Merunut sejarah umat Islam, bidang pendidikan mencapai
abad keemasannya pada masa dinasti Abbasiyah dengan berdirinya lembaga Bayt
al-Hikmah di Baghdad. Akan tetapi setelah kejatuhan Baghdad oleh bangsa Mongol umat
Islam mengalami kehancuran ekonomi, budaya, pendidikan, keilmuan dan perpecahan wilayah. Kemudian para penuntut ilmu dari Barat membawa ilmu
dari wilayah umat Islam ke negeri asal mereka dan memodifikasi sesuai dengan tradisi
dan budaya mereka. Di sisi lain, umat Islam mengalami inferioritas, kehilangan
identitas dan terputus dari sejarahnya sendiri.
Perkembangan selanjutnya, untuk mengejar ketertinggalan
tersebut umat Islam akhirnya mengadopsi mentah-mentah tradisi keilmuan Barat
tersebut. Berbagai macam teori pendidikan digagas dan diajarkan di perguruan
tinggi. Berbagai kurikulum disusun berdasarkan teori tersebut dan diujicobakan
di lapangan. Perbaikan dan perdebatan berlangsung untuk terus memperbaiki
sistem pendidikan yang ada. Metode pembelajaran pun berganti-ganti untuk
mencapai hasil yang maksimal dalam pendidikan. Tetapi tetap saja masalah
bermunculan dan banyak hal yang tidak tercover serta luput dari perhatian dalam
metode pembelajaran yang ada.
Kalau kita amati pendidikan Islam sekarang di negara kita
mulai tingkat RA, MI, MTs, MA dan Perguruan Tinggi Islam meskipun lembaga beridentitas
Islam dan materi yang diajarkan adalah keislaman akan tetapi kurikulum dan
metode pembelajaran yang digunakan adalah positivistik khas Barat yaitu semua harus terukur
dengan angka. Misalnya ketika seorang murid belajar akhlak maka tolok ukur
keberhasilannya adalah nilai 9 atau 10 untuk mata pelajaran tersebut bukan
pengamalan akhlak pada kehidupan sehari-hari.
Padahal kalau mau menengok kembali tradisi pembelajaran
umat Islam sendiri kita akan menemukan beberapa metode pembelajaran yang telah
mengantarkan umat ini pada prestasi keilmuan yang sangat mengagumkan. Di antara
metode pembelajaran tersebut dijaga dan dipraktekkan oleh mereka yang bergelut
dalam bidang tasawuf. Ada beberapa point yang khas dan tidak ditemukan pada
metode pembelajaran seperti yang dikembangkan sekarang. Di antaranya adalah apa
yang ada di bawah ini.
Menuntut Ilmu adalah Ibadah
Dalam dunia tasawuf menuntut ilmu adalah masalah ibadah.
Motivasi selain ibadah dianggap akan menghalangi nūr (substansi) ilmu
untuk masuk ke dalam batin murid. Sehingga yang akan diperoleh hanya bentuk
formalitasnya belaka. Bagi para sufi ilmu bukan hanya sekedar permasalahan
hafalan dan penguasaan teori-teori belaka melainkan pahala, keberkahan dan
kemanfaatan sekaligus.
Mengamalkan sebelum Mengajarkan Ilmu
Dalam lembaga pendidikan formal kompetensi mengajar
didasarkan pada selembar ijazah. Permasalahan apakah yang bersangkutan sudah
mengamalkan ilmunya atau belum bukanlah persoalan. Akan tetapi bagi guru sufi,
sebelum mengajarkan ilmu maka seseorang harus mengamalkan dulu ilmu tersebut
dalam kehidupannya. Karena orang yang mengajar tapi belum mengamalkan ilmu yang
diajarkan termasuk sebuah kesalahan besar. Mengajar, bagi mereka juga merupakan
sebentuk ibadah.
Metode Pembelajaran Sesuai dengan Bakat dan Potensi
Murid.
