14 January 2010

Pembacaan al-Quran


Kebahagiaan dalam “Membaca” al-Quran

Bagi umat Islam, al-Quran adalah inti sari dari semua pengetahuan. Pengetahuan ini terkandung di dalam al-Quran dalam bentuk benih dan prinsip. Al-Quran memuat prinsip dari segala pengetahuan, termasuk kosmologi dan pengetahuan tentang alam semesta. Al-Quran bukan hanya sumber pengetahuan metafisis dan religius, melainkan juga sumber segala pengetahuan. Al-Quran adalah pedoman dan sekaligus kerangka segala kegiatan intelektual Islam.

Al-Quran diturunkan bagi petani sederhana di pelosok dusun maupun ahli metafisika di universitas yang berdiri megah di tengah megapolitan. Al-Quran mengandung berbagai tingkat pengertian dan berlapis makna bagi semua jenis pembacanya. Karena itu, orang harus mempersiapkan diri agar dapat memahami arti al-Quran. Mempersiapkan diri dalam pengertian seseorang harus mempunyai perangkat lunak (pengetahuan yang luas) yang dibutuhkan untuk memahami informasi-informasi yang disampaikan al-Quran.

Ketika al-Quran membahas tentang waktu (wa al-‘asr), sebelum membacanya, ada baiknya kita juga sudah punya bekal yang cukup mengenai konsep waktu. Bisa dari sudut pandang filsafat, budaya, sastra atau yang lainnya. Ketika membahas tentang keberadaan Allah (huwa al-awwalu wa al-akhiru) kita akan lebih punya wacana yang menarik jika sudah membaca kajian filsafat tentang asal muasal segala sesuatu atau membaca kajian tasawuf tentang Dzat Allah. Demikian juga ketika mencermati tema-tema lain dalam al-Quran seperti relatifitas, ekonomi, pendidikan, wanita, tanaman, logam, ombak, simetri, hujan, kabut, kaca, dan sebagainya.

Bagi orang yang suka berpikir, memahami al-Quran merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan, karena kata-katanya penuh makna dan bernas. Ketika hati sedang gundah gulana bukalah al-Quran secara acak dan temukan poin-poin tertentu kemudin lihat konteks turun dan hadits-hadits Nabi SAW yang berkenaan dengan ayat-ayat itu maka kita dapat merasakan kesenangan tersebut dan sejenak melupakan kerepotan-kerepotan hidup yang sering tidak memberi kesempatan bagi jiwa kita untuk istirahat. Banyak tema-tema yang menarik dan dapat menjadi sumber inspirasi dalam mengarungi kehidupan.

Keasyikan, itulah yang saya rasakan ketika “membaca” al-Quran. Maka dari itu, kemanapun pergi di tas saya selalu ada kitab tafsir kecil Sofwah al-Bayan li Ma’ani al-Quran al-Karim yang di dalamnya berisi tafsir, hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat sekaligus asbab al-nuzulnya. Tak lupa juga terjemah al-Quran Al-‘Alim Edisi Ilmu Pengetahuan.

Untuk sampai dalam kondisi seperti itu, pertama kali saya berusaha membebaskan al-Quran dari berbagai kesan yang profan seperti identiknya al-Quran dengan tradisi tertentu, budaya tertentu atau klaim otoritas golongan tertentu, seolah al-Quran adalah milik saya sendiri. Karena kalau kita mengidentikkan al-Quran dengan kesan tertentu maka jarak kita dengan al-Quran akan terasa jauh, kita tidak merasa ikut memiliki. Seterusnya, interaksi kita dengan al-Quran hanya sebatas ritualitas semata.

Kesulitan dalam “Membaca” al-Quran

Membaca, atau lebih dalamnya lagi mengkaji al-Quran pada dasarnya tidak serta merta bisa dilakukan oleh semua orang. Tidak otomatis seseorang yang membeli al-Quran di toko buku bisa segera membacanya di rumah dan mengambil pelajaran darinya. Karena banyak yang harus dipersiapkan oleh seseorang yang ingin “membaca” al-Quran. Menurut Jalaluddin al-Suyuti dalam kitabnya Al-Itqan ada 80 kategori ilmu pendukung apabila seseorang ingin “membaca” al-Quran. Di mana masing-masing kategori tersebut untuk mempelajarinya dibutuhkan pengamatan-pengamatan yang mendalam.

