Di siang hari manusia terus menerus hidup dalam aura
persaingan produktivitas, prestasi, kepentingan politis dan ekonomi yang memicu
manusia mengambil jalan pintas yang kerap brutal, ilegal, imoral dan berakibat
fatal. Sebagai sandera keadaan, setiap hari manusia digempur oleh kedangkalan
epistemik, karikatur para elite politik berupa kebobrokan moral, gempuran media
massa yang depthless, karnavalisasi praktik keagamaan, hipnotis televisi
berupa peternakan artis, tontonan takhayul, infotainment kriminal, hiburan
dangkal berupa gosip selebritis dan hiruk pikuk yang membunuh makna.
Gempuran informasi yang mempesona serta tawaran pasar
yang menjanjikan transformasi progresif kualitas hidup sering kali hanyalah
ilusi dan simulasi. Oleh karena itu individu terpojok ke kamar frigiditas
empati dan terpasung oleh daya konsumen teatrikal. Karenanya manusia berhadapan
dengan ambiguitas dan ia sendiri akhirnya menjadi sesuatu yang ambigu. Itu
sebabnya peradaban manusia pun rentan terjerembab ke dalam kubangan krisis
eksistensial peradaban.
Krisis eksistensial peradaban muncul dalam simtom
hilangnya nilai-nilai luhur dan mendasar dalam hidupnya. Manusia tak lagi
mempunyai prioritas hidup; tak lagi mempunyai kriteria nilai serta tujuan; tak
mempunyai harapan, dan tak berani mencari makna terdalam.
Salah satu penyebab keterpurukan dan krisis macam itu
ialah karena manusia telah membunuh malam hari sebagai waktu yang tepat untuk berkontemplasi.
Sebaliknya, terlalu menghidupkan siang hari yang kemudian menyebabkan manusia
kehilangan orientasi; kehilangan kesempatan menilai dan mengevaluasi;
kehilangan daya untuk menghimpun kekuatan dan menyusun strategi. Dunia manusia
menjadi riuh, bising dan glamour dengan urusan bisnis dan kerja sehingga
manusia pun terbelenggu secara eksistensial.
Dengan berkontemplasi di malam hari, sebenarnya kita bisa
menyeimbangkan jiwa, hati dan pikiran yang sudah dipaksa bekerja keras di siang
hari. Kita berhijrah ke arah pemaknaan baru yang inkonvensional dan terbuka
secara lebih serius dengan segala impian dan harapan. Dalam hal ini, individu seharusnya
tertantang untuk menjadi orang bebas (leisure class) berjuang
membudayakan kontemplasi di malam hari. Akan tetapi persoalannya ialah waktu malam
hari yang bagaimana? Apakah setiap kita mempunyai pemahaman yang berbeda
tentangnya? Bukankah malam hari bagi masyarakat kita sangatlah mubadzir, tanpa
makna?
Secara faktual kita memiliki waktu di malam hari dalam
arti kesempatan. Namun, harus diterima, bahwa tidak seluruhnya waktu yang kita
miliki itu bernilai dan berkualitas. Ada banyak sebab dan faktor yang
mengondisikan budaya kita “frigid” terhadapnya. Sebagai fakta empiris,
mengembalikan kebudayaan kita kepada pemanfaatan menjadi mustahil bila waktu malam
hanya ‘tergeletak’ begitu saja sebagai jejak hampa. Malam semestinya diisi
dengan intuisi, imajinasi, emosi yang berbobot dan kesunyian yang sarat makna.
Menghidupkan waktu malam yang menjadi pokoknya ialah
sikap ‘sunyi’, sikap kontemplatif yang memungkinkan ketersingkapan Realitas (Being)
bagi kita. Ia adalah sikap ‘menerima’, sikap yang tak hanya membiarkan segala
peristiwa berlalu begitu saja, akan tetapi juga keberanian dan tekad untuk merogoh
kedalaman di balik seluruh ciptaan. Jika waktu malam hari hanya terbatas pada ‘rutinitas’
yang diatur oleh jadwal, maka ia tetap saja merupakan bagian integral dari
rutinitas dan tuntutan kerja. Hanya kesempatan untuk tidur supaya besok bisa
berangkat kerja lagi.
Seharusnya, malam hari adalah ranah yang membiarkan
segala kesubtilan dan keganjilan realitas merenangi imajinasi atau membiarkan
imajinasi bertualang mengumpulkan ide-ide, merumuskan penalaran, mengasah daya
abstraksi, menajamkan intuisi dan merupakan perpaduan dari ketenteraman (transquility),
kontemplasi (contemplation) dan kesungguhan hidup (intensity of life)
yang tidak seharusnya kita sia-siakan begitu saja.
Good night...
No comments:
Post a Comment