Ilmu
Mawhub adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak melalui logika dan
penjelasan teori, tetapi diperoleh dari pengalaman langsung dan pencerapan
Ilahi. Ilmu ini menggunakan sensitifitas rasa (dzawq). Ilmu yang tidak dibatasi
oleh aturan tertentu, tidak diatur oleh logika berpikir tertentu dan tidak
dikendalikan oleh timbangan-timbangan metode tertentu, tetapi ilmu yang
berdasarkan penyingkapan spiritual. Dimana penyingkapan ini bersifat objektif
dan ideal, lepas dari penilaian salah dan benar. Adapun yang mengandung
kemungkinan salah dan benar adalah cara menyampaikannya pada sebuah konteks.
Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah disebutkan bahwa
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Berbuat ganjillah wahai Ahli al-Quran karena
Allah itu ganjil dan suka pada yang ganjil!” Seorang Badui kemudian bertanya,
“Apa maksud dari yang kau sampaikan wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab,
“Pernyataan ini bukan untukmu dan teman-temanmu.”
Sayyidina
Ali RA pernah berkata, “Sesungguhnya di antara dua rusukku ada sebuah ilmu yang
bila aku sampaikan niscaya kalian akan mencampuradukkannya dengan yang lain.”
Sayyidina Ali RA menepuk dadanya seraya berkata, “Sesungguhnya di sini banyak
tersimpan ilmu yang melimpah, seandainya ada yang berkompeten untuk menerimanya
akan aku sampaikan.”
‘Abdullah
ibnu ‘Abbas RA berkata, “Seandainya aku mengungkapkan apa yang aku ketahui
tentang firman Allah SWT dalam surah al-Talaq ayat 12 maka niscaya kalian akan
merajam, membunuh dan memvonisku kafir." Baca juga kisah ‘Abdullah ibnu
‘Abbas dalam tafsir surah al-Nasr. Demikian pula kisah cicit rasulullah SAW,
Zainul Abidin RA menyampaikan hal tersebut dalam syairnya yang populer.
Mereka
semua adalah para penghulu kebaikan, ‘arifin billah dan sangat memahami akan
keberadaan ilmu ini. Mereka akan berdiam serta menahan diri untuk
mengungkapkannya jika tidak ada orang yang berkompeten untuk menerimanya.
Sesungguhnya
sebagian besar ilmu yang dimasukkan ke hati mereka adalah tiupan Ilahi yang
tidak serta merta bisa dipahami oleh para pemikir positivistik. Para ‘arifin
billah itu sering menyampaikan ilmu pengetahuan ini dengan simbol-simbol dan
perumpamaan yang tidak bisa dipahami oleh semua orang agar tidak disalahpahami
oleh orang-orang yang tidak berkompeten dan akhirnya menjadi kontra produktif.
Seseorang
disebut tidak akan sampai pada derajat keilmuan kalau ilmu yang diperolehnya
tidak dicerap secara langsung (mawhub). Karena ilmu yang diperoleh dari proses
pengamatan terhadap peristiwa empiris dan fenomenal melalui media
penukilan/kutipan dan guru tidak bisa dianggap sebagai 'kebenaran'.
Karena
ilmu yang disampaikan tersebut tidak akan terlepas dari pengaruh tabiat dan
kondisi seseorang, sehingga pemahaman tidak akan murni lagi bahkan akan
terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran yang subjektif dan akan memalingkan
kondisi realitas objek karena dampak teorisasi dan proses penelitian.
Ilmu
Mawhub ini, jika dipaparkan dengan perumpamaan, akan menjadi lebih jelas dan
terpahami maknanya. Akan lebih mendekati hakekat dan dapat terambil
intisarinya. Terutama bagi seorang pendengar yang cerdas.
Oleh karena itu, supaya ilmu ini bisa terjaga
objektivitasnya maka seseorang yang telah mencerapnya hendaknya menyembunyikan
realitas hasil temuannya dan hanya mengungkapkannya dengan simbol dan perumpamaan. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para kaum salaf terdahulu melalui penggunaan ungkapan-ungkapan puitis dalam syair-syair mereka.
No comments:
Post a Comment