20 March 2016

BILDUNG


Bildung berasal dari bahasa Jerman. Konsep ini dikemukakan oleh Hans-Georg Gadamer, seorang filosof hermeneutik Jerman, sebagai salah satu dari unsur pengalaman hermeneutis. Jika kita adalah suatu dialog aku-engkau, dan dialog itu tidak berkesudahan, maka pengalaman hermeneutis adalah sebuah proses menjadi atau sebuah proses transformatif atau yang disebut Bildung.

Untuk menjelaskan apa itu Bildung, kita ambil contoh seorang yang dalam masa hidupnya banyak belajar ilmu-ilmu. Dia membaca teks-teks dalam bidang sejarah, kebudayaan, filsafat, teologi, kesastraan, dan seterusnya. Kita menyebut orang seperti ini ‘terpelajar’ bukan hanya karena dia mengetahui banyak informasi ataupun fakta, melainkan karena pengetahuannya yang luas itu membentuk kepribadiannya.

Orang itu tidak sekadar belajar hal-hal di luar dirinya, melainkan juga dalam belajar tentang hal-hal di luar dirinya, ia juga belajar tentang dirinya sendiri. Inilah kata kuncinya, misalnya jika seseorang mengaku telah belajar ilmu-ilmu moral, agama atau akhlak kemudian berbicara, menulis buku atau menulis di media sosial tentang moral, agama dan akhlak tanpa mentransformasikan pengetahuannya ke dalam perilakunya sehari-hari maka seseorang itu masih belum bisa dikatakan mengalami Bildung. Hanya bisa mentransfer pengetahuan ke dalam otaknya tetapi tidak bisa mentransformasikan ke dalam dirinya secara keseluruhan dalam bentuk kepribadian dan perilaku.

Kegiatan belajarnya membentuk kepribadiannya sebagai seorang terpelajar. Mungkin saja dia melupakan beberapa informasi atau fakta yang penah dipelajarinya, namun ada hal yang tetap tinggal dalam kepribadiannya, yaitu pembentukan dan perubahan dirinya lewat proses belajar itu. Bildung dapat dijelaskan sebagai hasil proses formatif dan transformatif yang diperoleh lewat belajar. Kata kerja untuk Bildung adalah bilden yang berarti ‘to form’ atau ‘membentuk’, maka hasilnya adalah seorang pribadi yang ‘gebildet’ (terpelajar). Hasil seperti itu tidak sekadar kognitif ataupun intelektual, melainkan holistis, yaitu menyangkut seluruh diri manusia itu sendiri.

05 March 2016

PUISI MISTIK

Dulu, tepatnya pada tanggal 05 September tahun 1995 saya membeli sebuah buku tipis yang berjudul Rubaiyat Omar Khayam. Buku tersebut berisi kumpulan puisi-puisi empat baris Omar Khayam, seorang filosof, penyair dan ahli matematika dari Persia. Buku itu, sampai sekarang masih berulang kali saya baca karena suka dengan gaya skeptis puisinya (persis seperti karakter saya yang juga skeptis hehehe..).
Di balik bait-bait puisi skeptisnya tersembunyi kepastian absolut intuisi intelektual. Tersembunyi kekalutan ruhaninya dalam menghadapi merajalelanya kekacauan sosial. Tertutur pengalaman spiritualnya bercampur dengan kondisi kemunafikan masyarakat di mana dia hidup. Semua termampatkan dalam susunan kwatrin (rubaiyat/puisi empat baris) dengan indahnya.
Puisi-puisinya penuh dengan simbol-simbol yang justru sering disalahpahami orang sebagai bentuk hedonisme dan pemujaan terhadap erotisme. Terkait hubungannya dengan simbol-simbol seperti anggur, kekasih, pipi tulip dan sebagainya. Padahal dalam khazanah puisi sufi atau puisi mistik semua simbol-simbol itu merupakan lambang dari pengalaman spiritual atau kesatuan mistis.
Dalam sufisme, puisi memang memainkan peran sentral, khususnya dalam menyampaikan ajaran-ajaran yang tak bisa disampaikan secara deskriptif. Dalam puisi-puisi kaum sufi, keselarasan antara pengalaman yang transenden (berjarak) dan imanen (intim), antara yang kekal dan fana, antara komponen-komponen kerohanian, psikis dan sensual, berpadu menjadi kesatuan yang memesona. Ungkapan-ungkapan puitik merupakan perpaduan unik antara keadaan sejarah, lingkungan sosial-budaya dan kualitas kejiwaan sang sufi sendiri.
Al-Quran sendiri kaya dengan simbol dan imajinasi, sangat merangsang pencintanya untuk menulis puisi dan melakukan berbagai tafsir puitik. Menurut Muhammad Iqbal, seorang filosof dari Pakistan, kitab suci umat Islam itu tidak saja mengajarkan agar manusia belajar banyak dari pengalaman empiris dan sejarah, melainkan juga belajar dari memperhatikan kenyataan lain, yaitu pengalaman batin. Tanpa melebih-lebihkan, agaknya perpaduan pengalaman batin, empiris dan sejarah itu menjadi sangat mungkin dalam puisi.
Sebagai media ekspresi, bagi pengalaman kerohanian dan religius, puisi memiliki beberapa keuntungan. Sebagaimana mistisisme, puisi memang terutama bertalian dengan pengalaman batin manusia yang dalam. Seperti puisi atau pengalaman estetik, pengalaman mistik -di samping itu- juga sangat personal dan unik, selain universal. Malah boleh dikatakan, pengalaman mistik itu selalu memiliki kualitas  puitik, dan sebaliknya, pengalaman puitik atau estetik yang dalam juga memiliki kualitas mistik.
Dalam puisi yang berhasillah, kepersonalan, keunikan, dan keuniversalan itu bisa terpelihara dengan baik. Sehingga orang yang membacanya akan memperoleh media yang tepat untuk meningkatkan kualitas jiwanya. Saya pun demikian, untuk meningkatkan kualitas kejiwaan saya sangat suka membaca puisi, khususnya puisi mistik, dan sesekali juga mencoba menuliskannya.