Mungkin kita sering mendengar kisah seorang murid yang
jarang belajar di kelas. Bahkan sering diajak kemana-mana oleh gurunya atau
disuruh menggembala ternak, bekerja di sawah dan sebagainya. Tetapi ketika
pulang ke kampungnya malah menjadi orang yang berilmu dan punya nilai lebih
dari teman-temannya yang rajin belajar. Kita mungkin beranggapan bahwa sang
guru tersebut punya daya linuwih, padahal sebetulnya tidaklah seperti
itu.
Guru tersebut sebenarnya hanya memperhatikan bakat dan
potensi-masing-masing muridnya yang antara satu dengan yang lainnya
berbeda-beda. Melihat perbedaan tersebut sang guru tidak serta merta mengajar
dengan metode yang sama, yaitu hanya mengajar di satu ruangan untuk semua murid.
Guru menggunakan metode yang berbeda-beda untuk mendidik muridnya sesuai dengan
potensi masing-masing dengan menggunakan teknik tertentu yang kelak
memungkinkan muridnya mengenal dirinya sendiri dan menguasai keterampilan
sesuai bakat dan potensinya.
Pembelajaran Berbasis Pengalaman
Seorang guru sufi dalam mengajarkan ilmu atau menuntun untuk mendapatkan sebuah pencerahan spiritual sering mengajak muridnya
berjalan-jalan ke padang pasir, ke pasar atau ke tempat-tempat lainnya. Mengajak
muridnya untuk melihat kejadian-kejadian yang ditemui kemudian mendiskusikannya
bersama mereka. Kadang guru juga meminta murid untuk melakukan sesuatu yang
mungkin bertentangan dengan logika berpikir mereka. Setelah selesai baru guru
memberitahu maksud di balik perintahnya atau menjelaskan hikmah dari pekerjaan
tersebut.
Totalitas dalam Belajar
Dalam tradisi sufi totalitas dan keluruhan hati serta
pikiran merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan mendapatkan ilmu dan
kemanfaatannya. Banyak kita baca kisah-kisah yang menceritakan seorang murid
yang kurang mampu di kelas akan tetapi akhirnya menjadi sosok yang berilmu
karena totalitas dan niatnya yang tulus dalam menuntut ilmu.
Totalitas dan niat yang tulus akan membuat seorang murid peka dan
sensitif terhadap rahasia-rahasia tersembunyi sebuah ilmu yang tidak bisa
dilihat oleh orang yang hanya mementingkan bentuk formalnya saja. Selain itu, guru
yang memahami ketulusan murid juga akan punya totalitas dalam memberikan ilmunya
kepada murid. Karena pemahaman yang mendalam sebenarnya terletak pada murid
bukan pada guru.
Hormat dan Patuh kepada Guru
Seorang murid wajib menghormati dan mematuhi gurunya
meskipun bisa jadi secara spiritual murid lebih tinggi dari gurunya. Setiap
orang yang mengenal Allah (‘ārif billāh) harus mematuhi didikan dan
gemblengan (tarbiyah) seorang guru -baik yang masih hidup atau sudah
wafat- selama tidak bertentangan dengan hukum syariat (al-ahkām al-mashrū’ah).
Meskipun dalam persoalan sepele yang tidak ada sangkut pautnya dengan syariat. Karena
hal itu merupakan kaidah kesopanan yang paling mendasar dalam hubungan guru dan
murid.
Permasalahannya bukan masalah benar dan keliru tentang
suatu pendapat tetapi yang ditekankan adalah kepatuhan dalam rangka mencari
ridha guru. Karena ketika guru ridha maka doa untuk keberkahan dan kemanfaatan
ilmu untuk muridnya akan deras mengalir.
Demikianlah beberapa metode pembelajaran dari berbagai literatur
tasawuf yang ada. Tentunya sangat berbeda dengan yang biasa ada di lembaga
pendidikan formal. Meskipun tidak didasarkan pada epistemologi keilmuan yang
menjadi syarat mutlak dalam pengembangan ilmu di dunia modern metode tersebut
telah terbukti melahirkan tokoh-tokoh di bidang keilmuan yang diakui oleh
dunia. Karya-karya monumental yang dikaji baik di dunia timur maupun barat
sampai hari ini nota bene adalah hasil dari metode pembelajaran
tersebut.
Wallāhu a’lam..