”Sebuah kehidupan yang tak diamati dan direnungkan tidaklah berharga bagi
seorang manusia”.
Kerja, adalah sebuah kata kunci untuk kehidupan masa kini. Seseorang akan
merasa bermartabat jika sudah bekerja dan akan semakin terangkat harga dirinya
sebanding lurus dengan jenis pekerjaan yang dianggap terhormat dalam
masyarakat. Seorang pemuda akan percaya diri melamar idaman hatinya jika sudah
bekerja. Sang mertuapun tidak akan berpikir seribu kali untuk menerima calon
menantu jika sudah bekerja. Akan tetapi di sisi lain pekerjaan juga menimbulkan efek
negatif berupa stress. Menurut data Everest College's 2012 Work Stress Survey
yang dilakukan oleh Harris Interactive, perusahaan layanan survei untuk
perkembangan bisnis dan karier, hampir 73 persen pekerja di Amerika merasa
stres saat bekerja.
Akibat stress karena kerja ini manusia terinfeksi penyakit nostalgia masa
silam sambil gamang menghadapi masa sekarang, dan gelisah akan masa depan.
Selain itu, ia terus menerus hidup dalam aura panas persaingan produktivitas,
prestasi, kepentingan politis dan ekonomi, yang memicu manusia mengambil jalan
pintas, yang kerap brutal, ilegal, imoral dan berakibat fatal. Akhirnya manusia
kehilangan orientasi; kehilangan kesempatan menilai dan mengevaluasi;
kehilangan daya untuk menghimpun kekuatan dan menyusun strategi. Fenomena ini
antara lain disebabkan oleh ’pendewaan’ terhadap kerja. Dunia manusia menjadi
begitu riuh, bising dan glamor dengan urusan bisnis, kerja dan karir sehingga
manusiapun terbelenggu secara eksistensial.
Seorang Josef Pieper, filosof Jerman, mensinyalir bahwa kini kerja telah
menjadi sebentuk ’agama’, sesuatu yang dikultuskan, ”bekerja berarti berdoa”.
Kerja menjadi satu-satunya sarana yang dimutlakkan, hingga tak heran bahwa ia
lantas mudah mendehumanisasi kemanusiaan. Kerja tak lagi menjadi ekspresi
eksistensi manusia, tak lagi bernilai sakral, tak lagi mempunyai fungsi sosial.
Kerja telah menginvasi pelbagai ranah kehidupan atas nama prinsip utilitarian,
maka manusia terjerembab ke lembah rutinitas, otomatisasi dan mekanisasi.
Dengan kata lain, kerja tak lagi menjadi ruang untuk bertanggung jawab,
tetapi justru dimanfaatkan oleh orang atau kelompok tertentu demi tujuan
tertentu, sehingga lantas melahirkan pola-pola perilaku atau struktur
psikologis yang tak bisa dipertanggungjawabkan, baik dari orang yang
dipekerjakan maupun yang mempekerjakan. Struktur inilah yang pada akhirnya
menghunjam dalam diri seseorang.
Louis Althusser seorang filosof Aljazair percaya bahwa masyarakat, lewat
struktur keluarga, sudah memberikan kerangka-kerangka yang membatasi ruang
pandang individu untuk mengenali dunia kerja. Dunia kerja seorang manusia sejak
semula adalah dunia terbingkai struktur yang tertanam dalam dirinya. Tumbuhlah
ia menjadi manusia yang digerakkan struktur, makin menjauh dari dirinya, tak
disadari dan tak terhindari.
Kepercayaan yang
tertanam tanpa disadari itulah yang dinamakan ideologi kerja dalam pengertian
Althusser. Ideologi adalah segala yang sudah tertanam dalam diri individu
sepanjang hidupnya; history tum into nature, produk sejarah yang
seolah-olah menjelma sesuatu yang alamiah. Semuanya dijelaskan dengan
aturan-aturan yang tidak dapat ditemukan dasar epistemologisnya. Kita tak ingat
siapa yang menjelaskan cara berpikir yang kita pakai sekarang, dan mengapa cara
itu yang kita gunakan.
Kita tidak bermaksud
menggugat pemahaman tentang kerja per se; tidak pula menolak, mengecam
atau mengelakkan dunia bisnis dan ekonomi. Karena bagaimanapun tanpa adanya kerja kebudayaan dan
peradaban tidak akan terbentuk. Kemalasan kerja adalah kerapuhan dalam memaknai
kehidupan. Dalam tradisi Islam banyak pula hadith Nabi SAW yang
menerangkan tentang keutamaan bekerja.
Akan tetapi yang berlaku dan sering kita dengar adalah sebuah kehidupan
yang hampir semuanya diatur oleh disiplin kerja, sistem administrasi dan
dorongan sukses, sehingga ’dunia kehidupan’ yang leluasapun tertekan. Padahal
kita kadang perlu berbicara bahwa ada yang tak bertujuan tapi perlu. Ada laku
manusia yang berharga karena tak dijajah oleh ’guna’, tak dikungkung oleh
perhitungan efisiensi, rencana dan dorongan untuk berprestasi. Suatu kondisi di
mana seseorang menjadi tak perlu, tak diminta dan mengikatkan diri ke manapun.
Jadi, kita boleh saja rajin bekerja, tapi janganlah kemudian secara otomatis menjadi penganut buta ideologi
kerja.