup semua manusia biasa itu, semua orang yang menghasilkan kehidupan, bagiku
memiliki makna yang sebenarnya. Kupahami bahwa itulah hidup itu sendiri dan
makna yang diberikan pada hidup itu adalah kebenaran dan aku menerimanya.
Aku
berhenti ragu dan menjadi yakin sepenuhnya bahwa tak semua benar dalam otoritas
kebenaran yang kutemui. Semua orang punya pengetahuan tertentu tentang
kebenaran. Dalam keyakinan orang-orang, kebohongan juga bercampur dengan
kebenaran. Betapapun mungkin tampak liar bagi pikiran lamaku yang mapan tapi
itu satu-satunya harapan ketenangan. Hal itu harus diperiksa dengan penuh
perhatian dan hati-hati agar bisa memahaminya.
Bahwa
ada kebenaran dalam otoritas itu bagiku tak bisa diragukan, tapi juga pasti ada
kebohongan di dalamnya. Aku harus menemukan apa yang benar dan yang salah, dan
harus membebaskan yang satu dari lainnya. Aku akan mengerjakan tugas ini.
Kebohongan yang kutemukan dalam ajaran itu dan yang kutemukan tentang kebenaran
serta terhadap kesimpulan yang kuperoleh akan membentuk bagian-bagian pekerjaan
ini berikutnya. Jika hal itu berharga dan jika anak keturunanku
menginginkannya, suatu hari mungkin akan jadi monumen.