Hakikat
manusia adalah jiwanya, demikian Platon berkata. Untuk itu, seharusnya kita mendominasi
hidup kita dengan memperhatikan hal tersebut. Seharusnya kita mendalami secara
spesifik bagaimana kita bisa mengoptimalkan jiwa kita. Di tengah kesibukan
aktifitas untuk memenuhi kebutuhan tubuh, hendaknya kita mencari tahu dengan
bijaksana tentang kebutuhan jiwa kita sendiri. Tetapi, bagaimana mungkin kita
mencari tahu sesuatu dengan bijaksana kalau kita tidak mengenali diri kita
sendiri pada mulanya? Bagaimana mungkin kita bisa menjamin bahwa kita tidak
akan tersesat dalam belantara nafsu badani?
Manusia
selalu ada dalam ketegangan dan pertentangan, seringkali ’melakukan apa yang
tidak dikehendaki’. Manusia dan hidupnya adalah bentukan dia sendiri. Dengan pendidikan
yang benar, orang akan mencintai pengetahuan (kebijaksanaan) dan orang akan memiliki
kecenderungan yang tepat sehingga dengan ringan hati mudah memilih hidup yang
adil dan benar daripada sebaliknya.
Jiwa
merupakan apa yang terdalam dari diri manusia. Bila kita merawatnya dengan baik,
tak pelak lagi kita akan menjadi orang yang dekat dengan keilahian.
Keabadian yang dirindukan bisa mulai dirasakan para pecinta kebijaksanaan di
dunia ini, bukan dalam wujud anak-anak yang diturunkan, bukan pula dalam wujud
warisan harta benda yang ditinggalkan, bukan pula dalam bentuk
tindakan-tindakan heroik, melainkan dalam idea kekal yang terus abadi
diturunkan dari satu generasi ke generasi, dari satu bangsa ke bangsa
selanjutnya.
Jiwa
merupakan gerakan, yang tampak dalam konflik hasrat dalam diri manusia dan juga
dalam tegangan untuk selalu meloloskan diri dari gempuran tirani opini
sehari-hari. Manusia memang sebuah misteri. Ini merupakan pernyataan yang benar
untuk zaman dulu, sekarang, maupun masa depan. Sepanjang zaman, manusia
berhasrat menguak misteri ini. Meski seringkali hasil penyingkapannya justru
membuat misteri baru dan semakin menarik untuk digeluti lebih jauh.
Para
pemikir sebelum Sokrates dan Platon sudah berbicara tentang jiwa ketika
membahas adanya sesuatu di luar apa yang kita lihat sebagai wujud tubuh
kemanusiaan kita. Manusia bukanlah sekedar apa yang tampak oleh tubuhnya. Jiwa
merupakan semacam agen moral dan rasional yang bertanggung jawab atas
pilihan-pilihan hidup manusia, sehingga manusia mesti merawat jiwanya sebaik
mungkin. Jiwa adalah yang paling inti, paling murni dari kemanusiaan kita,
sesuatu yang lebih tinggi, lebih mulia, dan kekal daripada tubuh.
Jiwa
mengandung physis atau kodrat. Di satu sisi seluruh kode genetis sudah
tercetak, namun di sisi lain ia bisa berkembang penuh, bisa juga sebaliknya. Dalam
jalinan kode genetis inilah terletak jati diri manusia. Jati diri manusia
adalah jiwanya, sementara badan adalah sesuatu yang bersifat ’tanda’ bagi
jiwanya. Jiwa inilah yang akan kembali kepada Tuhan meninggalkan wadah tubuhnya
yang hancur di bumi. Pada akhirnya, semoga jiwa kita termasuk jiwa yang diridhai
Tuhan dan masuk ke tempat yang telah disediakan untuk bertemu dengan jiwa-jiwa
yang diridhai lainnya.
Wahai jiwa yang tenang!
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan
diridhai-Nya
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku
Dan masuklah ke alam surga-Ku