23 August 2014

BERSIH LINGKUNGAN



Beberapa waktu yang lalu setiap bangun tidur badan saya terasa pegal-pegal seperi remuk. Setelah konsultasi kesana-kemari akhirnya saya mendapatkan informasi bahwa hal tersebut merupakan tanda kekurangan gizi dan nutrisi. Makanan yang selama ini saya konsumsi ternyata tidak ngatasi untuk memenuhi kebutuhan gizi dan nutrisi tubuh. Bahkan lebih banyak ampasnya daripada kandungan gizi dan nutrisinya.
Berangkat dari kondisi tersebut saya memutuskan untuk mencari vitamin atau makanan suplemen yang berkualitas baik, herbal dan organik. Setelah beberapa lama mengonsumsi makanan suplemen tersebut badan pegal-pegal sehabis tidurpun hilang. Memang, menurut para ahli kesehatan, stamina fisik, daya tahan terhadap penyakit, ukuran tubuh, bahkan berapa lama kita hidup, semuanya ternyata berkaitan erat dengan apa yang kita makan. Demi tubuh yang sehat kadang kita harus menghabiskan uang dalam jumlah sangat besar untuk vitamin, mineral dan tambahan program diet lain.
Tubuh terbentuk sesuai dengan apa yang dimakan oleh tubuh. Begitu pula, pikiran terbentuk sesuai dengan apa yang dimakan oleh pikiran. Makanan pikiran tentu saja tidak dalam bentuk kemasan dan tidak dapat dibeli di toko. Makanan pikiran itu adalah lingkungan kita –semua benda tak terhitung yang memengaruhi pikiran sadar dan bawah sadar kita.
Yang lebih penting lagi, besar kecilnya pikiran, tujuan, sikap dan kepribadian kita dibentuk oleh lingkungan kita sendiri. Berpikir harus diberi banyak makanan jika kita ingin mendapatkan hasil yang lebih baik. Pikiran kita bisa merasa segar jika bergaul dengan orang-orang yang berwawasan luas dan positif. Karena bisa jadi setiap hari kita ketemu dengan orang-orang yang membosankan, yang pola berpikirnya tidak berubah dari mulai kita bergaul dengannya pada masa kecil sampai pada rambutnya yang mulai beruban.
Lindungi lingkungan psikologis kita. Cari teman yang memberikan dorongan bagi rencana dan cita-cita. Jika kita tidak melakukannya dan lebih memilih pemikir picik sebagai teman dekat, kitapun secara berangsur-angsur akan berkembang menjadi pemikir picik. Datangi komunitas-komunitas baru, cari teman yang positif, berpotensi baik (secara material maupun spiritual) dan tidak disibukkan oleh hal-hal yang remeh-temeh dan tidak penting, perluas lingkungan atau pergaulan sosial. Semakin banyak kita belajar mengenai orang lain, gagasan mereka, minat mereka, sudut pandang mereka –semakin optimis dan bersemangat kita dalam menghadapi hidup. Pada sisi yang cerah, pergaulan dengan orang yang memiliki gagasan besar menaikkan tingkat kemampuan berpikir kita; hubungan erat dengan orang yang ambisius memberi kita ambisi.
Berhati-hatilah mengenai hal ini, jangan biarkan orang yang berpikiran negatif menghancurkan rencana kita untuk berpikir sukses. Orang negatif ada di mana-mana dan mereka tampaknya senang menyabot kemajuan positif orang lain. Jangan bertengkar dengan orang yang tidak setara dengan level kita, karena secara tidak langsung hal tersebut akan memaksa kita untuk berpola pikir seperti mereka.
