Menurut para sufi eksistensi Ilahiah tidak hanya dikenal melalui dalil akal
atau pemberitaan para nabi, tetapi juga melalui penglihatan batin. Dalam
menempuh tingkatan ini, menurut mereka, seseorang akan menemui berbagai keadaan
mental, yang disebut dengan ahwal, seperti rasa cemas (khauf),
tenteram (tuma’ninah), dan sedih (huzn), yang datang dan pergi
pada waktu yang tidak diketahui secara persis. Ini terjadi bersamaan dengan
perubahan kepribadian yang sedang dialami, yakni hilangnya kepribadian lama,
menguatnya kepribadian baru dan munculnya ’pemahaman’.
Pemahaman tersebut bukan berasal dari pengetahuan yang bersifat
demonstratif, tetapi ilham yang menyusup ke lubuk hati. Karena itu, pemahaman
tersebut mustahil dapat diekspresikan atau dijabarkan –karena berupa kondisi
perasaan yang sulit diterangkan- kepada orang lain dengan kata-kata biasa. Lagi
pula pemahaman tersebut merupakan suatu kondisi yang cepat sirna dan jarang
dapat bertahan lama meskipun dapat menimbulkan kesan yang sangat kuat dan mendalam.
Seseorang yang tirai hatinya telah terbuka terhadap pemahaman eksistensi
Ilahiah niscaya akan menumpahkan segenap perhatian dan konsentrasi untuk mengejarnya.
Ia tidak menemukan kepuasan rohani dan kebenaran sejati di bidang ilmu lain
atau masalah apapun, tetapi lebih memilih terjun memasuki lautan rahasia dan ternyata
di situ ia menemukannya.
Perkataan-perkataan sebagai ungkapan pemahamannya merupakan perkataan yang
ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari relung hati. Karena itu, dilihat
dari sudut pandangan hukum, ia tidak dapat dihakimi karena perkataan tersebut,
karena hal itu bukan keluar dari hawa nafsu tapi semata dari hasil penglihatannya
yang kemudian dipahami. Tetapi seseorang yang tidak dapat mengendalikan diri
akan senantiasa tetap dalam keadaan al-bidayah (permulaan/belum dewasa),
ia tidak dapat dijadikan panutan bagi yang lain. Yang lebih sempurna adalah seseorang
yang telah mapan dan mampu mengelola hasil-hasil penglihatan dan pemahamannya.