Pernah suatu masa, aku mengalami keterisolasian yang
total permanen dan tak terselamatkan dari segala sesuatu dan semua orang, yang
bercampur dengan klaustrofobia yang tak tertahankan. Seperti sebuah mimpi buruk
berupa perasaan terkurung di dalam diri sendiri. Seolah-olah terperangkap
seumur hidup dalam kepalaku sendiri. Sejak saat itu, aku bergulat dengan
“hantu-hantu” yang berasal dari pemikiran itu, setidak-tidaknya pada sebagian
waktu dalam keseharian, terutama saat sendirian dan menganggur. Aku mencoba
untuk melarikan diri dari teror ini dengan berupaya keras menyingkirkan
pemikiran-pemikiran itu.
Kuakui bahwa sejak kecil aku terhisap oleh
masalah-masalah ketuhanan dan asal-usul segala sesuatu. Mempertanyakan hal-hal
yang tak biasa dipertanyakan orang pada umumnya seperti penderitaan,
kebahagiaan, takdir dan sebagainya. Sampai pada akhirnya aku menemukan
pengertian bahwa tak ada sesuatu pun yang mungkin aku lakukan yang bisa membuatku
mengalami sesuatu yang lain kecuali dari hasil ciptaan kesadaranku sendiri.
Menakjubkan bahwa
-meskipun hanya kebetulan semata-mata- ternyata banyak filosof terkenal yang
mengalami kekacauan jiwa saat masih muda. Aku merasakan ketakjuban yang sama
bahwa aku diliputi oleh problem-problem filosofis seumur hidupku. Dan aku sepertinya
tenggelam dalam problem-problem yang juga dihadapi para filosof besar dan aku
pun merasakan dorongan hati yang sama dengan mereka untuk memahami hakikat
dunia dan pengalaman atas dunia, yang diikuti oleh kesadaran yang sama bahwa
semua itu tak bisa dijelaskan dalam kerangka pandangan umum (commonsense),
yang sebaliknya malah menimbulkan berbagai kontradiksi dalam pemahaman mengenai
hakikat dunia dan pengalaman atas dunia, jika bukannya malah membisu total.
Sebagai konsekuensinya, aku membaca karya mereka seperti
orang kelaparan yang dengan rakus melahap semua makanan yang tersedia, dan
proses pembacaan itu sungguh mengembangkan dan menyehatkan diriku untuk masa
selanjutnya. Aku begitu terpana, melihat hal-hal yang kupikirkan tertulis di
halaman-halaman buku yang kubaca dan telah ditulis beribu-ribu tahun yang lalu.
Akhirnya bacaanku pun berujung pada penemuan apa yang disebut dengan Lebensphilosophie.
Lebensphilosophie atau sering disebut dengan Filsafat Kehidupan
berbeda dengan apa yang dimaksud dengan Filsafat Akademis. Lebensphilosophie
merupakan filsafat yang berfungsi untuk mencintai dan memaknai hidup dengan
berbagai pergumulan filosofis untuk memahami hakikat dunia. Berfilsafat menurut
Lebensphilosophie merupakan aktivitas pencarian kebenaran yang dilakukan
pada level terdalam yang sanggup ditembus oleh manusia. Bukan berfilsafat yang
dilakukan di ruang-ruang kelas secara teoretis dan spekulatif.
Para penganut Lebensphilosophie berjuang keras
untuk mengedepankan kehidupan batiniah dan pengalaman manusiawi dengan
mengkritik kecenderungan untuk menyempitkan hidup pada unsur-unsur lahiriahnya,
seperti teknologi, industri, ekonomi dan seterusnya. Aliran ini menjelaskan
bahwa pangkal dan tujuan berpikir adalah kehidupan. Upaya untuk memahami
pengalaman yang dihayati secara konkret, historis dan menghasilkan makna serta
melawan citra manusia mekanistis yang disokong oleh positivisme.
Jika pada akhirnya satu-satunya aktivitas
individual yang sungguh-sungguh penting ialah pencarian akan makna kehidupan,
maka apa pun menurut Lebensphilosophie yang memberikan kontribusi
terhadap upaya pencarian itu merupakan sesuatu yang bernilai dan apa pun
yang tidak memberikan kontribusi terhadap upaya itu merupakan sesuatu yang
tidak perlu dipedulikan dengan penuh perhatian.