Pada tulisan yang lalu saya menyampaikan bahwa bahasa al-Quran tidak bisa
diterjemahkan ke dalam bahasa manapun. Jika hal itu dilakukan akan ada sesuatu
hal yang tak tersampaikan. Satu hal yang tak mungkin tersampaikan ketika
menerjemahkan ayat-ayat tersebut adalah kesesuaian yang mengagumkan antara nada
ayat dan maknanya. Mungkin kita tidak cukup sekadar mengatakan bahwa nada ayat
itu selaras dengan maknanya, tetapi lebih dari itu, nada ayat itu sendirilah
yang melahirkan maknanya.
Mereka yang mengerti musik tahu bahwa alunan nada-nada dapat menyampaikan
pesan meskipun tidak diiringi lirik. Bahkan banyak dari mereka yang percaya
bahwa musik bisa menyampaikan makna yang tidak bisa disampaikan oleh kata-kata.
Al-Quran bukanlah musik, tetapi ketika dibaca, ia memiliki efek terhadap
pendengaran manusia seperti efek alunan musik. Selain teknik melodi yang
mungkin digunakan pembacanya, ayat-ayat al-Quran sarat dengan irama, nada
puitis dan sajak.
Dari sisi ini, bahasa Arab al-Quran meminjam pola oral puisi pra-Islam,
tetapi al-Quran bukanlah puisi. Menurut seorang ulama, bahasa Arab al-Quran
merupakan perpaduan unik antara prosa bersajak (saj’) dan prosa bebas.
Al-Quran sarat dengan nada-nada puitis, yang tertuang dalam ayat yang panjang
maupun pendek. Beragam pola sajak, ritme dan nada akhir yang tanpa rima dan
juga perbedaan panjang surah-surahnya secara keseluruhan merupakan komposisi
sastra yang berkaitan erat dengan makna yang disampaikan. Jadi,
menurut Issa J. Boullata dalam Encyclopedia of the Quran, dapat disimpulkan
bahwa semua itu merupakan unsur penting dalam proses penyampaian pesan
al-Quran.
Karena nada al-Quran
sangat terkait erat dengan maknanya, kita harus menyoroti sejumlah aspek bunyi
ayat-ayat tertentu ketika membahas makna kata-katanya. Jika ini tidak dilakukan, sangat mungkin kita tidak dapat
memahami sejauh mana kaum muslim di masa Nabi terpengaruh oleh gaya, ungkapan
dan lantunan ayat-ayat al-Quran. Namun, ini tidak berarti bahwa mendengarkan
bacaan al-Quran semata menjadi pengalaman estetis bagi mereka, sebab al-Quran
sendiri menegaskan bahwa ia bukanlah puisi. Al-Quran menegaskan kedudukannya
sebagai mahakarya yang unik dan tidak bisa ditiru.
Salah satu aspek ketaktertiruan al-Quran adalah kandungan maknanya yang
tersimpan apik dan termampatkan dalam rangkaian ayat-ayatnya. Memisahkan pesan
atau makna dari ungkapannya akan menyebabkan kita tak dapat memahami dengan
baik pengaruh al-Quran terhadap pendengar atau pembacanya di sepanjang abad. Bahasanya
menjelaskan semua kemungkinan tentang manusia, Tuhan dan alam semesta dengan
menggunakan gaya bahasa yang khas dan ilahiah yang dapat digali dengan potensi
yang sudah melekat pada diri manusia yaitu akal dan intuisi atau potensi intelektual
dan spiritual.
Para ulama yang menekuni al-Quran umumnya suka menelusuri semua nuansa yang
mungkin terkandung dalam sebuah kata yang dapat memperkaya ruhani seseorang.
Tapi tentu saja, tidak semua orang Islam tertarik dengan al-Quran atau mampu
mempelajari dan menghafalnya. Kebanyakan mereka hanya memiliki hubungan pasif
dengan al-Quran. Jelasnya, mereka suka mendengar bacaan yang fasih dan indah,
tetapi tak tergerak untuk mempelajarinya secara serius. Inilah yang terjadi
selama berabad-abad.
”Katakanlah, ”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul
untuk membuat yang serupa (dengan) al-Quran ini, mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama
lain.”
”Dan sungguh, Kami telah menjelaskan berulang-ulang
kepada manusia dalam al-Quran ini dengan bermacam-macam perumpamaan, tetapi
kebanyakan manusia tidak menyukainya bahkan mengingkari(nya).
(Memperjalankan di Malam Hari: 88-89)
No comments:
Post a Comment