Banyak orang dengki yang tidak hanya tidak mau maju sendiri tetapi juga menginginkan kita ikut tersandung bersama mereka. Mereka merasa diri mereka tidak memadai sehingga mereka ingin menjadikan kita seperti mereka. Bahkan terkadang mereka juga berusaha merebut kesuksesan yang telah kita rintis dengan susah payah di lingkungan kerja atau sosial kita dan berbangga akan hal itu tanpa merasa bersalah sedikitpun. Karakter iri dengki mendominasi watak mereka. Waspadalah..! Pelajari para orang negatif, tetapi jangan biarkan mereka menghancurkan rencana kita untuk meraih keberhasilan.
Ada perangkap yang harus diwaspadai di dalam lingkungan sosial dan kerja kita. Di dalam setiap kelompok ada orang-orang yang secara diam-diam sadar akan kekurangan mereka, ingin menghalangi dan menghambat kita membuat kemajuan. Banyak orang brilliant ditertawai bahkan dimusuhi sebagai musuh bersama karena mereka mencoba menjadi lebih efisien dan menghasilkan lebih banyak karya. Ada orang yang karena iri ingin membuat kita merasa malu karena kita ingin bermanfaat bagi banyak orang.
Kita sudah sering melihat, di sekolah ada sekelompok murid yang terbelakang mencemooh teman sekelas yang berusaha memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh dunia pendidikan. Kadang –dan sayangnya terlalu sering- pelajar yang cerdas diolok-olok hingga ia mencapai kesimpulan bahwa tidak ada gunanya menjadi orang pandai. Atau sekelompok orang bodoh yang mengeroyok seseorang yang berpotensi karena dianggap sebagai penghalang ambisi mereka dalam sebuah organisasi. Sehingga orang berpotensi tersebut akhirnya mundur karena tidak mau ribut dan dapat masalah.
Penghalang nomor satu dalam perjalanan menuju sukses tingkat tinggi adalah perasaan bahwa prestasi besar berada di luar jangkauan. Sikap ini berasal dari banyak kekuatan penindas sebagaimana diceritakan di atas yang mengarahkan pikiran kita ke tingkat yang biasa-biasa saja. Dari segala sisi kita mendengar ”Bodoh kalau kamu jadi pemimpi”, dan bahwa gagasan kita ”tidak praktis, bodoh, naif atau tolol”, bahwa kita ”harus punya uang untuk maju” bahwa ”nasib menentukan siapa yang dapat maju” atau ”Anda harus mempunyai teman-teman penting”, atau ”Anda terlalu tua atau terlalu muda”.
Untuk menyelamatkan diri dari lingkungan seperti ini Dr. ’A`id al-Qarni dalam buku best sellernya La Tahzan memberikan trik-trik yang diambilkan dari kitab suci kepada kita. Pertama, berlindung dengan doa dan dzikir dari gangguan mereka (113: 5). Kedua, sembunyikan kesuksesan dan barang-barang berharga Anda dari pandangan mata mereka (67: 12). Ketiga, hindari pergaulan dengan mereka (21: 44). Keempat, perlakukan mereka dengan baik secukupnya supaya mereka tidak mengganggu Anda (34: 41).
Orang-orang sukses sebetulnya adalah orang yang tidak pernah menyerah. Kelompok ini, mungkin dua atau tiga persen dari keseluruhan. Tidak membiarkan pesimisme mendikte diri mereka, tidak mau menyerah pada kekuatan penindas dan tidak mau merangkak. Mereka selalu peduli dengan kebersihan lingkungan  dari orang-orang negatif. Orang-orang ini merasa bahwa hidup penuh dengan rangsangan, bermanfaat dan berharga. Mereka menantikan setiap hari baru, situasi baru, setiap perjumpaan baru dengan orang lain sebagai petualangan yang layak untuk dijalani sepenuhnya.

