Bagi
saya, yang memberi arti pada hidup adalah keterarahan kepada masa depan yang
dicita-citakan. Bukan masa depan yang dikhayalkan. Dan bukan cita-citalah yang
menentukan arah hidup, tetapi arah itu yang menentukan cita-cita. Hidup berarti
menghayati diri dan makin menjadi diri sendiri. Sebab tujuan hidup hanya punya
arti sejauh dimengerti. Bukan pemahamanlah yang memberi arti, tetapi
perkembangan menurut arah yang dipahami. Sekaligus menjaga jarak terhadap
dunia.
Jarak
terhadap dunia konkret bukanlah suatu contemptus mundi, penolakan
terhadap dunia. Sehingga keterlibatannya dalam dunia tidak mengikatnya pada
dunia. Ia selalu mengambil jarak, paling sedikit dalam hatinya. Titik pangkal
bukanlah dunia, melainkan hatinya sendiri. Tidak membatasi diri oleh pengalaman
hidup yang terbatas. Berarti, menerima keterbatasan diri dalam kesadaran diri. Dalam
kesadaran bahwa pada dasarnya hidup tidak terbatas dan kita hanya berziarah di
alam semesta ini.
Ziarah
bukanlah suatu ide atau gagasan, melainkan pengalaman dan penghayatan. Dengan
tetap berjalan, tetapi pelan-pelan, ganti persneling. Menjalankan yang biasa,
tetapi rutin. Dengan tetap mencari, dengan mata terbuka untuk sesuatu yang
baru, yang bisa memberi inspirasi. Hal ini sangat membutuhkan keberanian.
Keberanian
bukanlah ketegasan dalam mengambil aneka keputusan, melainkan adalah keberanian
untuk menjadi diri sendiri. Adakah yang masih berani menjadi diri sendiri? Semua
takut bahwa keberadaannya tidak diterima kalau punya gaya sendiri dan tidak
menyesuaikan diri dengan yang lain. Orang tidak berani masuk ke dalam dirinya
sendiri, karena pandangannya selalu terarah keluar –untuk menyesuaikan diri
agar semua bisa berjalan dengan baik. Semua berjalan baik, tetapi tidak punya
arti.
Di sisi lain, orang yang beriman adalah
peziarah di dunia ini. Dia berada dalam
dunia, sibuk dengan urusan dunia dan melibatkan diri untuk menangani
permasalahan dunia. Namun dia tidak tenggelam di dalamnya. Dia masih memiliki
peluang untuk mengambil jarak dari dunia. Kesanggupan untuk mengambil jarak
inilah yang memberikan ruang bagi keterbukaannya bagi Allah, bagi satu
perspektif lain untuk menilai dunia dan mentransformasikannya.
Berziarah
berarti berjalan menuju tempat tertentu. Inti dari ziarah bukan hanya
pencapaian tujuan, melainkan pengalaman perjalanan dan refleksi atasnya.
Perjalanan memerlukan waktu. Waktu dan jarak merupakan unsur penting untuk
menciptakan kondisi batin tertentu. Kerinduan akan tujuan, kesadaran akan semua
yang diperoleh di tengah jalan adalah bantuan yang bermanfaat yang akan mengantar
kepada tujuan itu sendiri. Ziarah yang dilaksanakan sebagai perjalanan akan
memberikan waktu yang cukup bagi permenungan.
Peziarah
bukanlah berarti pelancong atau turis. Sebab perjalanannya punya tujuan,
biarpun itu tidak selalu jelas. Yang jelas hanyalah arah perjalanannya, sebab
perjalanan diarahkan dari dalam hati dan budi si pejalan itu sendiri. Pegangan
dalam perjalanan manusia adalah pengharapan. Itulah tema pokok menurut Ernst
Bloch seorang filosof Marxist Jerman, yang menegaskan bahwa pengharapan
bukanlah sesuatu yang kabur dan samar-samar. Pengharapan adalah pegangan hidup
di tengah dunia yang tidak punya arah.
Sementara
kita belum melihat apalagi punya kepastian tentang arah dan mengenai akhir,
kita berkiblat diri dan membenahi kembali jalan-jalan yang kita tempuh. The
realized eschatology terdapat dalam langkah-langkah mereka yang
menempuh ziarah. Manusia tidak mendapatkan ketenangan dalam dirinya sendiri. Dia
terpuruk dalam kesombongan dan egoisme dalam usahanya untuk menjadi istimewa. Maka,
pengalaman batin orang sewaktu berziarah biasanya hanya bisa dipahami
kekayaannya kalau ditempatkan dalam continuum perjalanan hidup orang itu
sendiri. Bukankah seluruh hidup ini adalah sebuah laku ziarah? Singkatnya,
karena terbukanya indera rohani peziarah, perjumpaan sesederhana apapun bisa
menjadi awal sebuah pengalaman rohani yang mengubah, yang dapat terus menggema
sepanjang perjalanan ziarah kehidupan.
Bisa saja seseorang tidak lagi
menemukan jalan kepada penghayatan keagamaan dalam wadah agama-agama
tradisional. Sebaliknya seseorang dapat saja menemukan ekspresi religiusitasnya
di dalam ziarah atau kembali menemukan jalannya kepada religiusitas itu melalui
ziarah. Yang pasti, ziarah didorong oleh keyakinan bahwa dengan melaluinya
orang akan mengalami pertemuan yang intensif dengan kekuatan ilahi, yang
memberi daya penyembuhan fisis atau pemulihan dan penyegaran batin.
Ziarah membuat orang peka
terhadap banyak hal yang kurang mendapat perhatian dalam keseharian. Ziarah hadir
dalam jiwa orang-orang miskin, cacat dan berdosa, yang tidak mempunyai hak
untuk mengambil bagian dalam ibadah resmi di tempat-tempat ibadah. Ziarah bukanlah
sebagai kunjungan pada tempat-tempat suci dan keramat, tetapi justru sebagai
perjalanan dalam suasana do’a dan refleksi. Dengan asketisme, perjalanan
melangkah maju, sambil mencari inspirasi dari segala sesuatu yang dilewati.
Ziarah adalah untuk hidup yang mesti diwujudkan kembali.