Kegelisahan
dan Kecemasan
Kegelisahan dan
kecemasan adalah kondisi psikologis yang tidak sehat. Seseorang merasakan
kegelisahan biasanya karena merasa tidak bisa melakukan sesuatu yang akan
dikerjakannya pada masa depan. Misalnya, gelisah karena takut tidak mendapat pekerjaan, atau bisa juga gelisah karena merasa tidak bisa mengerjakan tugas dari
kampus dan kantornya. Rasa gelisah timbul ketika pikiran kita sudah dimasuki
rasa negatif yang begitu tinggi akan sesuatu, sehingga rasa percaya diri akan
hilang. Intinya, gelisah itu timbul karena kita merasa takut tidak bisa
mengerjakan kewajiban kita sehingga takut pula untuk kehilangan haknya.
Sedangkan kecemasan
berakar dari perasaan kewalahan akibat begitu banyak hal-hal kecil yang perlu
diselesaikan. Jika dilihat satu persatu, setiap hal di dalam daftar panjang
yang wajib diselesaikan tidak cukup untuk menjadi sumber stres, tetapi gabungan
dari tumpukan tugas-tugas kecil akan berujung dengan beban yang memicu
kegelisahan. Menangani masalah dengan cara meyakinkan diri sendiri bahwa kita memiliki kekuatan untuk menyelesaikan masalah satu per satu dapat membantu kita mengurangi kegelisahan dengan segera.
Sejumlah sumber
kecemasan tidak bisa hilang dalam waktu dekat. Penyakit, masalah keuangan,
masalah hubungan pribadi, dan sumber-sumber permanen kecemasan lain yang tidak
mudah diatasi, tetapi berpikir mengenai hal tersebut dengan cara yang berbeda
mampu mengurangi stres dan ketakutan yang ditimbulkannya.
Membiarkan
perasaan cemas terpendam di dalam diri adalah potensi untuk serangan kecemasan.
Mendiskusikan perasaan kita dengan orang lain adalah langkah yang sangat
penting. Kita bisa mendapatkan perspektif dari orang lain, dan bahkan mungkin
mendapatkan sejumlah ide yang baik untuk memecahkan sebagian masalah yang kita hadapi. Tidak mudah menemukan sosok yang bisa diajak berdiskusi. Akan tetapi
ada bentuk lain untuk itu, yaitu dengan cara meminta nasehat dari buku
(membaca), dan mengenali diri dan permasalahan dir sendiri dengan cara menulis
apa yang kita rasakan dan kemudian membacanya.
Membaca
sebagai Terapi Diri
Penelitian Profesor
Blake Morrison, seorang profesor penulisan kreatif dan kehidupan, terhadap
ratusan biografi, surat, puisi, dan novel mengungkapkan hal menarik. Temuannya
mengindikasikan bahwa sejumlah penulis, ketika membutuhkan katarsis atau
kenyamanan, ternyata membaca buku.
Dengan membaca,
seseorang bisa mengenali dirinya melalui tulisan orang lain yang mempunyai pengalaman
yang sama dengan dirinya. Ketika membaca dia akan ikut merasakan sambil
bergumam, “Ya, itu pengalamanku juga”. Dengan membaca seseorang akan
mendapatkan banyak sudut pandang atau perspektif dalam menyikapi suatu hal.
Membaca adalah kegiatan
yang melibatkan panca indera mata, pikiran, dan perasaan. Isi bacaan akan
menggiring kita kepada keadaan tertentu. Sementara itu, informasi yang
diperoleh dari kegiatan membaca juga menambah wawasan, menjadi masukan untuk memecahkan masalah
yang sedang dihadapi. Dengan demikian, kegiatan membaca dapat mendorong
sesorang untuk berperilaku lebih positif.
Manfaat membaca dalam
fungsinya sebagai terapi yaitu: Pertama,
sangat baik untuk kesehatan otak, untuk melatih kemampuan berpikir agar tidak
tumpul, sehingga akan punya kemampuan berpikir yang bagus. Kedua, menjauhkan diri dari penyakit alzheimer/pikun, sebab membaca
dapat meningkatkan daya ikat otak. Latihan otak seperti membaca buku atau
majalah, bermain teka-teki silang, Sudoku, dan sejenisnya dapat mencegah
kehilangan memori di otak, sehingga akan merangsang sel-sel otak menjadi segar.
Ketiga, mencegah dan menghilangkan
stres. Membaca buku yang diminati, bisa menurunkan tingkat hormon stres yang
tidak sehat. Keempat, membaca sangat
bermanfaat untuk kesehatan mental dan jiwa kita, karena memberikan kepuasan dan
ketenangan jiwa.
Membaca juga akan mendorong seseorang untuk berpikir positif. Akan sangat berbeda ketika seseorang yang sedang mengalami masalah berat langsung melampiaskannya dengan sikap negatif atau langsung bercerita kepada orang lain, atau mencoba mencari solusinya melalui sumber bacaan. Pilihan terakhir akan lebih memberi solusi dan manfaat jangka panjang, sebab dengan membaca sumber yang terpercaya (baik bacaan tercetak maupun elektronik), akan membimbing seseorang dalam menyelesaikan masalahnya. Sumber bacaan juga bisa sebagai sarana untuk berkonsultasi dengan orang lain (penulis), sehingga konsultasi tidak sekedar searah namun interaktif, sehingga akan lebih menguatkan kesehatan mental dan jiwa kita.
Menulis sebagai Terapi Diri
Penelitian awal tentang manfaat menulis
ekspresif dilakukan oleh Pennebaker & Beal tahun 1986 di
Amerika. Hasilnya menyebutkan bahwa kebiasaan menulis
tentang pengalaman hidup yang berharga dapat menurunkan
masalah kesehatan. Kauffman & Kauffman (2009: 3) mengungkapkan bahwa
menulis berkait dengan hasrat (passion),
ide (idea), imajinasi (imagination), intuisi (intuition), wawasan (insight), introversi (introversion) dan keterbukaan dalam pengalaman
(openness to experiences).
Beberapa penelitian yang lainnya menyebutkan bahwa
menulis sebagai fungsi pelepas ketegangan atau katarsis yang ada di dalam diri
dalam jangka panjang dapat menurunkan stres, meningkatkan sistem imun, menurunkan
tekanan darah, mempengaruhi mood, merasa lebih bahagia, bekerja
dengan lebih baik dan mengurangi tanda-tanda depresi. Sedangkan dalam
aspek sosial dan perilaku, menulis dapat meningkatkan memori, nilai
rata-rata siswa sekolah, dan kemampuan sosio-linguistik.
Ada pula penelitian yang menyatakan bahwa dengan
menulis, emosi yang terhambat dapat muncul ke permukaan. Menulis akan
membuat orang menghadapi siapa diri mereka dan mengetahui apa
yang ingin mereka capai. Selain itu, menulis menghasilkan penilaian
diri yang lebih jujur. Karena menulis adalah konkretisasi dari berpikir (Kellog, 1994: 14).
Penelitian lain menunjukkan bahwa menulis dapat
mengubah cara berpikir seseorang menjadi lebih adaptif dan positif
dengan berbagai perubahan yang ada. Terakhir, kegiatan menulis yang
dilakukan secara terus-menerus dapat menurunkan respons negatif pada
ingatan-ingatan traumatis. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut,
ternyata menulis ternyata bukan sekedar media untuk menuangkan ide
dan gagasan. Menulis juga sebagai terapi untuk kesehatan fisik dan mental.
Socrates menyatakan dengan ungkapannya yang terkenal
‘kenalilah dirimu’ sebelum mengenali orang lain. Menulis adalah proses untuk
mengenali diri sendiri. Seseorang yang menulis sebenarnya merepresentasikan
proyeksi diri. Orang yang tipe melankolis akan cenderung menulis karya yang
murung, gelap dan penuh kesengsaraan (Wellek & Warren, 1990). Seseorang
yang bertipe introvert akan mengisahkan tentang dunia keintrovertannya dalam
tulisan-tulisannya, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sebaliknya,
seseorang yang ekstrovert akan mengisahkan tentang dunia keekstrovertannya
dalam tulisan-tulisannya. Sebagian karya-karya masterpiece dari penulis dunia
bahkan ditulis bukan karena tuntutan akademis atau karir tetapi karena tuntutan
untuk melepaskan hambatan-hambatan psikologis dalam dirinya
Psikolog Katharina
Amelia Hirawan mengemukakan bahwa menulis merupakan sebuah terapi terutama bagi
penderita gangguan psikologis. Bahkan seorang Psikolog dari Universitas New
South Wales, Keren Baikie mengemukakan bahwa ketika kita menuliskan
peristiwa-peristiwa yang penuh tekanan, emosi dan bersifat traumatis, kesehatan
fisik dan mental kita dapat menjadi lebih baik dibandingkan ketika kita menulis
dengan topik yang netral. Kesimpulan ini merupakan hasil studi Keren Baikie
dengan meminta semua partisipannya untuk menuliskan tiga sampai lima peristiwa
dalam waktu 15 menit dan hasilnya benar-benar signifikan.
Jika dilakukan dalam
jangka panjang terapi diri dengan membaca dan menulis ini mampu mengurangi
kadar stres, mempersingkat waktu perawatan ketika sakit, mengurangi tekanan
darah, meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, meningkatkan mood, mengurangi
trauma dan meningkatkan kebahagiaan.