Selain kesenangan yang muncul dari nafsu-nafsu yang
melekat dengan penggunaan tubuh (epithumia) seperti makan, minum dan
seks. Ada juga ”kesenangan-kesenangan lain”, yaitu kesenangan murni jiwa. Ada
perbedaan antara kesenangan murni jiwa dengan kesenangan saat menggunakan tubuh
sebagai instrumen.
Bila orang hidup melulu mengikuti nafsu tubuh, maka
kenikmatan baginya adalah menumpuk harta benda, mendapatkan keuntungan
material, mendapat kepuasan seksual dan semacamnya. Mengapa? Karena dengan
harta benda ia bisa memenuhi hasratnya akan makan, minum, seks (menikah lagi)
dan apa saja yang sejenis dengan itu.
Orang yang hidup mengikuti hasrat harga diri ( thumos),
kenikmatan tertinggi adalah ketika ambisi-ambisinya tercapai dan mendapatkan
penghargaan serta nama besar. Sementara orang yang mencintai kebijaksanaan dan
kebenaran-kebenaran sejati, kenikmatan baginya tidak ditemukan dalam keuntungan
material, bukan juga pada soal harga diri dan reputasi. Kenikmatan pencinta
kebijaksanaan adalah pengetahuan akan hal-hal yang dalam dirinya sendiri benar,
baik dan indah.
Dari berbagai macam kenikmatan yang ada, ada
kenikmatan yang stabil dan murni yang hanya muncul dari aktifitas berpikir
–yaitu saat intelek mengkontemplasikan yang intelligible atau idea.
Kenikmatan ini berbeda dengan kenikmatan yang diperoleh binatang yang hanya
melihat ke bawah, menunduk dan sekedar lekat pada hal-hal yang selalu berubah.
Tunduk pada nafsu-nafsu makan, minum atau seks yang tak pernah puas, padahal
semua itu semu, sehingga orang seperti kehausan untuk selalu mencari yang
sejati dalam kesemuan, dengan akibat tak pernah puas, semakin terbenam dalam
lingkaran tanpa pernah bisa melongok ke atas (terjebak dalam fatamorgana).
Hidup yang baik dan membahagiakan selalu diiringi
kenikmatan. Namun bukan sembarang kenikmatan yang bersifat tak terbatas dan
selalu meminta lagi dan lagi. Melainkan sebuah kenikmatan yang sudah diberi
batas oleh rasio.
Ketika menganalisis sebuah fenomena muncullah rasa
nikmat (kesenangan, pleasure, hedone). Ada dua macam kenikmatan
sebagai efek terpenuhinya suatu kebutuhan yang berkenaan dengan tubuh. Saat
perut terisi, hal yang bersifat fisik ini ditemani oleh sebuah efek, rasa
nikmat. Sebaliknya, rasa sakit juga bukan karena kosongnya perut, melainkan
suatu efek yang menyertai perut yang kosong. Namun, kedua, ada jenis kenikmatan
lain yang tidak tergantung pada perubahan-perubahan fisiologis, yaitu rasa
nikmat dan rasa sakit yang berkenaan dengan jiwa. Terlepas dari soal-soal
fisiologis, saat jiwa cenderung pada sesuatu, orang bisa membayangkan dan
merasakan nikmat atau sakit disitu. Jadi, tanpa adanya hal-hal yang bersifat
fisis, kita bisa pula merasakan sakit atau nikmat. Dengan demikian, kenikmatan
sebenarnya lebih berkaitan dengan penilaian jiwa manusia daripada fenomenon
yang melulu fisik.
Dari situ, kenikmatan yang murni adalah semacam
efek yang menyertai saat kita mempersepsi objek yang sejati (intelligible).
Artinya, aktifitas rasional yang mengkontemplasikan objek sejati dengan
sendirinya membawa kenikmatan.
Di titik ini, munculnya kenikmatan sebenarnya tidak
lagi tergantung pada apa yang dirasakan jiwa, melainkan dari hal yang
dikontemplasikan itu sendiri. Hal yang sejati (idea, keadilan, keindahan)
dengan sendirinya membuat manusia senang, nikmat, puas. Sebaliknya, hal yang
jelek dapat membuat jiwa sakit.
Sejauh jiwa menjadi dorongan yang hadir di tiap
tataran diri manusia, pemuasan atas dorongan itu menyertakan kenikmatan pada
tiap tingkatan manifestasinya. Namun secara keseluruhan, kenikmatan sejati akan
dirasakan manakala ada harmoni dalam ”bagian” jiwa manusia, manakala rasio
menjadi guide bagi kenikmatan-kenikmatan terukur di tiap bagiannya.
Jiwa yang sudah tercerahkan akan mudah untuk mencerap
atau mencandra sesuatu di balik kenyataan, fenomena di balik yang maujud.
Mencari substansi atau memaknai hakekat dari setiap kejadian dan peristiwa. Di
samping memfungsikan mata fisik, seseorang juga dapat memfungsikan mata hatinya
(Al-Bashiroh) dengan baik. Dunia makna adalah tempat yang paling
disukainya, lebih dari dunia nyata tempat di mana dia hanya sekedar menjalankan
kehidupannya sebagai manusia bersama manusia-manusia yang lain. Dia sibuk
dengan permasalahan sebab akibat, kontinuitas, keabadian atau tata tertib alam
semesta dan segala yang berjalan di dalamnya. Menciptakan sebuah taman jiwa
dalam dirinya, bergembira dalam dunia ruhaniah. Semua aktifitas itu dia jaga
dengan baik sampai dia bertemu dengan orang-orang bisa diajaknya berbincang-bincang.
Karena bincang-bincang yang menyenangkan juga memberikan kebahagiaan.
-->
No comments:
Post a Comment