01 August 2010

Indonesia: Demokrasi atau Kleptokrasi?


Sudah beberapa dasawarsa Indonesia berdemokrasi, tentunya dengan demokrasi muncul harapan supaya segala sendi kehidupan menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Kita berharap punya pemerintahan yang legitimate dan berwibawa. Tapi sampai sekarang rasanya masih jauh panggang daripada api, kesengsaraan rakyat dan berbagai ketimpangan ekonomi masih sering kita lihat di media massa baik cetak maupun elektronik. Berita korupsi para pejabat, penghamburan uang rakyat oleh anggota dewan, perbuatan amoral, kemiskinan dan banyaknya aparat hukum yang dihukum sudah cukup sebagai bukti.

Demokrasi itu mahal, hal ini dapat dilihat dari anggaran Pilkada setingkat kabupaten yang berjumlah sampai ratusan milyar. Jika kita kalkulasi jumlah biaya pilkada yang digelar di seluruh Indonesia mungkin kita akan geleng-geleng kepala, apakah tidak sebaiknya kalau jumlah sebesar itu digunakan untuk program pengentasan kemiskinan di Indonesia. Mungkin ada yang beralasan, semua itu dibutuhkan demi legitimasi pemerintahan. Tanpa pemerintahan yang sah dan legitimate rencana pembangunan tidak akan berjalan dengan baik dan tidak akan didukung oleh semua elemen bangsa. Hukum tidak akan bisa ditegakkan. Tetapi apa yang terjadi?

Hukum ternyata dibuat oleh mereka yang punya kekuasaan, bukan oleh mereka yang punya kebenaran. Yang berbicara bukan lagi para pakar dengan teori-teorinya, tapi orang biasa –dengan kesalahan-kesalahannya, dengan nafsunya, dengan ketakutannya, dengan keinginan dan seleranya. Kita hidup bersama mereka atau bahkan kita diatur oleh mereka. Nilai-nilai berpolitik ditentukan oleh pasar dan jumlah suara yang terbesar. Yang ada hanya undang-undang, padahal kita tahu undang-undang lahir dari perundingan yang tak selamanya bersih. Pembentukan undang-undang selalu dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan banyak pihak yang kadang dipaksakan.

Demokrasi di Indonesia adalah arena jual beli tempat partai bisa berniaga dengan berbagai komoditas yang dimilikinya. Jabatan publik atau posisi menteri adalah komoditas yang dapat ditukar dengan dukungan partai terhadap pemerintah melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Kebijakan pajak yang diberlakukan oleh pemerintah lewat Menteri Keuangan ditukar dengan kestabilan koalisi mendukung pemerintah. Dalam konteks ini, faktor uang, kemampuan intimidasi, sepotong informasi rahasia dan rekam jejak personal bisa masuk kalkulasi pembuatan deal politik. Bersikap kritis dan berbalik arah (plinthat-plinthut) adalah bagian dari proses negosiasi yang dilakukan partai-partai itu.

Demokrasi pada akhirnya merupakan perkembangan yang merusak karena telah memberikan kontribusi bagi pembentukan patologis dalam sebuah masyarakat. Membiarkan masyarakat awam menentukan putusan-putusan politik, menjadi mayoritas di dalam negara dan kebudayaan, yang diduga akan mewujudkan tirani mayoritas yang bebal atas pengembangan selera minoritas.

Kleptokrasi, itulah yang saya kira sesuai untuk menggambarkan Indonesia, sebuah pemerintahan yang tersusun dari sosok dan sistem para maling, begundal dan koruptor. Bukankah dari sejak lahir, kita sering bertemu dengan kecurangan, di kelurahan, di kantor polisi, di kantor penghulu, di sekolah, di perguruan tinggi bahkan di pesantren. Lembaga pendidikanpun yang sebetulnya berfungsi untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa yang kredibel dan berkompeten beralih fungsi menjadi tempat untuk mengasah kecanggihan trik-trik kecurangan sebagaimana yang kita lihat dalam ujian nasional setiap tahun.

Jadi apakah kita membutuhkan demokrasi? Lee Kuan Yew mantan perdana menteri Singapura pernah mengatakan, untuk menjadi maju negara tidak membutuhkan demokrasi tapi membutuhkan kedisplinan. Itu sudah dibuktikan oleh Singapura. Tanpa demokrasi Singapura mampu menjadi negara yang maju dan berhasil mensejahterakan rakyatnya. Dia bahkan lebih suka ditakuti rakyat daripada dicintai rakyat. Buat apa demokrasi kalau rakyat masih terus hidup dalam kemiskinan ataukah demokrasi diartikan sebagai kesempatan bagi siapapun untuk mengeruk uang rakyat? Atau sebagaimana kata Fareed Zakaria, seorang editor Newsweek Internasional yang berkantor di New York, “Indonesia… bukanlah sebuah calon ideal untuk demokrasi.”