“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (Al-Baqarah: 155)
Bisa saja seseorang
mengajarkan materi tentang sabar setiap hari tetapi belum tentu dia bisa
menjalani ketika musibah menimpanya. Karena teori dan praktik adalah dua hal
yang berbeda. Teori bisa dipelajari di sekolah formal sedangkan praktik hanya
bisa dilakukan di sekolah kehidupan. Bisa jadi seseorang lulus belajar dari
ujian sekolah formal tetapi belum tentu lulus dari ujian sekolah
kehidupan.
Ujian sekolah kehidupan atau musibah merupakan alat
ukur untuk menentukan siapa di antara hamba Allah yang punya kualitas kesabaran
dan yang tidak. Allah tidak bertujuan buruk dalam menimpakan musibah ini kepada
hamba-Nya dan tidak akan menyia-nyiakan keimanan mereka. Dalam ayat di atas
Allah berfirman bahwa Dia mesti menguji hamba-Nya demi mencari tahu siapa yang
kata-katanya bisa dipercaya dan siapa yang suka berdusta tentang laku kesabaran
ini. Justru ketika hamba-Nya yang beriman tidak diuji dengan musibah atau hanya
mengalami kehidupan yang tenang dan senang kesabarannya masih belum terbukti
dan masih bisa diragukan.
Bentuk ujian dari Allah
itu bermacam-macam. Pertama, Allah akan menguji hamba-Nya dengan sedikit
rasa takut. Rasa takut yang menelusup di hati bisa disebabkan oleh musuh atau
kejadian-kejadian yang mengancam kehidupannya. Dalam pergaulan seseorang tidak
mungkin bisa menghindar dari gesekan kepentingan dengan sesama atau mungkin saja dia
melakukan sebuah kesalahan tanpa sengaja yang merugikan orang lain. Jika rasa
takut seperti ini tidak segera diatasi lama kelamaan akan mengganggu kondisi
kejiwaan seseorang (paranoid).
Kedua dengan sedikit rasa
lapar. Manusia tidak selalu berada di atas. Suatu saat dia bisa mengalami
krisis dan berada di bawah. Dia mengalami keterpurukan dan kesulitan finansial yang menyebabkannya
tidak mampu menghidupi atau memberi makan kepada dirinya sendiri dan
keluarganya. Kondisi yang demikian bagi sebagian orang bisa mendorongnya untuk
berbuat nekat atau melakukan hal-hal yang dilarang agama.
Ketiga, berkurangnya harta
dalam berbagai bentuknya. Seperti kerugian yang disebabkan oleh bencana alam
yang tak terduga, hutang yang mencekik, kerugian perdagangan, kehilangan harta
maupun perampasan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan sebagainya. Untuk
kekurangan atau kelaparan dirinya mungkin seseorang masih bisa bertahan. Tetapi
belum tentu dia bisa bertahan melihat kekurangan dan kelaparan orang-orang yang
disayanginya. Melihat isterinya yang tidak pernah berganti pakaian atau melihat
anak-anaknya yang kebutuhan gizinya tidak tercukupi bisa jadi akan memunculkan
pikiran-pikiran jahat di dalam benaknya.
Di samping itu, yang keempat,
manusia juga diuji dengan gangguan kesehatan dan kematian. Kematian orang-orang
yang dicintainya, anak-anak, saudara, sahabat atau anggota keluarga lain, atau
karena sebab penyakit yang mendera mereka. Melihat seseorang yang semula sehat
tak kurang suatu apa kemudian digerogoti penyakit yang membuatnya kurus kering
lemah tak berdaya di atas pembaringan bisa mendatangkan kesedihan dan
mengganggu konsentrasi dalam bekerja.
Kelima, gagalnya pertanian
yang menghabiskan biaya besar atau jatuhnya harga panenan di pasar yang
berakibat pada kerugian. Apalagi jika seseorang itu pekerjaannya hanya bertani
dan masih belum diberi keberhasilan di bidang tersebut maka dampaknya pada
perekonomian keluarga besar sekali. Saya sering melihat keluarga di kalangan
orang seperti ini mengalami hidup di bawah standard kelayakan.
Nah, perkara-perkara di
atas mesti terjadi dalam kehidupan manusia. Hal itu sudah dikabarkan Allah
lewat kitab suci dan terjadi dalam kehidupan nyata. Ujian kehidupan seperti itu
akan membagi manusia menjadi dua golongan: golongan orang yang berkeluh kesah
dan golongan orang yang bersabar. Golongan orang yang berkeluh kesah akan
tertimpa dua musibah. Pertama, penderitaan karena musibah itu dan yang kedua
kehilangan sesuatu yang justru nilainya lebih besar dari musibah itu sendiri,
yaitu pahala dari melaksanakan perintah Allah untuk bersabar. Di samping jatuh
dalam penderitaan dan kesengsaraan dia juga mengalami resistensi keimanan dalam
bentuk hilangnya sikap sabar, ridha dan syukur. Pada akhirnya justru dia akan
mendapat murka dari Allah.
Sedangkan bagi orang
yang dianugerahi kemampuan untuk bisa bersabar atas ujian kehidupan maka
dirinya akan terhindar dari kemurkaan Allah, bahkan memperoleh pahala dari-Nya.
Pahala yang diperolehnya jauh lebih besar nilainya daripada penderitaan akibat
musibah yang dialami. Bahkan musibah itu menjadi anugerah kenikmatan baginya,
karena menjadi jalan bagi tercapainya apa yang jauh lebih baik dan bermanfaat
dari musibah itu sendiri. Yaitu menjalankan perintah Allah SWT dan memperoleh
pahala atasnya.
Rangkaian ujian
kehidupan di atas persis seperti yang dialami oleh anak sekolah yang
melaksanakan ujian akhir. Pilihannya ada dua, lulus atau tidak lulus. Bagi yang
lulus akan mendapatkan ijazah untuk melanjutkan pengembangan diri pada jenjang
selanjutnya. Sampai akhirnya bisa menggapai apa yang dicita-citakannya.
Sedangkan bagi yang tidak lulus kalau tidak segera melakukan introspeksi dan
memperbaiki diri akan terpuruk dan gagal dalam kehidupan. Wa Allahu a’lam.