Masyarakat kita menawarkan begitu banyak citra kesuksesan. Harta milik,
reputasi dan keterkenalan menjadi kata kunci untuk meraih kesuksesan. Ilmu bagi
mereka mesti memiliki implikasi praktis. Bila Anda berilmu dan tidak memiliki
uang serta tidak dipandang di masyarakat, maka ilmu itu tidak ada gunanya. Tidak
peduli content, yang penting ilmunya efektif menyenangkan orang yang
telah membayar mahal kuliah yang mereka berikan atau membayar tarif mahal
ceramah mereka.
Teknik berargumentasi, joke-joke dan retorika yang memukau sangat dibutuhkan
untuk cepat naik daun dan mampu meyakinkan serta merebut hati publik. Bahkan,
menurut seorang profesor yang duduk di sebuah birokrasi, kemampuan komunikasi
efektif (baca: menjilat) adalah 60% dari kesuksesan karir seseorang setelah 20% academic
background dan 20% experience.
Mereka yang mampu menempuh pendidikan biasanya melakukannya dengan tujuan
semata-mata masalah uang dalam pikirannya. Bidang-bidang teknis dan praktis,
yang dapat dikuasai dengan agak cepat dan relatif menawarkan jaminan kehidupan
yang nyaman menarik para mahasiswa terbaik dan mendominasi universitas.
Pranata-pranata pendidikan tradisional, yang dulunya meminta para santri/siswa/mahasiswa
untuk mendedikasikan hidup mereka kepada pencarian pengetahuan dan kemuliaan
hampir sepenuhnya menghilang dan diganti dengan pencarian selembar ijazah
sebagai modal untuk mengejar kesuksesan.
Kesuksesan adalah soal harta, jabatan dan popularitas. Bukan soal kebaikan,
akherat atau surga. Mungkin orang lalu mencibir sinis: alaah, kesuksesan
masuk surga itu sih kuno. Surga itu urusan nanti, sepanjang kita masih muda
kita nikmati dulu dunia ini. Baru kalau nanti sudah nggak laku, kita mikir
surga. Siapa tahu dengan mendaur ulang image lewat baju agama apalagi
dengan tarif mahal kita malah bisa meneruskan keterkenalan dan kesuksesan. Rumah
besar, mobil mewah, moge (motor gede), isteri cantik (apalagi lebih dari
satu), aah..itu merupakan konsekwensi logis dari kesuksesan yang telah
kita peroleh.
Begitukah? Persis, di situ kita hidup dalam perangkap kesuksesan imajiner! Kita
hidup dalam dunia modern yang menurut Tom Morris di mana kesuksesan dipahami
sebagai money, fame, power and status. Empat hal
ini, uang, kesohoran, kekuasaan dan status sosial menjadi impian semua orang. Meskipun
sebagian orang mengira bahwa uang dan reputasi hanyalah sarana.
Namun, kebijaksanaan menunjukkan bahwa tidak mudah mempertahankan diri di
depan uang dan reputasi. Apa yang kita kira sekedar sarana, dengan mudah
berubah menjadi tuan yang memperbudak kita. Hasrat manusia akan uang dan
reputasi adalah hasrat irrasional yang cenderung tak terbatas. Di sinilah
menurut Benjamin Franklin: Succes has ruined many man; kesuksesan telah
menghancurkan banyak orang. Kesuksesan yang direduksi pada uang
dan status sosial membuat orang terbenam dalam ketidakbahagiaan.
“Ketahuilah,
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan
dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak
keturunan, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani;
kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian
menjadi hancur. Dan di akhirat
(nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan
kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu”. (Besi: 20)