Selain itu seorang pembaca juga dihadapkan dengan berbagai macam model dan system penafsiran dari berbagai aliran keagamaan yang berkembang di dunia Islam, sebagaimana bisa dibaca dalam kitab Madzahib al-Tafsir al-Islami karangan Ignas Goldziher. Belum lagi bila dihadapkan dengan karya kontemporer tentang kajian al-Quran semisal tulisan Mohammed Arkoun dengan “Berbagai Pembacaan Al-Quran” nya, Fazlur Rahman dengan “Double Movement” nya, Nasr Hamid Abu Zaid dengan “Tekstualitas Al-Quran” nya, Muhammad Shahrur dengan “Hermeneutika Al-Quran Kontemporer” nya serta masih banyak lagi yang lainnya.

Keluasan isi al-Quran, kadang juga dibatasi oleh kajian secara parsial. Umat Islam disibukkan oleh satu tema al-Quran sedangkan tema-tema yang lain cenderung terlupakan. Contohnya, hampir semua energi ulama dan umat Islam dipergunakan untuk mengkaji ayat-ayat hukum yang jumlahnya seperlima. Sebaliknya, ayat-ayat kauniyah meskipun berjumlah sangat banyak, terabaikan. Sains sebagai perwujudan normative dari ayat-ayat kauniyah seolah-olah tidak terkait dan tidak mengantar orang Islam ke surga atau neraka sehingga tidak dibahas, baik di wilayah keilmuan maupun pengajian-pengajian.

Atau mungkin tentang pelestarian alam. Al-Quran sangat menganjurkan pemeluknya untuk menjaga dan melestarikan alam. Menurut al-Quran, alam dan segala isinya diciptakan Tuhan agar dipergunakan manusia secara bertanggung jawab. Al-Quran mengajarkan bahwa manusia wajib menjaga keseimbangan alam. Semua makhluk ciptaann Tuhan termasuk hewan, tumbuhan dan benda-benda mati berdzikir, memuja-muji Allah, Tuhan Semesta Alam. Tetapi faktanya umat Islam kurang greget (bersemangat) dalam usaha melestarikan alam.

Di sisi lain, banyak kalangan yang membenci al-Quran tidak memahami kondisi ini. Mereka hanya membaca terjemahan al-Quran dan menemukan ayat-ayat yang dianggap saling berlawanan atau mungkin bertentangan dengan akal sehat. Padahal persoalannya tidaklah sesederhana itu. Dengan berbekal pembacaan seperti itu mereka menambah rumitnya permasalahan dengan mengaburkan pemahaman umat Islam awam dengan menunjukkan bahwa di dalam al-Quran banyak sekali terdapat kekeliruan dan hal-hal yang tidak masuk akal. Sebagaimana yang sekarang marak dalam situs-situs jahat mereka.

Bagi orang awam tentu saja kondisi-kondisi di atas sangat menyulitkan untuk membuka akses mereka terhadap al-Quran. Bagi mereka membaca al-Quran dengan benar sesuai dengan tajwidnya saja sudah membutuhkan usaha yang ekstra keras. Berbagai metode sudah diciptakan hanya untuk bisa membacanya dengan benar.

Dari sini bisa diambil pengertian bahwa bagi umat Islam yang masih awam, pemahaman terhadap al-Quran sangat tergantung kepada pengajaran ulama. Jika tidak karena inisiatif ulama untuk mengajar umatnya yang awam mengenai al-Quran selama itu pula akses al-Quran terhadap mereka terputus. Umat hanya mampu membaca dalam pengertian yang sederhana. Selanjutnya, kondisi ini menyebabkan mereka kesulitan untuk menemukan persoalan-persoalan yang masih tak terpikir dan luasnya hal yang tak dipikirkan. Yang berkaitan dengan kebahagiaan mereka di dunia lebih-lebih di akhirat. Yang memberitahukan mereka tentang proyek jangka panjang, visi misi yang jelas dan kongkrit yang bisa dijadikan pedoman dalam mengarungi kerasnya kehidupan. Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment