24 September 2008

si pemurung


...mengenai rahmat Tuhan, yang lewat rahmat tersebut unsur rasional mengenali perbedaan-perbedaan, seorang manusia melebihi manusia yang lainnya, dan hal itu sesuai dengan kapasitas yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. Tapi kedua rahmat ini merupakan pembawaan sejak lahir, bukan diupayakan. Kapasitas dan rahmat yang mesti diupayakan bukanlah pembawaan sejak lahir. Keduanya diperoleh dengan melakukan apa-apa yang dapat sesuai dengan kehendak Tuhan, di bawah bimbingan para Nabi. Oleh karena itu manusia harus menyambut seruan Nabi suci dan melaksanakan apa yang diperintahkannya. Dengan begitu dia dapat melihat lewat wawasan hatinya sifat setiap makhluk, asal mulanya dan ketentuan akhirnya.




Bentuk apa...
yang dapat menghibur hati
kelalaian membuatku tak kuasa berpegang teguh
dari kesejahteraan
menjadi putus pengharapan
Kalau tidaklah pandai menimbang-nimbang
kata-kata berfaedah...
hidup tidaklah
terasa berharga

14 September 2008

SILA PERTAMA PANCASILA

KETUHANAN YANG MAHA ESA ATAU
KEUANGAN YANG MAHA KUASA

Menurut Feuerbach. Inti kritik tersebut adalah bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi sebaliknya Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia. Agama hanyalah sebuah proyeksi manusia. Allah, malaikat, surga, neraka tidak mempunyai kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanya merupakan gambar-gambar yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri. Agama hanyalah sebuah epiphenomenon; ia tidak mempunyai realitas dan arti pada dirinya sendiri, melainkan menunjuk pada sebuah basis yaitu manusia. Menurut Karl Marx dengan ajaran Historical Materialismenya, seseorang menjalankan agama bukan karena ia mengimaninya, melainkan karena ia membutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari, karena fungsinya. Niccolo Machiavelli, mengatakan bahwa pada zaman Romawi kuno, golongan bangsawan cepat sekali memanfaatkan agama untuk kepentingan sendiri
Banyak orang menyatakan diri beragama dan berTuhan. Nyatanya, garis-haluan politik yang menentukan nasib manusia secara langsung tidak berurusan dengan - atau apalagi mengacu pada - Tuhan. Acuannya yang nyata adalah Sang Kapital. Uang! "Tuhan" yang baru!
Sekularisme 
Keputusan-keputusan politik dengan acuan Sang Kapital merupakan akibat jelek sekularisme secara langsung, dampak buruk sekularisasi yang niscaya. Tapi, sekularisasi sendiri netral. Ia justru harus jadi pintu gerbang bagi peradaban, termasuk ilmu-ilmunya, semisal teologi, jika tak mau kehilangan peran. Dengan pintu gerbang ini, teologi akan bisa menjadi alat, ralat, atau penyeimbang peradaban. Dalam masyarakat yang makin sekularistik seperti semasa revolusi Industri dalam sejarah Barat itu, orang merasa dimerdekakan dari Yang Absolut. Merasa lega dan lepas dari aneka macam beban Yang Absolut.
Kelegaan yang justru keliru! Sebab, peradaban zaman kapanpun, tetap butuh "Yang Absolut" - sebagai pengikat. Penalarannya: di zaman kapanpun tak ada orang bisa hidup di pulau tersendiri. Masyarakat yang nyata selalu terbingkai dalam negara dan pemerintahan tertentu. Dan tiap negara selalu menciptakan "ideologi" atau apapun, agar dipatuhi masyarakatnya. Di negara-negara tertentu - sejatinya amat sedikit - agama dipandang cocok untuk ideologi negara. Tapi kebanyakan negara di bumi, tidak! "Ideologi" mereka adalah "agama" yang lain. Nah, itulah asal-usul "Agama" Ekonomi dengan Uang sebagai "Tuhan".
          Tempat ibadat "Agama" Ekonomi adalah pasar - pasar bebas - dan ini menjadi mutlak. Dogma dan ajaran-ajaran ekonomis menjadi tak bisa diganggu gugat. Pasar mewartakan keselamatan bagi yang percaya. "Agama" Ekonomi menjanjikan pangan, sandang, papan, pekerjaan, kesejahteraan, kebebasan dan keadilan bagi para pemeluknya. Iman pada pasar dan ekonomi adalah jalan keselamatan.

Mengisi kekosongan 
Jadi, yang terjadi selama ini - secara kasar sejak revolusi Industri di Eropa sampai zaman internet dewasa ini - apa yang disebut mekanisme ekonomi dunia dengan ujung "kejayaan" globalisasi itu, adalah ketepatan waktu dan cara jitu yang dilakukan ekonomi dalam mengantisipasi zaman. "Agama" Ekonomi telah mengisi kekosongan yang dibutuhkan zamannya. 

Begitu Tuhan dalam agama konvensional tak membawa dampak nyata, padahal masyarakat selalu butuh Yang Absolut untuk sarana pengikat, ia masuk! Kebutuhan itu dengan lihai disuplai pasar bebas kapitalisme global. Ia mewartakan keselamatan berupa pangan, sandang dan seterusnya. Dinamika "Agama Ekonomi" itu mencipta akumulasi laba dan modal - ujungnya uang. Ini akhirnya menjadi dogma dasar yang mutlak menentukan sifat dan perilaku manusia secara meluas.

Dengan tidak menafikan kekecualian di sana sini, pengaruh ini diwakili tiga gejala-dasar. Pertama, makin besar kelompok saudagar mereka menjadi kaum yang makin tamak. Kedua, oknum-oknum birokrasi negara makin kasar main serong dengan para cukong. Ketiga, frustrasi rakyat makin besar tanpa daya sebab tak bisa ikut beribadah dalam liturgi "Agama" Ekonomi.

Dinamika di atas terjadi akibat tuntutan pasar. Nah, itulah Sang Sabda! Ia jadi kekuatan mutlak yang baru (Sang Sabda lalu menjadi Sang Pasar). Faham "Agama" Ekonomi" itu bukan sekadar mimpi, wacana, proyeksi atau gagasan tetapi sudah langsung mewujud nyata dalam produksi-distribusi-konsumsi sebagai hasil perilaku manusia sendiri.

Rumusan di atas tidak sepenuhnya baru. Feuerbach dan Karl Marx pernah mewariskan hal senada. Menurut Feuerbach, manusia menciptakan Tuhannya dengan daya khayalnya sendiri. Dan menurut Karl Marx, agama masyarakat modern yang telah kehilangan Tuhan adalah Kapital. Memang dua acuan itu hanya dua dari jutaan jurus dalam rimba persilatan ekonomi yang telah, sedang dan masih bergulir. Namun dengan tidak meninggalkan dua acuan tsb, peta ekonomi yang terkembang di dunia dewasa ini - kini bergulir jadi mekanisme ekonomi (globalisasi) atau "Agama" Ekonomi - bisa kita baca dengan jernih.

Sosok abstrak 
Kejernihan itu mengantar kita pada degradasi kemanusiaan, pendangkalan martabat manusia, akibat kiprah dalam "agama" Ekonomi yang tak terkendali! Sebab, target mekanismenya adalah keuntungan - akumulasi uang dan modal - yang gilirannya akan menguasai mayoritas manusia secara niscaya. 

