Dalam
beberapa ayat, al-Quran menyatakan dirinya turun dengan media bahasa Arab yang
fasih. Hal ini didasarkan atas kelebihan bahasa Arab, yaitu kekayaan
kosakatanya (untuk satu benda bisa mempunyai ratusan kosa kata yang masing-masing
pemakaiannya dapat menimbulkan nuansa tertentu dalam benak seseorang),
keragaman nuansa dan tingkatan makna yang dapat dikandungnya, akurasi makna,
efisiensi ekspresi, keindahan sastrawi, keteraturan dan keluasan pola derivasi
kata dan keindahan ritmenya sehingga mudah diucapkan, dihapalkan, dan enak
diperdengarkan.
Orang
yang mempelajari bahasa Arab juga akan segera mengetahui kelebihan bahasa kitab suci
ini, yaitu karakteristik retorisnya yang mengagumkan dalam pemilihan kosakata,
diksi, redaksi, permisalan, bentuk janji dan ancaman, dan lain-lain yang
menimbulkan ketakutan dan harapan. Aspek lainnya juga adalah redaksi yang
singkat namun kaya makna dan dapat dikembangkan oleh setiap individu dan
kelompok manusia di setiap masa.
Al-Quran
juga banyak menampilkan tamsil atau perumpamaan, agar pesan yang disampaikannya
memberi kesan yang mendalam. Dapat dipahami beragam kalangan (dari segi usia,
bahasa, suku, watak, dan sebagainya) dan dapat menampung pelbagai kemungkinan
dan tingkatan makna (bergantung pada kedalaman ilmu dan kekayaan
wawasan/pengalaman). Allah menampilkan seluruh perumpamaan bagi segala sesuatu.
Dan perumpamaan itu hanya dapat dipahami oleh orang yang mendalami ilmu bahasa.
Bisa
jadi seseorang membaca bentuk al-Quran dengan benar atau bahkan menghafalnya,
tetapi mungkin ia tidak mempunyai satu petunjukpun tentang maknanya. Ada
kata-kata yang tak terhingga di dalamnya dan al-Quran diturunkan sesuai dengan
kapasitas pencarinya. Semakin bertambah banyak pengetahuan penafsir tentang
rahasia wujud dan jiwa manusia maka akan bertambah pula kemampuannya membuka
eksplorasi teks al-Quran.
Bidang-bidangnya
sungguh subur dan mengandung sekian banyak hal yang tak terpikirkan oleh
manusia. Al-Quran mampu mengombinasikan bahasa yang tersirat dan tersurat dan
juga dapat menjangkau akal dan perasaan sekaligus. Hal itulah yang tak mampu
dilakukan sastra atau karya tulis manusia.
Pola
susunannya unik dan sama sekali belum dikenal dalam tradisi sastra Arab pada
waktu itu. Dengan struktur seperti inilah al-Quran telah keluar dari konteks
perkembangan stilistika susastra Arab Jahili sebagaimana terekam dalam syair,
prosa, khutbah, dan mantera-mantera tukang sihir di kalangan mereka. Buktinya
para ahli sastra dan cendekia Arab Jahili tertegun dan sulit mengategorikannya
dalam varian susastra yang mereka kenal.
Harmoni
dalam setiap al-Quran tersusun dalam bentuk yang sempurna, dengan gaya bahasa
yang sangat indah, yang tidak dapat diketahui oleh orang yang belum dalam
perasaannya dan matang pengamatannya. Karena keterbatasan wawasannya akan
membatasinya dalam memahami teks al-Quran. Hal ini menjadikannya berada di atas
waktu dan dibalik sejarah. Ia tetap tak tersentuh oleh temperamen manusia dan
perubahan waktu. Al-Quran telah menutupi historisitasnya dengan indah, yaitu
melalui cara transendensi yang melampaui sejarah di dunia ini secara
keseluruhan.
Setiap
terjemahan ke bahasa lain, pengalihan, atau perubahan akan menghancurkan
karakteristik dan keunikan tersebut. Karena bahasa itu tidak netral; di dalam masing-masing
bahasa terdapat berbagai pra-anggapan dan asumsi kultural dari keseluruhan
tradisi masyarakatnya, demikian menurut Jacques Derrida. Oleh sebab itu
terjemahan al-Quran dalam berbagai bahasa selalu menyertakan teks aslinya dalam
bahasa Arab yang dipakai pada masa Nabi supaya selalu menjadi rujukan kembali
bagi terjemahan tersebut demi menjaga maknanya agar tetap utuh. Karena tidaklah
mungkin untuk menaruh batasan pada ketakterbatasan makna dengan mengklaim bahwa
ini adalah arti yang pasti atas kata, ayat atau surah manapun dari sebuah kitab
suci .