Amenangi
zaman edan
Ewuh aya ing pembudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman milik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersaning Allah
Begja begjaning kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada
Ewuh aya ing pembudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman milik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersaning Allah
Begja begjaning kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada
(Ronggowarsito)
Waspada di sini bukanlah kesadaran diri menurut rasionalisme
Barat yang mendasarkan diri pada pikiran rasional murni, melainkan kesadaran
diri dalam sebuah pancaran religius hubungan antara Pencipta dan makhluknya,
suatu kesadaran yang membuat manusia eling atau ingat akan eksistensi dirinya
dan kenyataan sosial di luar dirinya.
Dalam tradisi sastra Jawa kuno dapat ditemukan konsep
kesadaran yang sangat sensitif terhadap krisis-krisis sosial. Dan seperti
halnya dalam peradaban lain, masyarakat Jawa kuno juga memiliki ‘orang-orang
bijaksana’nya sendiri, yang dengan pendekatan khususnya membantu masyarakatnya
mereorientasikan diri pada nilai-nilai kulturalnya. Acuan mereka adalah tradisi
dan stabilitas nilai-nilai yang sudah dihayati secara turun temurun.
Kehidupan sosial senantiasa berubah, kondisi lama bergerak
menuju kondisi baru. Dalam kenyataan, apa yang disiratkan dalam puisi Zaman
Edan itulah yang sebenarnya terjadi. Peralihan ini menimbulkan kebingungan
moral atau kontradiksi kehidupan. Intuisi estetis penyair Jawa ini menangkap
fenomena krisis secara lebih utuh, yang meliputi krisis identitas dan krisis
makna. Sebuah krisis yang memunculkan kesenjangan dan menghasilkan proses
dehumanisasi.
Zaman Edan di sini dihubungkan dengan pergeseran nilai-nilai,
maka tersirat bahwa pemeliharaan tradisi merupakan sebuah kondisi dari Zaman
Waras. Banyak muncul kesenjangan antara konsep kehidupan dan kenyataan
sehari-hari. Penipuan-penipuan diri secara tak sadar merupakan hasil dari
kehilangan kesadaran. Kalau ‘keedanan’ dapat didefinisikan sebagai hilangnya
kontrol kesadaran diri, sebenarnya hal ini sudah luas menjangkiti kehidupan
bermasyarakat.
Semua dipaksa berkompromi dengan logika pasar dan logika
birokrasi. Padahal berkompromi bukanlah sebuah rekonsiliasi yang mengintegrasikan
proses-proses interaksi modern dalam sebuah penghayatan batin, melainkan sebuah
cara berkelit untuk bertahan hidup.
Kembali kepada puisi di atas, dilukiskan di sana bahwa setiap
orang mengalami kebingungan, mengalami disorientasi nilai-nilai, maka ngedan
adalah cara adaptasi untuk bertahan hidup. Ngedan bukan sekedar perilaku,
melainkan juga semacam cara berpikir yang timbul karena desakan objektif
kebutuhan lahiriah, taruhlah kondisi sosial, kebutuhan ekonomi, atau situasi
politik yang menghimpit individu pada tuntutan untuk bertahan hidup.
Perilaku ngedan ini akan memaksa individu untuk bertindak,
sampai akhirnya diterima lingkungan dengan sukarela sebagai syarat untuk
bertahan hidup. Bahkan lebih jauh akan raib ke alam bawah sadar dan membuatnya
‘lupa’. Lupa pada dirinya dan lupa pada kehormatannya. Hanya untuk sekedar
bertahan hidup dia menghalalkan segala cara. Hanya untuk mendapatkan sedikit
‘sesuatu’ dia menjilati kaki atasannya.
Menurut penyair Zaman Edan, waspada sebenarnya mengacu kepada
kemampuan untuk membentuk kesadaran diri dari bentuk-bentuk kesadaran lain yang
masuk kategori ngedan. Edan tetaplah edan dan tentu saja berbeda dengan waras.
Ketegasan ini, satu paket dengan resikonya, hanya mungkin dan mampu dilakukan
oleh seseorang yang memahami dan menarik diri dari ‘keedanan’.
Diagnosis mengenai ‘keedanan’ disudahi dengan sebuah tindakan
introvert, mengadakan kesadaran dan kewaspadaan diri. Akar masalah dikembalikan
pada diri, dunia batiniah, sehingga diharapkan setelah memperbaiki diri maka
seseorang akan lebih eling dan waspada dalam memperbaiki lingkungan dan
masyarakatnya.