Target itu menuntut persembahan-persembahan non manusiawi, dalam arti, tuntutan akumulasi uang akan jadi norma yang mengalahkan nilai-nilai kemanusiaan sendiri. "Agama" Ekonomi telah menggiring manusia, sebagai SDM, menjadi sosok-sosok abstrak. Ini amat mencolok dalam proses produksi. Sebagai berikut:

Pertama, dalam proses produksi, manusia (pekerja yang nyata) diubah menjadi angka-angka laba, atau uang, yang abstrak. Pemerasan, pemanfaatan dan pemerasan terhadap manusia yang nyata, pada gilirannya menghasilkan keuntungan yang abstrak, terwujud dalam akumulasi uang dalam rekening-rekening bank. Ini terjadi akibat politik ekonomi rekayasa sejumlah raksasa bisnis, yang meski mungkin punya nama hebat, tapi hakikatnya mengabdi akumulasi uang dalam bentuk angka-angka yang abstrak di pasar bursa. Manipulasi nyata terhadap manusia nyata itu, dalam politik ekonomi, berubah bentuk menjadi aneka pelipur lara (yang nyata) seperti petuah, seminar, pidato-pidato dan sejenisnya yang bagus-bagus (tetapi hakikatnya adalah abstrak belaka).

Kedua, akumulasi laba alias uang telah jadi azas dan bertahta mengatasi martabat manusia. Jika atas nama laba sebuah pabrik harus tutup, tutuplah dia, tak peduli nasib para buruh. Sebaliknya jika arah dan sabda laba menyusun dogma perluasan proyek, diperluaslah dia, meski harus menggusur tanah sawah rumah rakyat. Itu semua terjadi karena permintaan atau tuntutan pasar. Dalam bahasa "Agama" Ekonomi, sebab mematuhi Sang Sabda!

Ketiga, pengabstrakan manusia terjadi akibat dialektika abstraksi dan konkretisasi dalam "Agama" Ekonomi. Uang adalah bentuk lain pekerja (nyata) yang diabstrakkan. Buruh adalah uang (abstrak, angka-angka) yang dikonkretkan. Dan, keuntungan (abstrak) adalah pemerasan (nyata) yang telah diabstrakkan.

Abstraksi dan konkretisasi itu makin dahsyat sebab politik ekonomi (abstrak) masih acapkali culas. Padahal, tanpa keculasan dan saat politik berjalan lurus atau "biasa", abstraksi dan konkretisasi tetap berlangsung. Tingkat kedahsyatan itu makin canggih seiring dengan kecanggihan zaman. Makin modern-canggih zaman, makin kompleks politik ekonomi, makin kabur dan makin bertopeng praktek homo homini lopus.

Pencipta Abstrak
Di era purba, segalanya lebih jelas dan lebih terbuka. Gejala atau wajah pemeras dan yang diperas, penindas dan sang tertindas, mewujud jelas dalam artikulasi dan pemaknaan. Sebab, dikotominya jelas. Yakni tuan tanah lawan petani, majikan-budak, ningrat-jelata. Pendeknya, lingkaran atas berhadapan dengan ligkaran bawah, si kuat berhadapan dengan si lemah. Seluruh kaum atas apapun sebutannya - tentu ada kekecualian - berdiri di satu kubu ialah kubu penindas, dan lingkaran rakyat jelata melata tersaruk-saruk di kubu lain sebagai alas kaki yang diperas-ditindas-dilecehkan.

Dalam dunia modern, keterbukaan artikulasi dan kejelasan makna itu memudar. Mutu pemerasan dan penindasan makin canggih, kabur, sampai pada gilirannya seolah-olah sudah bukan penindasan dan pemerasan. Sialnya di pihak tertindas, atau untungnya di pihak penindas, penindasan itu justru seolah-olah menjadi keniscayaan, bahkan kebutuhan di pihak si tertindas. Itulah yang terjadi dalam "Agama" Ekonomi tempat Sang Maharaja Uang bertahta.

Jadi, dalam rangka di atas, uang juga menjadi Pencipta Abstrak. Ia menyulap ketidakadilan yang nyata menjadi kebutuhan yang abstrak. Kebutuhan yang abstrak itu menjadi kenyataan yang hidup! Mengapa? Sebab dalam proses produksi-distribusi-konsumsi dalam "agama" Ekonomi, pemerasan dan ketidakadilan yang niscaya itu, tak bisa dicegah para kurban. Manipulasi dan ketidakadilan itu menjadi keniscayaan. Dan bahkan seolah-olah menjadi perwujudan kehendak bebas para kurban!
Alhasil, iman atas "Agama" Ekonomi adalah peradaban insan yang kesasar. Menuju ke mana?



12 September 2008

DESAHAN KALBU


Tuhan yang Maha Pengasih
curahkan belas kasihMu
lalu biar kutemukan yang terpilih
yang pantas, dari ilmu dan hikmah

Curahkan kasih sayangMu dalam persoalanku,
maka...Engkau lahirkan dalam diriku
penyaksian kepada yang ghaib bagiku.
Kasih sayang ini...
hanya dapat dikenali
dengan kelembutan dan perenungan

Biarlah sesaat aku ke masa kecil
mengingat sedikit kesusahan
yang tidak pernah membuatku mati,
dan tak pula ada urusan yang khawatir luput dariku
walau firasat...
sering memberiku takut dan harap
dalam hiasan tauhid

Aku tunaikan segala kebutuhanku semasa itu
yang memberikan ilmu bagiku
bahwa tujuan nanti adalah
pendiam dan penyendiri.

Ya Allah,
sembunyikan diriku dalam cintaMu
barangkali aku bisa memberi tahu jiwaku
tentang keagunganMu dalam sepi dan rahasia

Hanya saja, Tuhan yang Maha Rahman
punya rahasia yang dijaganya,
kepada yang berhak dalam rahasia ini
yang akan diberikan,
dan memelihara itu adalah lebih baik.

Tiadalah sesuatu bagiku daripadanya
selain dengan menyebut dalam desahan kalbu
yang mengobarkan api cinta
dan kerinduan dalam dada.

Adapun sebenarnya keinginanku
hanya untuk kemuliaan dan akal pikiran
akal cipta untuk mengurai segala wujud

Akan tetapi maluku terhadapMu
mencegah untuk menyatakan keinginanku,
Engkau cukupkan aku dengan pengertian,
agar aku tidak berterus terang

Dalam kerahasiaan ini...
hatiku gembira bersama manusia
dengan sifat-sifat yang kutempatkan
di sisi Dzat yang Maha Mulia
lagi banyak karunia

11 September 2008

Blogku



Blog ini tidak lain adalah media untuk mencurahkan pemikiran-pemikiran serta renungan-renungan yang menurut saya sulit untuk dikemukakan didepan khalayak. Kegelisahan-kegelisahan hidup yang menuntut untuk dikomunikasikan, tetapi tidak tahu kepada siapa harus dikomunikasikan, mungkin sebagaimana Jalaludin Rumi yang tidak tahu kemana gerangan gejolak batinnya itu disampaikan, sampai dia menemukan orang yang tepat untuk menerima desahan kalbunya semisal Syams Tabris.

Memang dunia ramai tidak menerima perenungan, kesendirian dan pengalaman spiritual. Dunia adalah formalitas, permukaan dan pesta pora. Dan saya sudah maklum akan hal itu, adapun segala atribut yang melekat pada diri saya adalah formalitas kehidupan. Tangan-tangan gaib yang berkenan menyentuhku untuk menempatkan diriku pada kondisi, ruang dan waktu yang tepat, akhirnya diri saya bukanlan siapa-siapa dan bukan apa-apa.

Bahwa tujuan nanti adalah pendiam dan penyendiri, sampai rahasia-rahasia ini sampai waktunya untuk disampaikan. Jikalaupun ada pembaca yang secara tidak sengaja membuka blog saya ini, dan terpaksa membacanya, dilupakan juga boleh..., seandainya diantara kata-kata saya ada yang mampir di relung hati Anda berarti inilah pertemuan antara Jalaludin Rumi dan Syams Tabriz setelah kehilangannya dari Konya. Wassalam