Bahagia atau kebahagiaan (happines) demikian ia disebut sudah
menjadi perburuan purba. Tidak satu diripun yang tidak mencari keberadaannya,
sebaliknya di berbagai tempat dan waktu, setiap manusia selalu hidup untuk
mengejar mimpi misteri bernama kebahagiaan. Ada yang menempuh jalan sebagai
filosof, sufi, resi, pertapa, pengembara, peziarah atau bahkan ada yang tidak
menempuh jalan apapun karena tidak tahu kemana mencari kebahagiaan tersebut.
Kitab suci diturunkan, nabi dan rasul diutus, berbagai kitab dan buku ditulis,
meskipun demikian, ia tetap menjadi misteri agung. Hanya mereka yang mengetahui
kunci rahasianyalah yang bisa memilikinya. Namun, hingga saat ini manusia tidak
tahu siapa yang mengetahui kunci dari hidup bahagia tersebut.
Dari masa ke masa bermunculan kelompok dan individu yang melakukan
penelitian dan riset secara mendalam. Di antara mereka akhirnya menemukan bahwa
pencarian itu dilandasi oleh pengetahuan akan diri sendiri. Bagaimana mungkin
kita mencari tahu sesuatu dengan bijaksana kalau kita tidak mengenali diri kita
sendiri. Karena substansi manusia adalah jiwanya bukan tubuhnya yang
memenjarakan maka kajian tentang jiwapun menjadi tema pokok mereka.
Ikhwan as-Shafa, sebuah persaudaraan rahasia pada masa dinasti Abbasiyah, menjelaskan
bahwa jiwa yang berpengetahuan, substansinya akan bersih karena tidak terkotori
perilaku jahat dan moralitas rendahan serta pandangan-pandangan sesat
(pandangan-pandangan tentang fenomena yang tidak sesuai dengan hakekat
realitasnya). Akan tampak darinya bentuk-bentuk atau gambaran-gambaran sempurna
realitas-realitas imaterial di dunia spiritual (vision) hingga jiwa itu
dapat menangkapnya sesuai dengan realitas yang sebenarnya dan menyaksikan
realitas-realitas non fisik, sebagaimana indera lahir yang sehat menangkap objek berupa realitas-realitas
material. Terdapat hubungan kausalitas antara vision (musyahadah) dengan kebahagiaan (as-sa’adah).
Sebaliknya jiwa yang terus menerus dalam keadaan terkotori oleh kebodohan,
perbuatan jahat dan moralitas rendahan serta pandangan-pandangan sesat, ia akan
selalu terhalang untuk bisa menangkap realitas-realitas non fisik di atas dunia
fisik ini. Ujungnya, ia tidak akan mampu ’mengenal’ Tuhan. Lebih rinci lagi,
hijab manusia dengan Tuhannya yang berupa kebodohan terhadap substansi diri
sendiri, dunianya, tempat asal dan kembalinya akan berakibat dirinya diliputi
oleh perbuatan-perbuatan jahat dan merugikan orang lain.
Jiwa yang senantiasa diliputi oleh hijab-hijab di atas, selain berakibat ia
tidak bisa melihat dirinya sendiri, juga tidak akan bisa tampak darinya sesuatu
yang baik lagi indah dan lezat. Jiwa semacam itu tidak akan merasakan
kesenangan dan enggan berusaha mencapai apalagi merindukan padanya. Mereka
tidak bisa mencapai kenikmatan lebih tinggi dan abadi yang bersifat rohani
(imaterial). Inilah jiwa-jiwa yang menderita dan gagal mencapai kebahagiaan.
No comments:
Post a Comment