04 June 2010

Kebebasan dan Kesadaran untuk “Hidup”


Claude Levi-Strauss (Filsuf Strukturalis) pernah melakukan perdebatan panas dengan Jean Paul Sartre (Filsuf Eksistensialis) seputar topik hakikat kebebasan dan kesadaran manusia. Berdasarkan teorinya, Levi-Strauss mengkritik filsafat eksistensialisme yang dibawa Sartre.
Dalam pandangan Sartre dan kaum eksistensialis lainnya, manusia dipandang sebagai subjek yang otonom, yang secara fundamental bebas berbuat dan menentukan pilihan. Manusia merupakan makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Dengan kata lain, ia sangat mengagungkan kebebasan dan pilihan individual.
Namun Levi-Strauss menegaskan bahwa manusia tidak sebebas dan seotonom seperti bayangan Sartre. Ia memang mengakui manusia sebagai individu yang sadar akan dirinya dan mampu membuat pilihan secara bebas. Tapi, dibalik itu, ada ‘struktur’ tertentu yang tanpa disadarinya menentukan pilihan tersebut.
Maka, menurut dia, tugas utama ilmu pengetahuan adalah menggali struktur terdalam di balik keputusan tersebut. Dengan demikian, Levi-Strauss seperti mau meniadakan posisi manusia sebagai subjek dan menempatkan ‘struktur terdalam’ sebagai sentral –pemikiran yang bertentangan sama sekali dengan Sartre. Menurut Levi-Strauss, dalam kehidupan pola pikir kita sebetulnya dikendalikan oleh sebuah struktur yang ada dalam diri kita. 
Kita beraktifitas dikendalikan oleh konsep agama, latarbelakang pendidikan, adat atau tradisi, atau mungkin identitas atau jabatan yang kita sandang. Kita hampir tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang sebetulnya ingin kita lakukan dan tidak melakukan apa yang sebetulnya tidak ingin kita lakukan. 
Takut dikatakan sebagai orang yang berdosa, khawatir dikatakan sebagai orang yang tidak berpendidikan, khawatir dikucilkan dari masyarakat, tidak berbudaya atau mungkin kita akan bertingkah laku sebagai sosok yang berkuasa, akan menderita kalau kekuasaan itu lepas dari diri kita. Kekaguman yang terpaksa pada seorang tokoh, karena kalau tidak, khawatir berdosa, kualat dan sebagainya. 
Hal-hal seperti itulah yang kemudian memberi bentuk pada kehidupan kita baik dalam tataran tingkah laku, pola pikir maupun perkataan. Atau kalau menurut istilah saya, orang yang tidak menemukan jati diri, belum mengetahui hakekat dirinya sendiri.
Orang yang sak karepe dewe, emoh diatur, itulah mungkin pernyataan-pernyataan yang bisa dialamatkan pada kaum eksistensialis. Ingin melakukan apa yang memang ingin dia lakukan, dan tidak ingin melakukan sesuatu yang memang tidak ingin dia lakukan. Memberi warna yang pekat pada ke’aku’annya. Tidak ingin terbebani oleh norma-norma atau aturan-aturan, pemberontak, anti kemapanan atau mungkin anti sosial. Seseorang yang hidup tanpa pretensi apapun.
Keinginan untuk bebas dan tidak diganggu atau terikat oleh orang lain pada akhirnya juga mencapai suatu titik ekstrem pada diri seorang Sartre ketika berusia 12 tahun. Dia secara sadar melepaskan diri dari adanya ‘liyan’ teragung, Tuhan sendiri. Bagi Sartre ABG, Tuhan adalah figur yang suka menghukum, mahatahu, dan ada di mana-mana, sehingga mampu melongok ke setiap sudut-sudut relung hatinya yang diliputi rasa bersalah. Ini jelas memuakkan. “Aku membutuhkan seorang Pencipta Semesta, namun orang memberikan daku seorang bos nomor wahid.” Sartre menyebut gaya Tuhan ‘sang polisi’ ini sebagai ‘kekurangajaran yang keterlaluan’. Ia bercerita,
Corak resignation (moving away from others) ini membuat Sartre menganggap Tuhan mengganggu kebebasan (freedom) dan kedamaian sempurnanya (perfect serenity). Tuhan adalah liyan yang ikut campur urusan pribadi, mengungkit kesalahan-kesalahannya hingga ia tidak punya tempat untuk melarikan diri. Merasa muak, Sartre pun menolak Tuhan pada usia semuda itu. Kelak, pemikirannya ini akan ia kembangkan dan formulasikan dalam filsafat eksistensialis-ateistiknya: manusia sungguh-sungguh bebas dan, atas nama kebebasan, Tuhan harus tidak ada karena adanya Tuhan menghambat kebebasan manusia!
Menyukai yang baik-baik dengan keadaan terpaksa kita akan terjerumus dalam strukturalisme. Jika bebas dan tak ada kendali kita akan memasuki pintu eksistensialisme. Pertarungan seperti di atas merupakan sesuatu yang jamak di kancah kajian filsafat.
Dalam realitas kehidupan, kita bertemu dengan banyak agama, ajaran filsafat maupun dengan ideologi yang ditujukan untuk memberikan tuntunan kepada kita dalam mengarungi kehidupan. Dalam pengarungan hidup itu kita tidak bisa melepaskan diri dari pertarungan nilai-nilai di atas.
Walaupun hal di atas menawarkan diri dan bertebaran, kita tetap tidak bisa mengetahui yang “sebenarnya” tentang diri kita dan dunia yang ada di sekeliling. Untuk itulah kita harus mengarusutamakan kesadaran dalam kehidupan, memahami sebanyak-banyaknya diri kita dan dunia. Agama, filsafat, ataupun ideologi tidak berperan banyak dalam hidup tanpa adanya kesadaran. Karena pengetahuan atau eksistensi tidak dapat benar-benar hadir. Semua disaring, semua ditafsir: kita tidak dapat melangkah keluar dari persepsi indra dan bahasa manusiawi. Jadi kalau ingin “hidup” kita harus memperluas kesadaran, memperluas persepsi indera dan bahasa manusiawi.

No comments:

Post a Comment