Menemukan pengetahuan
tentang realitas itu tidak mudah. Ketika mata sudah mulai melihat, kesulitan-kesulitan
hidup akan menyibukkan pandangan. Ketika titik mulai terang, kemudahan
mendapatkan fasilitas dan kecukupan bendawi akan melenakan hati dan pikiran.
Hal ini memang sebuah keniscayaan karena manusia adalah makhluk yang kompleks
secara psikologis dan rentan.
Secara internal manusia
mempunyai emosi, nafsu, perasaan, keinginan, kehendak, motif, latar belakang,
harga diri dan sebagainya. Sedangkan secara eksternal akal pikirannya
dipengaruhi oleh banyak hal seperti pendidikan, kondisi ekonomi, lingkungan
masyarakat, pendidikan, perilaku anak, pasangan hidup, datang dan perginya
orang-orang yang menguji perasaan dan sebagainya.
Jadi bisa dipastikan,
manusia biasa, secara kualitas kesadaran sangat tidak mungkin bisa dikatakan
stabil sebagaimana para Nabi dan Rasul. Implikasinya, meskipun segala
pengetahuan sudah ditulis dalam kitab suci akal dan pikiran manusia sulit
memahaminya karena faktor-faktor di atas. Ini terjadi karena kondisi mental
spiritual yang lemah dalam menahan gempuran dari luar dirinya sehingga
mengakibatkan kesadarannya semakin menjauh. Bahkan, bisa jadi selamanya dia
tidak akan mengenal apa yang disebut dengan pengetahuan tentang realitas karena
kalah oleh keadaan.
Sebenarnya segala apa
yang dirasakan manusia, baik tentang dirinya, alam sekitarnya atau tentang
Tuhannya adalah persepsi pribadi yang sangat dipengaruhi oleh kualitas-kualitas
di atas. Tidak ada yang namanya kebahagiaan sejati atau penderitaan sejati. Semua
umat manusia di bumi ini pun tidak memiliki konsep Tuhan yang tunggal dan
absolut. Semua dibentuk oleh mindset yang selalu berubah-ubah. Meskipun begitu manusia
merasa sudah memahami segala hal. Mulai merasa bisa memahami dirinya sendiri sampai
mengklaim bisa memahami Tuhannya. Bisa kita bayangkan, betapa absurdnya manusia
di rimba belantara perasaan dan pemikirannya.
Lalu apa yang bisa
mengantarkan manusia tetap mempunyai tongkat kesadaran yang dapat menuntun
hidupnya menuju pengetahuan tentang realitas? Berbagai macam tradisi dan
madzhab dalam Islam sudah menempuh berbagai jalan untuk itu. Di antaranya, para
pengembara kehidupan dalam tradisi tasawuf melatih diri dengan menjauhi hal-hal
yang dapat mengganggu arah perjalanannya dan melakukan amal perbuatan yang
dapat semakin menuntun ke tujuan.
Mereka menjernihkan
penglihatan dari gangguan perasaan. Menghajar fisik dan mental dengan sholat,
dzikir, puasa dan keprihatinan mendalam. Semua itu dilakukan agar mereka bisa tetap
fokus pada jalan yang harus dilewati di antara banyak jalan yang
bercabang-cabang di hadapan. Agar menemukan pencerahan dan akhirnya bisa mencapai
ilmu pengetahuan tentang realitas. Ketika mereka sudah menemukan ilmu
pengetahuan tentang realitas maka itu artinya mereka telah menemukan jalan
menuju Kebenaran. Wallahu a’lam…
Katakanlah: "Inilah jalanku,
aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
keyakinan (al-Bashirah), Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang
yang musyrik".
(Yusuf: 108)
No comments:
Post a Comment