08 February 2016

METODE PEMBELAJARAN KAUM SUFI


Merunut sejarah umat Islam, bidang pendidikan mencapai abad keemasannya pada masa dinasti Abbasiyah dengan berdirinya lembaga Bayt al-Hikmah di Baghdad. Akan tetapi setelah kejatuhan Baghdad oleh bangsa Mongol umat Islam mengalami kehancuran ekonomi, budaya, pendidikan, keilmuan dan perpecahan wilayah. Kemudian para penuntut ilmu dari Barat membawa ilmu dari wilayah umat Islam ke negeri asal mereka dan memodifikasi sesuai dengan tradisi dan budaya mereka. Di sisi lain, umat Islam mengalami inferioritas, kehilangan identitas dan terputus dari sejarahnya sendiri.
Perkembangan selanjutnya, untuk mengejar ketertinggalan tersebut umat Islam akhirnya mengadopsi mentah-mentah tradisi keilmuan Barat tersebut. Berbagai macam teori pendidikan digagas dan diajarkan di perguruan tinggi. Berbagai kurikulum disusun berdasarkan teori tersebut dan diujicobakan di lapangan. Perbaikan dan perdebatan berlangsung untuk terus memperbaiki sistem pendidikan yang ada. Metode pembelajaran pun berganti-ganti untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pendidikan. Tetapi tetap saja masalah bermunculan dan banyak hal yang tidak tercover serta luput dari perhatian dalam metode pembelajaran yang ada.
Kalau kita amati pendidikan Islam sekarang di negara kita mulai tingkat RA, MI, MTs, MA dan Perguruan Tinggi Islam meskipun lembaga beridentitas Islam dan materi yang diajarkan adalah keislaman akan tetapi kurikulum dan metode pembelajaran yang digunakan adalah positivistik khas Barat yaitu semua harus terukur dengan angka. Misalnya ketika seorang murid belajar akhlak maka tolok ukur keberhasilannya adalah nilai 9 atau 10 untuk mata pelajaran tersebut bukan pengamalan akhlak pada kehidupan sehari-hari.
Padahal kalau mau menengok kembali tradisi pembelajaran umat Islam sendiri kita akan menemukan beberapa metode pembelajaran yang telah mengantarkan umat ini pada prestasi keilmuan yang sangat mengagumkan. Di antara metode pembelajaran tersebut dijaga dan dipraktekkan oleh mereka yang bergelut dalam bidang tasawuf. Ada beberapa point yang khas dan tidak ditemukan pada metode pembelajaran seperti yang dikembangkan sekarang. Di antaranya adalah apa yang ada di bawah ini.
Menuntut Ilmu adalah Ibadah
Dalam dunia tasawuf menuntut ilmu adalah masalah ibadah. Motivasi selain ibadah dianggap akan menghalangi nūr (substansi) ilmu untuk masuk ke dalam batin murid. Sehingga yang akan diperoleh hanya bentuk formalitasnya belaka. Bagi para sufi ilmu bukan hanya sekedar permasalahan hafalan dan penguasaan teori-teori belaka melainkan pahala, keberkahan dan kemanfaatan sekaligus.
Mengamalkan sebelum Mengajarkan Ilmu
Dalam lembaga pendidikan formal kompetensi mengajar didasarkan pada selembar ijazah. Permasalahan apakah yang bersangkutan sudah mengamalkan ilmunya atau belum bukanlah persoalan. Akan tetapi bagi guru sufi, sebelum mengajarkan ilmu maka seseorang harus mengamalkan dulu ilmu tersebut dalam kehidupannya. Karena orang yang mengajar tapi belum mengamalkan ilmu yang diajarkan termasuk sebuah kesalahan besar. Mengajar, bagi mereka juga merupakan sebentuk ibadah.
Metode Pembelajaran Sesuai dengan Bakat dan Potensi Murid.
Mungkin kita sering mendengar kisah seorang murid yang jarang belajar di kelas. Bahkan sering diajak kemana-mana oleh gurunya atau disuruh menggembala ternak, bekerja di sawah dan sebagainya. Tetapi ketika pulang ke kampungnya malah menjadi orang yang berilmu dan punya nilai lebih dari teman-temannya yang rajin belajar. Kita mungkin beranggapan bahwa sang guru tersebut punya daya linuwih, padahal sebetulnya tidaklah seperti itu.
