Banyak orang menjadikan
kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya. Sedangkan kebahagiaan yang sejati, menurut saya hanya
dapat diperoleh jika orang mau menjadi dirinya sendiri yang otentik, yang
asli dan tidak dilumuri kemunafikan. Meskipun sampai sekarang banyak
motivator, pengajar atau buku-buku self-help yang
masih mengajarkan orang untuk tidak menjadi dirinya sendiri tetapi menjadi seperti tokoh-tokoh tertentu yang sudah sukses baik
di bidang ekonomi maupun kemanusiaan. Inilah yang disebut David Rieman sebagai
“individu yang terarah pada individu yang lain” (other-directed individual).
Pengenalan terhadap
diri sendiri merupakan syarat utama untuk mencapai hidup yang otentik.
Pengenalan diri sendiri dan keberanian untuk menerimanya dengan jujur menjadi
awal proses pengembangan diri. Fritz Perls seorang terapis eksistensial
berpendapat bahwa, orang yang tidak bisa menjadi otentik dapat dikategorikan
sebagai orang yang neurosis. Neurosis sendiri adalah suatu kondisi, di mana
orang berusaha melarikan diri dari dirinya sendiri. Orang yang neurosis telah
mengorbankan diri mereka sendiri justru untuk mengembangkan dirinya.
Secara lebih luas masyarakat
dan dunia sosial keseluruhan mempunyai aturan dan tuntutan, yang seringkali
menghalangi orang untuk menjadi dirinya sendiri. “Segala sesuatu di dalam
eksistensi sosial”, demikian Guignon, “Menarik kita menjauh dari upaya untuk
menjadi diri kita sendiri, untuk alasan sederhana bahwa masyarakat bekerja
secara maksimal dengan membuat orang terkurung di dalam mekanisme kehidupan
sehari-hari.”
Dunia sosial dan peran
sosial yang dipaksakan mendorong orang untuk menjadi tidak otentik.
Spiritualitas yang kokoh dan cara pandang yang jernih terhadap realitas
merupakan kunci untuk tetap otentik di dalam dunia sosial. Sekaligus keberanian untuk mengatakan tidak untuk segala sesuatu yang ingin
mengubah dirinya. Tanpa itu seseorang
tidak akan mampu menjadi dirinya sendiri dan akan selalu terombang-ambing dalam
kehidupan.
Sesungguhnya di dalam
diri setiap orang terdapat jati diri yang sejati, yang membedakan orang
tersebut dari orang-orang lainnya. Jati diri yang sejati ini mengandung
perasaan-perasaan, kebutuhan-kebutuhan, hasrat-hasrat, kemampuan-kemampuan, dan
kreativitas yang membuat orang tertentu unik, jika dibandingkan dengan orang
lainnya.
Menurut Guignon, konsep
otentisitas memiliki dua aspek pemahaman. Yang pertama adalah pemahaman bahwa untuk menjadi otentik orang perlu
menemukan jati diri sejati yang ada di dalam diri melalui proses refleksi. Jika
orang mampu mencapai pemahaman penuh tentang dirinya sendiri, barulah ia mampu
mencapai eksistensi diri yang otentik. Yang kedua
selain menemukan jati diri sejatinya, orang juga perlu mengekspresikan jati
diri sejati tersebut di dalam tindakannya ke dunia sosial. Orang perlu untuk
menjadi dirinya sendiri di dalam relasinya dengan orang lain. Hanya dengan
mengekspresikan jati diri sejatinyalah orang dapat mencapai kepenuhan diri sebagai manusia yang otentik.
Tidak ada orang lain
yang mampu memahami perasaan-perasaan kita, selain kita sendiri. Kita juga
tidak bisa menuntut orang lain untuk bisa memahami perasaan-perasaan kita
tersebut. Yang sering kali terjadi justru kita harus memaksakan diri untuk menyesuaikan
perasaan kita dengan orang lain atau masyarakat pada umumnya. Meskipun dalam
perjalanan banyak orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan
sosial tersebut sehingga menyebabkan dirinya terjerembab dalam krisis identitas
yang melelahkan.
Hanya sedikit di antara
mereka yang mampu memiliki dorongan personal yang berbeda dengan tuntutan
kultural yang dibebankan masyarakat. Mereka bertindak dengan motivasi personal
yang tidak memerlukan justifikasi dari dunia sosial. Akibatnya mereka dianggap
jahat, asing, aneh, eksentrik, dan sebagainya. Dalam level tertentu mungkin
malah dikatakan gila.
��
ReplyDeletePak ... kok gak ada menu"nya ini pak ....
ReplyDeleteMenu apa ya..?
ReplyDelete