Sudah lama saya mengamati dan memikirkan beberapa masalah
terkait dengan sikap seseorang dalam menghadapi kehidupan. Pertama, saya melihat
ada seseorang yang enjoy dalam menjalaninya. Sangat menikmati
setiap detik kehidupannya dalam kegembiraan. Menikmati pekerjaan dan sangat
detail dalam memenuhi macam kebutuhan sehari-hari. Peduli pada menu makanan, style
pakaian, perkembangan model kendaraan, trend perhiasan, model gadget dan
lain-lain. Tertarik pada pesta dan acara-acara seremonial. Larut dalam gosip
selebritis dan konflik politik di media massa.
Kedua, saya juga melihat ada orang yang sepertinya tidak
menemukan kesenangan pada hal-hal di atas. Tingkah lakunya seperti orang gelisah. Kalau
diajak bicara sering tidak nyambung. Pandangannya kosong, dan hampa. Punya
kecenderungan menyendiri dan menarik diri dari pergaulan. Jika menemukan tipe
yang kedua ini mungkin kita akan mengatakannya sebagai orang yang sedang stres,
ngengleng atau sedang mengalami depresi.
Tetapi belum tentu juga sih, bisa jadi dia sedang
berada di alam lain yang levelnya lebih tinggi dari kita. Bisa jadi juga dia
punya cara pandang terhadap kehidupan yang berbeda. Cara pandang
yang unik terhadap fenomena-fenomena kehidupan di sekitarnya. Seperti
belum mendapat kepuasan terhadap hal-hal yang bersifat material. Selalu
penasaran dan mempermasalahkan semua kejadian di sepanjang pergantian siang dan
malam (fī ikhtilāf al-layli wa al-nahār). Tidak menemukan kesenangan
terhadap ilmu-ilmu yang bersifat eksoteris. Selalu ingin lebih, lebih dan
lebih...
Memang, terkait dengan orang yang kedua, di alam fenomenal tempat kita hidup ini, wujud
dalam hakikat metafisiknya tidak dapat dipersepsi sebagaimana realitasnya. Fenomena
tidak dapat dipersepsi oleh orang yang sedang tidur dan bermimpi mengenainya.
Dunia ini adalah ilusi; ia tidak memiliki eksistensi hakiki. Merujuk kepada
perkataan populer yang sering dinisbatkan kepada Sayyiduna Ali ibnu Abi Thalib,
“Semua manusia tertidur (di dunia ini), setelah mati barulah mereka terbangun”,
memberi pemahaman pada kita bahwa apapun yang dipersepsi seseorang di dunia ini
sama saja dengan mimpi yang tampak pada orang yang sedang tidur. Sedangkan
‘mati’ sejatinya bukanlah kejadian biologis. Ia adalah kejadian spiritual yang
memaksa tindakan manusia untuk membuang belenggu indra dan nalarnya (reason),
melampaui dinding-dinding (alam) fenomenal dan menerawang jauh ke balik
benda-benda fenomenal.
Apakah kiranya yang manusia lihat manakala dia bangun
dari tidur fenomenalnya, membuka mata sejatinya dan menatap sekelilingnya? Saat
itu, alam macam apakah yang akan dia amati? Gambaran alam yang dia amati dalam
berbagai pengalaman mistisnya akan menjelaskan dan mendedahkan susunan
metafisik-ontologisnya kepada kita. Yang mampu melakukannya adalah manusia yang
telah mencapai misteri terdalam dari kehidupan.
Mereka adalah para manusia visioner. Secara alami mereka
cenderung melihat visi-visi yang berada di luar jangkauan manusia biasa. Bagaimanapun,
hal ini adalah pemahaman terdalam mengenai situasi yang ada, dan kebanyakan
orang tidak menjangkaunya lantaran pada galibnya mereka percaya bahwa alam
fenomenal adalah sesuatu yang kukuh secara material; mereka tidak menghayati
sifat simbolis alam fenomenal ini.
Mayoritas orang hidup menempel dan meringkuk di tingkat wujud
paling rendah, yakni (alam) benda-benda indriawi. Itulah satu-satunya alam
eksistensi dalam kesadaran suram mereka. Baginya hanya tingkat wujud paling rendah ini
-karena bisa diraba dan digenggam- yang nyata. Dan bahkan di
tingkat ini, tidak pernah terpikir oleh mereka untuk menafsirkan bentuk-bentuk
semua benda yang ada di sekeliling. Sesungguhnya mereka memang sedang tertidur.
Alam Citra sebenarnya senantiasa ada dan setiap saat
mempengaruhi kesadaran manusia. Tetapi, manusia itu sendiri biasanya tidak
menyadarinya di kala terjaga, lantaran pada saat itu benaknya terhalangi dan
terganggu oleh gaya-gaya material atau simbol. Medan imajinasi membutuhkan
jenis pengetahuan berbeda yang hanya dengan itulah manusia dapat memahami apa
yang dimaksud melalui bentuk partikular itu.
Keadaan wujud duniawi adalah jalan mayoritas manusia
dalam keadaan alamiah. Ia dicirikan dengan fakta bahwa manusia, dalam keadaan
alamiahnya, sepenuhnya berada di bawah ayunan tubuhnya dan bahwa aktivitas
benaknya dirintangi susunan fisik organ-organ jasmaninya. Dalam kondisi ini,
sekalipun dia berupaya memahami sesuatu dan menangkap hakikatnya, objek itu
tidak akan bisa tampak pada benak kecuali dalam deformasi yang dahsyat. Inilah
keadaan ketika manusia seutuhnya dihijab dari hakikat esensial sesuatu. Padahal
Intelek Murni (‘aql mujarrad) berfungsi pada tingkat ketika aktivitasnya
tidak bisa dirintangi oleh semua hal yang bersifat jasmani dan fisik. Ini pula
kenapa mereka sebagai manusia visioner meskipun kadang secara fisik menderita
tetapi secara spiritual mereka bahagia. Wallahu a’lam