Guru tersebut sebenarnya hanya memperhatikan bakat dan potensi-masing-masing muridnya yang antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Melihat perbedaan tersebut sang guru tidak serta merta mengajar dengan metode yang sama, yaitu hanya mengajar di satu ruangan untuk semua murid. Guru menggunakan metode yang berbeda-beda untuk mendidik muridnya sesuai dengan potensi masing-masing dengan menggunakan teknik tertentu yang kelak memungkinkan muridnya mengenal dirinya sendiri dan menguasai keterampilan sesuai bakat dan potensinya.
Pembelajaran Berbasis Pengalaman
Seorang guru sufi dalam mengajarkan ilmu atau menuntun untuk mendapatkan sebuah pencerahan spiritual sering mengajak muridnya berjalan-jalan ke padang pasir, ke pasar atau ke tempat-tempat lainnya. Mengajak muridnya untuk melihat kejadian-kejadian yang ditemui kemudian mendiskusikannya bersama mereka. Kadang guru juga meminta murid untuk melakukan sesuatu yang mungkin bertentangan dengan logika berpikir mereka. Setelah selesai baru guru memberitahu maksud di balik perintahnya atau menjelaskan hikmah dari pekerjaan tersebut.
Totalitas dalam Belajar
Dalam tradisi sufi totalitas dan keluruhan hati serta pikiran merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan mendapatkan ilmu dan kemanfaatannya. Banyak kita baca kisah-kisah yang menceritakan seorang murid yang kurang mampu di kelas akan tetapi akhirnya menjadi sosok yang berilmu karena totalitas dan niatnya yang tulus dalam menuntut ilmu.
Totalitas dan niat yang tulus akan membuat seorang murid peka dan sensitif terhadap rahasia-rahasia tersembunyi sebuah ilmu yang tidak bisa dilihat oleh orang yang hanya mementingkan bentuk formalnya saja. Selain itu, guru yang memahami ketulusan murid juga akan punya totalitas dalam memberikan ilmunya kepada murid. Karena pemahaman yang mendalam sebenarnya terletak pada murid bukan pada guru.
Hormat dan Patuh kepada Guru
Seorang murid wajib menghormati dan mematuhi gurunya meskipun bisa jadi secara spiritual murid lebih tinggi dari gurunya. Setiap orang yang mengenal Allah (‘ārif billāh) harus mematuhi didikan dan gemblengan (tarbiyah) seorang guru -baik yang masih hidup atau sudah wafat- selama tidak bertentangan dengan hukum syariat (al-ahkām al-mashrū’ah). Meskipun dalam persoalan sepele yang tidak ada sangkut pautnya dengan syariat. Karena hal itu merupakan kaidah kesopanan yang paling mendasar dalam hubungan guru dan murid.
Permasalahannya bukan masalah benar dan keliru tentang suatu pendapat tetapi yang ditekankan adalah kepatuhan dalam rangka mencari ridha guru. Karena ketika guru ridha maka doa untuk keberkahan dan kemanfaatan ilmu untuk muridnya akan deras mengalir.
Demikianlah beberapa metode pembelajaran dari berbagai literatur tasawuf yang ada. Tentunya sangat berbeda dengan yang biasa ada di lembaga pendidikan formal. Meskipun tidak didasarkan pada epistemologi keilmuan yang menjadi syarat mutlak dalam pengembangan ilmu di dunia modern metode tersebut telah terbukti melahirkan tokoh-tokoh di bidang keilmuan yang diakui oleh dunia. Karya-karya monumental yang dikaji baik di dunia timur maupun barat sampai hari ini nota bene adalah hasil dari metode pembelajaran tersebut.
Wallāhu a’lam..

24 January 2016

MASALAH PERBEDAAN KONSEP




Dalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan pada pertengkaran dengan orang-orang terdekat. Pemicunya bermacam-macam, bisa perbedaan desain rumah yang akan kita bangun, pemilihan sekolah yang tepat bagi buah hati, macam menu sarapan pagi sejumlah anggota keluarga yang berbeda bahkan sampai ke restoran mana kita harus makan malam di perjalanan. Semua itu terjadi karena kita punya konsep yang berbeda tentang desain rumah, pendidikan, menu makanan yang enak dan suasana yang kita masing-masing inginkan.
Konsep secara etimologis adalah ide atau rencana sedangkan dalam terminologi filsafat ilmu pengertian konsep adalah kemampuan mengartikulasikan hal-hal seperti mengenali kapan sebuah rencana itu diaplikasikan dan sanggup memahami konsekuensi-konsekuensi dari pengaplikasiannya. Selanjutnya konsep disusun dengan kata-kata, simbol dan lambang yang mudah dimengerti oleh orang lain, sehingga ada kesamaan persepsi terhadap objek atau fenomena yang sama. Untuk itu konsep harus didefinisikan dengan jelas, supaya tidak menimbulkan pengertian berbeda-beda bagi setiap orang.
Kita mengenali dunia ini pun melalui konsep-konsep yang sudah mapan. Bahkan setiap hari kita ikut serta menyumbang konsep-konsep tentang berbagai macam hal. Konsep tentang berbagai macam hal tersebut bisa berubah-ubah seiring dengan bertambahnya pengalaman, pendidikan atau mungkin lewat bacaan-bacaan yang dikonsumsi. Konsep-konsep tersebut kemudian digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, ketika kita telah selesai menyelesaikan jenjang pendidikan pada level tertentu atau baru membaca sebuah buku biasanya muncul keinginan untuk mengaplikasikan konsep-konsep yang baru kita pelajari pada lingkungan sekitar. Supaya kondisi lingkungan  berkembang menjadi lebih baik adalah alasan yang sering didengungkan. Tetapi tentunya, tidak semua orang akan menerima konsep tersebut. Karena masing-masing orang juga punya konsep kehidupan sendiri-sendiri dan tidak mau diganggu dengan konsep kehidupan orang lain.
Dalam kehidupan keluarga, seseorang mungkin punya konsep membangun keluarga yang ideal, konsep isteri/suami yang ideal atau konsep anak yang ideal. Dia mendidik atau mengondisikan isteri/suami dan anak sesuai dengan konsep yang dimiliki. Tetapi  anak dan isteri/suami juga punya konsep kehidupan sendiri. Di mana mereka juga ingin merealisasikan konsep tersebut dalam kehidupan. Jika konsep tersebut dipaksakan kepada mereka tentu saja kehidupan keluarga akan mengalami disharmoni. Isteri/suami dan anak akan menjauh karena merasa kehidupannya terganggu.
Dalam lingkup lembaga atau organisasi, jika kita dalam berkonsep itu sendirian dalam arti tidak ada yang mendukung maka bersiap-siaplah untuk disingkirkan secara sistematis. Atau sebelum semua itu terjadi, dan jika itu bukan hal yang prinsipil, kita harus cepat tahu diri dan lebih baik segera menyingkir sebelum datang mudharat yang lebih besar. Karena manusia juga seperti hewan punya naluri defense, bisa menjalin persekongkolan, menyerang dan menghalalkan segala cara ketika merasa terancam. Sebaliknya, jika kita pihak yang berkuasa maka harus segera melakukan bongkar pasang personil dan segera merekrut orang-orang yang bisa mendukung konsep-konsep kita sebelum terlambat.
Dalam konteks yang lebih besar, kehidupan bermasyarakat, masih banyak orang lain yang punya konsep sendiri dan berambisi jadi pemimpin atau pengambil kebijakan di samping kondisi masyarakat yang tidak mau berubah dan sudah nyaman dengan kondisi yang sudah ada. Ketika kita menawarkan sebuah konsep mereka akan resisten dan biasanya tidak akan peduli apakah konsep itu baik atau buruk. Karena merasa terancam mereka akan terus merangsek. Karena tidak suka sama orangnya maka semua yang berasal dari orang tersebut juga tidak mereka sukai. Mereka tidak mau berpikir bagaimana ke depan, yang mereka pikirkan adalah kepentingan sekarang atau jangka pendek.
Dahulu kala, konsep-konsep tauhid yang dibawa Rasulullah SAW juga ditolak oleh masyarakat Qurays. Penolakan, permusuhan bahkan pembunuhan dilakukan terhadap umat Islam awal dalam rangka penolakan konsep-konsep yang dibawa oleh Rasulullah SAW yang mengancam konsep kehidupan mereka. Sehingga untuk bisa merealisasikan konsep-konsep tauhid yang menjadi tema dakwah beliau maka Rasulullah SAW membentuk sebuah komunitas yang sekarang kita kenal dengan sebutan Umat. Konsep-konsep keislaman yang berlaku di kalangan Umat pada akhirnya juga berhadap-hadapan dengan konsep kehidupan komunitas lain, yaitu komunitas Yahudi dan Nasrani. Solusinya adalah Rasulullah SAW membangun komitmen bersama mereka yang kita kenal dengan Piagam Madinah.
Pada perkembangan selanjutnya, jatuh bangunnya umat ini dalam konflik yang berkepanjangan juga disebabkan karena perbedaan konsep di kalangan mereka sendiri. Di mana semua pihak menganggap konsepnya yang paling benar. Mereka berbeda dalam konsep ketuhanan, konsep dakwah, konsep jihad, konsep bermasyarakat, konsep bernegara dan sebagainya.
Memang, tanpa adanya komitmen bersama dan selama isi setiap kepala manusia berbeda maka selama itu pula kita akan mengalami intensitas konflik yang berkepanjangan. Permasalahannya adalah siapa yang kalah dan siapa yang menang. Kalaupun kita sekarang berkuasa atas konsep-konsep itu ingatlah di luar sana masih banyak pihak-pihak yang bersabar menunggu kejatuhan kita untuk kemudian mengganti dengan konsep-konsep mereka sendiri. So, semuanya hanya tinggal menunggu waktu saja...

02 January 2016

MENGHIDUPKAN MALAM HARI

Di siang hari manusia terus menerus hidup dalam aura persaingan produktivitas, prestasi, kepentingan politis dan ekonomi yang memicu manusia mengambil jalan pintas yang kerap brutal, ilegal, imoral dan berakibat fatal. Sebagai sandera keadaan, setiap hari manusia digempur oleh kedangkalan epistemik, karikatur para elite politik berupa kebobrokan moral, gempuran media massa yang depthless, karnavalisasi praktik keagamaan, hipnotis televisi berupa peternakan artis, tontonan takhayul, infotainment kriminal, hiburan dangkal berupa gosip selebritis dan hiruk pikuk yang membunuh makna.
Gempuran informasi yang mempesona serta tawaran pasar yang menjanjikan transformasi progresif kualitas hidup sering kali hanyalah ilusi dan simulasi. Oleh karena itu individu terpojok ke kamar frigiditas empati dan terpasung oleh daya konsumen teatrikal. Karenanya manusia berhadapan dengan ambiguitas dan ia sendiri akhirnya menjadi sesuatu yang ambigu. Itu sebabnya peradaban manusia pun rentan terjerembab ke dalam kubangan krisis eksistensial peradaban.
Krisis eksistensial peradaban muncul dalam simtom hilangnya nilai-nilai luhur dan mendasar dalam hidupnya. Manusia tak lagi mempunyai prioritas hidup; tak lagi mempunyai kriteria nilai serta tujuan; tak mempunyai harapan, dan tak berani mencari makna terdalam.
Salah satu penyebab keterpurukan dan krisis macam itu ialah karena manusia telah membunuh malam hari sebagai waktu yang tepat untuk berkontemplasi. Sebaliknya, terlalu menghidupkan siang hari yang kemudian menyebabkan manusia kehilangan orientasi; kehilangan kesempatan menilai dan mengevaluasi; kehilangan daya untuk menghimpun kekuatan dan menyusun strategi. Dunia manusia menjadi riuh, bising dan glamour dengan urusan bisnis dan kerja sehingga manusia pun terbelenggu secara eksistensial.
Dengan berkontemplasi di malam hari, sebenarnya kita bisa menyeimbangkan jiwa, hati dan pikiran yang sudah dipaksa bekerja keras di siang hari. Kita berhijrah ke arah pemaknaan baru yang inkonvensional dan terbuka secara lebih serius dengan segala impian dan harapan. Dalam hal ini, individu seharusnya tertantang untuk menjadi orang bebas (leisure class) berjuang membudayakan kontemplasi di malam hari. Akan tetapi persoalannya ialah waktu malam hari yang bagaimana? Apakah setiap kita mempunyai pemahaman yang berbeda tentangnya? Bukankah malam hari bagi masyarakat kita sangatlah mubadzir, tanpa makna?
Secara faktual kita memiliki waktu di malam hari dalam arti kesempatan. Namun, harus diterima, bahwa tidak seluruhnya waktu yang kita miliki itu bernilai dan berkualitas. Ada banyak sebab dan faktor yang mengondisikan budaya kita “frigid” terhadapnya. Sebagai fakta empiris, mengembalikan kebudayaan kita kepada pemanfaatan menjadi mustahil bila waktu malam hanya ‘tergeletak’ begitu saja sebagai jejak hampa. Malam semestinya diisi dengan intuisi, imajinasi, emosi yang berbobot dan kesunyian yang sarat makna.
Menghidupkan waktu malam yang menjadi pokoknya ialah sikap ‘sunyi’, sikap kontemplatif yang memungkinkan ketersingkapan Realitas (Being) bagi kita. Ia adalah sikap ‘menerima’, sikap yang tak hanya membiarkan segala peristiwa berlalu begitu saja, akan tetapi juga keberanian dan tekad untuk merogoh kedalaman di balik seluruh ciptaan. Jika waktu malam hari hanya terbatas pada ‘rutinitas’ yang diatur oleh jadwal, maka ia tetap saja merupakan bagian integral dari rutinitas dan tuntutan kerja. Hanya kesempatan untuk tidur supaya besok bisa berangkat kerja lagi.
Seharusnya, malam hari adalah ranah yang membiarkan segala kesubtilan dan keganjilan realitas merenangi imajinasi atau membiarkan imajinasi bertualang mengumpulkan ide-ide, merumuskan penalaran, mengasah daya abstraksi, menajamkan intuisi dan merupakan perpaduan dari ketenteraman (transquility), kontemplasi (contemplation) dan kesungguhan hidup (intensity of life) yang tidak seharusnya kita sia-siakan begitu saja.
Good night...

10 December 2015

LEBENSPHILOSOPHIE


Pernah suatu masa, aku mengalami keterisolasian yang total permanen dan tak terselamatkan dari segala sesuatu dan semua orang, yang bercampur dengan klaustrofobia yang tak tertahankan. Seperti sebuah mimpi buruk berupa perasaan terkurung di dalam diri sendiri. Seolah-olah terperangkap seumur hidup dalam kepalaku sendiri. Sejak saat itu, aku bergulat dengan “hantu-hantu” yang berasal dari pemikiran itu, setidak-tidaknya pada sebagian waktu dalam keseharian, terutama saat sendirian dan menganggur. Aku mencoba untuk melarikan diri dari teror ini dengan berupaya keras menyingkirkan pemikiran-pemikiran itu.
Kuakui bahwa sejak kecil aku terhisap oleh masalah-masalah ketuhanan dan asal-usul segala sesuatu. Mempertanyakan hal-hal yang tak biasa dipertanyakan orang pada umumnya seperti penderitaan, kebahagiaan, takdir dan sebagainya. Sampai pada akhirnya aku menemukan pengertian bahwa tak ada sesuatu pun yang mungkin aku lakukan yang bisa membuatku mengalami sesuatu yang lain kecuali dari hasil ciptaan kesadaranku sendiri.
Menakjubkan bahwa -meskipun hanya kebetulan semata-mata- ternyata banyak filosof terkenal yang mengalami kekacauan jiwa saat masih muda. Aku merasakan ketakjuban yang sama bahwa aku diliputi oleh problem-problem filosofis seumur hidupku. Dan aku sepertinya tenggelam dalam problem-problem yang juga dihadapi para filosof besar dan aku pun merasakan dorongan hati yang sama dengan mereka untuk memahami hakikat dunia dan pengalaman atas dunia, yang diikuti oleh kesadaran yang sama bahwa semua itu tak bisa dijelaskan dalam kerangka pandangan umum (commonsense), yang sebaliknya malah menimbulkan berbagai kontradiksi dalam pemahaman mengenai hakikat dunia dan pengalaman atas dunia, jika bukannya malah membisu total.
Sebagai konsekuensinya, aku membaca karya mereka seperti orang kelaparan yang dengan rakus melahap semua makanan yang tersedia, dan proses pembacaan itu sungguh mengembangkan dan menyehatkan diriku untuk masa selanjutnya. Aku begitu terpana, melihat hal-hal yang kupikirkan tertulis di halaman-halaman buku yang kubaca dan telah ditulis beribu-ribu tahun yang lalu. Akhirnya bacaanku pun berujung pada penemuan apa yang disebut dengan Lebensphilosophie.
Lebensphilosophie atau sering disebut dengan Filsafat Kehidupan berbeda dengan apa yang dimaksud dengan Filsafat Akademis. Lebensphilosophie merupakan filsafat yang berfungsi untuk mencintai dan memaknai hidup dengan berbagai pergumulan filosofis untuk memahami hakikat dunia. Berfilsafat menurut Lebensphilosophie merupakan aktivitas pencarian kebenaran yang dilakukan pada level terdalam yang sanggup ditembus oleh manusia. Bukan berfilsafat yang dilakukan di ruang-ruang kelas secara teoretis dan spekulatif.
Para penganut Lebensphilosophie berjuang keras untuk mengedepankan kehidupan batiniah dan pengalaman manusiawi dengan mengkritik kecenderungan untuk menyempitkan hidup pada unsur-unsur lahiriahnya, seperti teknologi, industri, ekonomi dan seterusnya. Aliran ini menjelaskan bahwa pangkal dan tujuan berpikir adalah kehidupan. Upaya untuk memahami pengalaman yang dihayati secara konkret, historis dan menghasilkan makna serta melawan citra manusia mekanistis yang disokong oleh positivisme. 
Jika pada akhirnya satu-satunya aktivitas individual yang sungguh-sungguh penting ialah pencarian akan makna kehidupan, maka apa pun menurut Lebensphilosophie yang memberikan kontribusi terhadap upaya pencarian itu merupakan sesuatu yang bernilai dan apa pun yang tidak memberikan kontribusi terhadap upaya itu merupakan sesuatu yang tidak perlu dipedulikan dengan penuh perhatian.