02 January 2016

MENGHIDUPKAN MALAM HARI

Di siang hari manusia terus menerus hidup dalam aura persaingan produktivitas, prestasi, kepentingan politis dan ekonomi yang memicu manusia mengambil jalan pintas yang kerap brutal, ilegal, imoral dan berakibat fatal. Sebagai sandera keadaan, setiap hari manusia digempur oleh kedangkalan epistemik, karikatur para elite politik berupa kebobrokan moral, gempuran media massa yang depthless, karnavalisasi praktik keagamaan, hipnotis televisi berupa peternakan artis, tontonan takhayul, infotainment kriminal, hiburan dangkal berupa gosip selebritis dan hiruk pikuk yang membunuh makna.
Gempuran informasi yang mempesona serta tawaran pasar yang menjanjikan transformasi progresif kualitas hidup sering kali hanyalah ilusi dan simulasi. Oleh karena itu individu terpojok ke kamar frigiditas empati dan terpasung oleh daya konsumen teatrikal. Karenanya manusia berhadapan dengan ambiguitas dan ia sendiri akhirnya menjadi sesuatu yang ambigu. Itu sebabnya peradaban manusia pun rentan terjerembab ke dalam kubangan krisis eksistensial peradaban.
Krisis eksistensial peradaban muncul dalam simtom hilangnya nilai-nilai luhur dan mendasar dalam hidupnya. Manusia tak lagi mempunyai prioritas hidup; tak lagi mempunyai kriteria nilai serta tujuan; tak mempunyai harapan, dan tak berani mencari makna terdalam.
Salah satu penyebab keterpurukan dan krisis macam itu ialah karena manusia telah membunuh malam hari sebagai waktu yang tepat untuk berkontemplasi. Sebaliknya, terlalu menghidupkan siang hari yang kemudian menyebabkan manusia kehilangan orientasi; kehilangan kesempatan menilai dan mengevaluasi; kehilangan daya untuk menghimpun kekuatan dan menyusun strategi. Dunia manusia menjadi riuh, bising dan glamour dengan urusan bisnis dan kerja sehingga manusia pun terbelenggu secara eksistensial.
Dengan berkontemplasi di malam hari, sebenarnya kita bisa menyeimbangkan jiwa, hati dan pikiran yang sudah dipaksa bekerja keras di siang hari. Kita berhijrah ke arah pemaknaan baru yang inkonvensional dan terbuka secara lebih serius dengan segala impian dan harapan. Dalam hal ini, individu seharusnya tertantang untuk menjadi orang bebas (leisure class) berjuang membudayakan kontemplasi di malam hari. Akan tetapi persoalannya ialah waktu malam hari yang bagaimana? Apakah setiap kita mempunyai pemahaman yang berbeda tentangnya? Bukankah malam hari bagi masyarakat kita sangatlah mubadzir, tanpa makna?
Secara faktual kita memiliki waktu di malam hari dalam arti kesempatan. Namun, harus diterima, bahwa tidak seluruhnya waktu yang kita miliki itu bernilai dan berkualitas. Ada banyak sebab dan faktor yang mengondisikan budaya kita “frigid” terhadapnya. Sebagai fakta empiris, mengembalikan kebudayaan kita kepada pemanfaatan menjadi mustahil bila waktu malam hanya ‘tergeletak’ begitu saja sebagai jejak hampa. Malam semestinya diisi dengan intuisi, imajinasi, emosi yang berbobot dan kesunyian yang sarat makna.
Menghidupkan waktu malam yang menjadi pokoknya ialah sikap ‘sunyi’, sikap kontemplatif yang memungkinkan ketersingkapan Realitas (Being) bagi kita. Ia adalah sikap ‘menerima’, sikap yang tak hanya membiarkan segala peristiwa berlalu begitu saja, akan tetapi juga keberanian dan tekad untuk merogoh kedalaman di balik seluruh ciptaan. Jika waktu malam hari hanya terbatas pada ‘rutinitas’ yang diatur oleh jadwal, maka ia tetap saja merupakan bagian integral dari rutinitas dan tuntutan kerja. Hanya kesempatan untuk tidur supaya besok bisa berangkat kerja lagi.
Seharusnya, malam hari adalah ranah yang membiarkan segala kesubtilan dan keganjilan realitas merenangi imajinasi atau membiarkan imajinasi bertualang mengumpulkan ide-ide, merumuskan penalaran, mengasah daya abstraksi, menajamkan intuisi dan merupakan perpaduan dari ketenteraman (transquility), kontemplasi (contemplation) dan kesungguhan hidup (intensity of life) yang tidak seharusnya kita sia-siakan begitu saja.
Good night...

No comments:

Post a Comment