Motivator bisnis sering
mengatakan bahwa jika seseorang ingin sukses di bidang bisnis carilah bisnis
yang menyenangkan, sesuai passion,
berangkat dari hobi, sehingga seseorang bisa bersikap totalitas terhadap
pekerjaannya. Seolah-olah dia mengerjakan hobi bukan pekerjaan.
Motivator pendidikan
juga sering mengatakan jika seseorang ingin sukses dalam bidang akademik dia
harus belajar sesuai dengan gaya belajarnya dan mempelajari ilmu yang
benar-benar dia minati sesuai dengan bakat dan potensinya. Hal ini sesuai
dengan teori Multiple Intellegence Howard Gardner. Jika dia banyak mempelajari
ilmu yang tidak sesuai dengan gaya belajarnya, minatnya serta bakat dan
potensinya hasilnya tidak akan maksimal bahkan bisa menjadikannya depresi.
Dalam ibadah pun
demikian. Kita mengenal seseorang yang ahli wirid, ahli sadaqah, ahli puasa,
ahli dalam mendirikan lembaga pendidikan dan sebagainya. Di mana bidang ibadah
yang ditekuni intensitasnya lebih tinggi daripada bidang-bidang ibadah yang
lain.
Nah, ternyata dalam
dunia spiritual sebagaimana yang tertuang dalam literatur tasawuf juga ditemukan fenomena yang sama. Ada pengajaran atau
pembelajaran spiritual yang mirip dengan teori Multiple Intellegence. Dikenal
pula seorang guru yang bernama Khidr. Dalam dunia spiritual ini Khidr dipercayai
merupakan guru bagi semua orang yang tidak punya guru.
Dia mengajar atau
membimbing seseorang melalui cara yang mirip dengan yang ada dalam teori Multiple
Intellegence yang digagas oleh Howard Gardner. Ia menunjukkan kepada siapa saja
yang berguru kepadanya bagaimana menjadi dirinya. Ia menunjukkan kepada setiap
orang bagaimana cara seseorang mencapai keadaan spiritual yang akan diraih
olehnya dan menjadi ciri khas dirinya.
Hubungannya dengan
setiap orang adalah hubungan antara teladan atau yang diteladani dengan yang
meneladani. Inilah yang membuat ia pada saat yang sama bisa menjadi pribadi dan
purwarupa (prototype)nya sendiri. Cara
membimbingnya, dengan menjadi purwarupa seseorang dan orang lain, membuatnya
mampu menjadi guru bagi semua orang, karena tampil selaku teladan sesering dan
sebanyak jumlah muridnya, dengan peran itu ia membawa setiap murid menuju ke
arah dirinya.
Tentu saja, “bimbingan”
Khidr tidak berupa tuntunan untuk semua muridnya secara seragam ke arah tujuan
yang sama. Tidak menuju satu Penampakan (theophany/tajalli)
yang serupa bagi semua orang. Bukan dengan cara seorang teolog ketika
menyebarkan dogmanya. Ia membawa setiap murid ke teofani mereka masing-masing,
teofani yang disaksikan sendiri secara pribadi. Karena teofani itu
berkorespondensi dengan “surga batin” milik mereka dengan rupa wujud mereka
sendiri, dengan individualitas abadi (‘ayn
thābitah) milik mereka sendiri, menurut istilah lain.
Dalam hal ini ‘Ala`u
al-Dawlah al-Simnani, seorang sufi Persia, mengatakan kita mesti menyatakan bahwa tugas
Khidir ialah berupa kemungkinan bagimu untuk sampai ke “Khidr dari wujudmu
sendiri”. Karena pada kedalaman batin inilah, memancar air kehidupan dari kutub
mikrokosmos; pusat dunia. Dengan teofani unik inilah seseorang akan menemukan kebahagiaan
dan ketenangan dalam perjalanan menuju ‘kembali’.