Secara epistemologis
dalam tradisi Barat keilmuan terbagi dalam empat aliran mainstream yaitu rasionalisme,
empirisisme, positivisme dan post positivisme. Demikian juga dalam tradisi
Islam. Selain pembagian Abid al-Jabiri ke dalam nalar Bayani, Burhani dan
Irfani juga ada pembagian yang banyak digunakan dalam tradisi tasawuf, yaitu ‘Ilmu
al-Yaqin, ‘Ayn al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin.
Menurut al-Sha’rani
dalam kitab al-Kibrit al-Ahmar dan 'Abdullah ibnu Abi Bakr al-'Idrus dalam kitabnya al-Kibrit al-Ahmar wa al-Iksir al-Akbar ‘Ilmu al-Yaqin adalah pengetahuan yang bersifat eksplanatif
informative deduktif, mencapai kebenaran dengan jalan memperbanyak data. Adapun‘Ayn
al-Yaqin adalah pengetahuan yang bersifat logis argumentative induktif, mencapai
kebenaran dengan jalan memperbanyak pengalaman empiris di lapangan (demonstrative).
Sedangkan Haqq al-Yaqin adalah pengetahuan yang bersifat pengalaman langsung (bārizan, na’t al-‘ayan), tanpa metode,
media dan perantara. Kedua
pengetahuan yang pertama menyusun metodenya masing-masing dalam mengembangkan
keilmuannya.
Al-Qushairy dalam al-Risalahnya
memasukkan kedua pengetahuan yang disebut pertama ke dalam wilayah ‘aqli/nadzari
(diskursif). Kebenaran keduanya bersifat temporal dan spekulatif. Sedangkan
yang ketiga masuk ke dalam wilayah wahbi/kasyfi atau pengetahuan tanpa metode,
media dan perantara, kebenarannya
bersifat mutlak.
Tradisi akademis Barat
memahami pengetahuan yang ketiga ini bersifat intuitif imajinatif teofanik
meskipun faktanya tidak identik dengan konsep mereka yang positivistik. Sartre,
seorang tokoh Eksistensialis, dalam bukunya The Psychology of Imagination,
mengilustrasikan pengetahuan seperti ini ibarat orang yang tidak bisa ikut merasakan
sakit yang diderita oleh orang lain, hanya terhenti pada rasa ikut merasakan
belaka, sekedar berempati. Dan ini bukanlah perasaan otentik yang dirasakan
oleh si sakit. Dibutuhkan pengetahuan yang bersifat intuitif dan imajinatif untuk
bisa masuk ke dalam perasaan otentik si sakit.
Tanpa pengetahuan ini
manusia akan terpenjara oleh dirinya sendiri dan tidak mampu merasakan sesuatu
yang berada di luar dirinya. Lewat pengetahuan intuitif dan imajinatif lah
akhirnya manusia akan mempunyai kesadaran dan mengalami kebebasan.
Dari ketiga model
pengetahuan di atas, pengetahuan Haqq al-Yaqin merupakan pengetahuan para Nabi,
para sahabat Nabi dan orang-orang yang dekat dengan Allah SWT. Lebih
kongkritnya ikuti kisah berikut ini:
Diriwayatkan oleh
al-Suyuti dalam al-Durr al-Manthur dan Ibnu katsir dalam tafsirnya bahwa Nabi Muhammad
SAW pernah bertanya kepada Zaid ibn Haritsah, “Apa tanda mekarnya bunga-bungaan
di taman imanmu? Dapatkah engkau menjelaskan kepadaku tandanya?” Dia menjawab, “Sejak
aku kehilangan gairah akan dunia ini, hari-hariku dihabiskan tanpa air dan
malamku tanpa tidur. Aku telah melewati hari-hari dan malam-malam ini bagaikan
sebuah tombak yang telah menembus perisai. Aku telah mencapai rahasia kepastian
dalam pengetahuan melalui pengalaman langsung. Dalam momen kehidupan pada
tingkat kesadaran itu, aku mengamati bahwa di sana waktu tidak memiliki
keberadaan. Satu jam sama dengan satu abad. Semua yang tampak merupakan
manifestasi yang Esa dan Tunggal. Siang dan malam tidak berlaku di sana. Yang
ada hanya keabadiaan tanpa awal dan akhir. Itu sebuah dunia, yang melampaui
horizon pemikiran terbatas manusia, di mana tak ada ruang dan waktu. Ketika
momen ini pertama bangkit, aku merasa seakan-akan melihat singgasana Tuhanku,
dan seolah-olah aku melihat para penghuni surga yang saling mengunjungi dan
penghuni neraka yang saling membenci.”
Atau yang ini:
Diriwayatkan dari Imam
Bukhari tentang ibnu Abbas: Pernah suatu hari Umar mengajakku dalam suatu forum
bersama para veteran perang Badar, dan kelihatannya sebagian di antara mereka
tidak suka dengan kehadiranku yang masih kanak-kanak. Dia berkata, “Mengapa kau
masukkan anak ini bersama kami padahal kami juga punya anak-anak seumuran dia?”
Maka Umar berkata, “Sesungguhnya kalian sudah tahu siapa dia.”
Pernah suatu hari Umar
memanggil mereka dan juga mengajakku sebagai anak kecil. Aku sama sekali tidak
mengira kalau Umar mengajakku hanya untuk dipamerkan kepada mereka. Umar
bertanya kepada mereka, “Apa pendapat kalian tentang firman Allah ‘azza wa jalla
dalam surah al-Nasr?”
1. “Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”,
2. “Dan
kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong”,
3. “Maka
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Penerima taubat”.
Sebagian dari mereka
menjawab, “Kita diperintahkan untuk memuji Allah, memohon ampun kepada-Nya
ketika ditolong dan dimenangkan dari musuh-musuh kita.” Dan sebagian dari
mereka terdiam tidak berkata sepatah katapun. Kemudian Umar menoleh dan
bertanya kepadaku, “Apakah kamu juga berpendapat demikian hai Ibnu Abbas?” Aku
menjawab, “Tidak” Dia bertanya lagi, “Lalu apa pendapatmu?” Aku berkata, “Itu
adalah kabar tentang ajal Rasulullah SAW yang aku sampaikan kepada beliau,
wahai Rasulullah itu adalah tanda-tanda ajalmu”. Umar berkata, “Aku tidak
mengetahui tentang hal itu kecuali apa yang telah engkau sampaikan”.
Wallahu a’lam bi al-sawab