OALAAH...SEKOLAH..!


Kalau dipikir-pikir, selama sekolah, yang secara praktis membekas dan betul-betul saya rasakan manfaatnya dalam kehidupan justru dari kegiatan ekstra kurikuler. Aktif di kegiatan Pramuka pada waktu SMP dan organisasi dakwah pada waktu SMA. Pramuka menurut saya mengajari hidup mandiri dan tidak gamang menghadapi kesulitan-kesulitan hidup, sedangkan keterlibatan saya di organisasi dakwah telah membelokkan cita-cita saya yang semula ingin menjadi serdadu menjadi seperti sekarang ini.
Sebagian besar keilmuan yang menjadi minat saya justru saya peroleh dari luar lembaga pendidikan formal dan dari membaca. Ya, selain dari bermain dan berinteraksi dengan teman-teman di sekolah atau organisasi saya juga membaca. Pada waktu SD banyak membaca dongeng dari buku perpustakaan sekolah tempat bapak menjadi kepala sekolah dan dari majalah anak-anak bekas yang dibelikan bapak di loakan di kota Malang. Sewaktu SMP berlangganan menyewa komik dan novel dari dua persewaan di desa. Semasa SMA mulai berkenalan dengan buku-buku keagamaan yang saya temukan di musholla sekolah. Bebas saja membaca apa yang memang ingin saya baca. Benar-benar menyenangkan. Cuma kemudian ada dampaknya, saya menjadi tidak nyaman dengan proses pembelajaran yang ada di sekolah.
Aturan seragam (yang tidak memakai seragam lengkap dipermalukan di depan peserta upacara), tata tertib, hukuman, sistem ranking, intimidasi menjelang ujian dan sebagainya benar-benar membuat gelisah. Bahkan sampai sekarang saya masih sering bermimpi ketakutan menghadapi EBTANAS (nama ujian nasional sekitar tahun 90-an). Sampai muncul pertanyaan dalam hati bukankah pendidikan itu seharusnya harus memberi harapan dan kehidupan dalam diri siswa bukan malah memberi kekhawatiran dan kegelisahan?
Eric Weil seorang filosof Jerman memberikan jawaban tentang tiga hal penting yang sebenarnya harus terjadi dalam proses pendidikan di keluarga lebih-lebih di sekolah formal. Pertama, sekolah merupakan tempat untuk mengembangkan pengetahuan (menuntut ilmu). Kedua, sekolah merupakan tempat untuk mengalami persahabatan, menghargai keragaman dan mengembangkan dialog. Ketiga, sekolah merupakan komunitas (yang membekali pengetahuan yang luas dan pengalaman hidup bersama) yang menumbuhkan idealisme tentang makna hidup bersama dan tanggung jawab sosial. Ketika sekolah mengabaikan salah satu dari tiga hal penting tersebut, sekolah tidak mampu memberi sumbangan bagi terwujudnya masyarakat yang sehat. Sekolah tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.
Fungsi sekolah sekarang seolah-olah tidak lebih dari pembuat ranking, dari juara pertama sampai level yang terendah. Menyerupai perlombaan balap karung, siapa yang menjadi pemenang akan dapat hadiah. Maka orang-orang tua bangga sekali kalau anaknya menjadi juara kelas. Sangat menjadi kehormatan kalau orang tua dipanggil ke pentas untuk menerima piagam penghargaan dan hadiah dari sekolah. Sedangkan anak-anak yang masuk kategori ’bodoh’ hanya bisa menonton dari jauh dan gigit jari. Coba, dengar saja percakapan orang tua di sekolah saat pembagian raport: ”Eh anaknya ranking berapa?” ”Kalau anak saya ranking pertama dong!”.
Sebetulnya siapa sih yang bisa menjamin anak yang juara pertama nanti setelah dewasa akan menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama? Terus terang saya pribadi tidak sreg dengan sistem peringkat di sekolah. Peran guru bukanlah memilah-milah anak-anak didiknya antara yang pintar dan yang bodoh. Bahkan guru tidak boleh menampakkan isyarat membeda-bedakan seorang anak didik dengan lainnya.  Apalagi sampai mengatakan seorang anak didiknya bodoh. Perkataan itu tidak akan membuat dia berubah menjadi pintar, bahkan akan membuatnya rendah diri, kehilangan kepercayaan dan bisa merusak masa depannya.
Pendidikan kita sesungguhnya kehilangan arah dan fokus. Anak-anak didik dijejali berbagai macam ilmu pengetahuan sehingga kepalanya penuh, luber, dan akhirnya tidak ada yang nyangkut. Materi pelajaran yang banyak bukan saja tidak efektif tapi juga membuang waktu dan energi para peserta didik tanpa hasil yang maksimal. Pendidikan yang hanya mementingkan pengembangan ilmu dengan memberi banyak tugas dan pekerjaan rumah, tambahan pelajaran dan les privat akan mengurangi atau bahkan menghilangkan porsi pengembangan karakter dan tanggung jawab sosial. Beban pembelajaran (kurikulum) yang berlebihan akan merampas waktu untuk memaknai pengalaman kebersamaan dan menumbuhkan idealisme tentang hidup bersama. Akibatnya, para pelajar dan mahasiswa akan berkembang menjadi hamba ilmu, tenaga atau pekerja siap pakai dan kurang mampu berefleksi secara kritis. Akhirnya, begitu tamat mereka kebingungan mau ngapain.

Sebaik-baik sekolah adalah kehidupan dan sebaik-baik guru adalah pengalaman.