28 January 2010

Filsafat Hukum vis a vis Filsafat Hukum Islam


Avant-propos

Tulisan ini bermula dari seringnya saya diberi tugas oleh Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) JEMBER untuk mengajar Filsafat Hukum. Sebenarnya vak wajib saya adalah Filsafat Hukum Islam, mungkin pihak yang berwenang di jurusan Syari’ah memandang ada kemiripan antara vak wajib saya dengan filsafat hukum, yaitu sama-sama ada kata “filsafat hukum”nya. Padahal kalau diperhatikan lebih dalam lagi, kedua matakuliah tersebut dari sisi epistemologisnya sangat berbeda, bahkan bertolak belakang. Jadi yang lebih cocok untuk mengajar matakuliah tersebut sebetulnya adalah dosen yang berlatarbelakang ilmu hukum umum. Tapi tidak apalah, hal tersebut menjadi tantangan bagi saya untuk melakukan pengembaraan intelektual dalam bidang yang berada di luar vak wajib saya. Dan ternyata pekerjaan itu memang sangat mengasyikkan. Untuk lebih jelasnya, inilah hasil pengembaraan saya.

Filsafat Hukum: Pola Berpikir Dari Bawah ke Atas (Induktif)

Dalam menalar, Filsafat Hukum Beranjak untuk mempertontonkan tradisi berpikir dan bermetode yang berwatak “spekulatif-reflektif”, terhadap objek dalam kajian-kajiannya. Filsafat hukum tidak mungkin dilakukan tanpa melibatkan sejumlah argumentasi-argumentasi yuridis rasional yang dapat saja dipatahkan oleh paket argumentasi lainnya, dan jika tiba saatnya untuk itu, ia tidak lagi menerima pandangan yuridikal sebagai semata-mata yang mutlak benar, yang semata-mata didasarkan pada otoritas yang dimiliki orang-orang tertentu yang merumuskannya.

Tiap kepastian atau pun kemutlakan yang diperagakan dalam filsafat hukum secara substansial harus dinyatakan dan dibuktikan dalam cara-cara yang rasional. Filsafat hukum hanya akan menjadi semata-mata “dogmatis” (mengekspresikan pandangan-pandangan yang rigid atau kaku) dengan sendirinya, ketika ia tidak lagi terbuka terhadap argumentasi baru dan secara ngotot berpegangan pada pemahaman yang hanya diperoleh sekali saja. Dengan begitu, secara praktikal filsafat hukum justru akan mengimplikasikan kekakuan (ketiadaan toleransi).

Hal itu akan mengganggu keterbukaan sebagai hal yang justru esensial dalam sejumlah situs komunikasi kemasyarakatan. Lebih jauh, filsafat hukum akan terdorong menjadi kegiatan yang tidak rasional, yang berarti bahwa faktor emosi akan mendominasi tanpa kendali atau secara tidak proporsional. Seringkali pemahaman dogmatis secara praktis sering berfungsi sebagai kepanjangan tangan kekuasaan. Jika argumentasi rasional yang terbuka tidak lagi berperan sebagai batu ujian terakhir bagi filsafat hukum, maka suatu diskusi kefilsafatan yang sesungguhnya akan sangat membahayakan.

Oleh karena itulah berdasarkan hakikatnya, filsafat hukum akan selalu mengedepankan keterbukaan dan toleransi, sehingga dapat dikatakan filsafat hukum bukanlah pemahaman agama terhadap hukum atau dogma-dogma agama terhadap hukum, yang cenderung tertutup terhadap falsifikasi. Filsafat hukum justru berangkat dari keragu-raguan (ketidakpastian) yang darinya muncul berbagai produk hukum hukum yang dibuat manusia. Dalam hal ini, filsafat hukum akan mempertanyakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan hukum yang dibuat manusia, sambil mencurahkan justifikasi dan falsifikasi di atasnya.

Filsafat hukum lebih terarah untuk pengevaluasian atau pengkritisian sensasi-sensasi tertentu dari hukum yang dikomposisikan manusia, sehingga berdasarkan hal itu dapat disimpulkan hukum yang mana sebagai hukum yang baik dan benar, atau hukum mana yang adil.

Pada filsafat hukum, kebenaran masih harus ditemukan dan masih menuntut untuk secara berkesinambungan dikritisi, bila perlu diperbaharui (dengan mendasarkan diri pada perkembangan) atau dianulir dengan dalil yang datang kemudian, ini lantaran, bahwa problem-problem hukum yang diperhadapkan pada masyarakat manusia berbeda menurut waktu dan tempat. Itu berarti bahwa motivasi untuk berfilsafat di bidang hukum selalu berubah-ubah. Sudut motif, perspektif, waktu, warna dan gaya suatu filsafat hukum, semuanya berkait dan berkelindan dalam pembentukannya. Sebagaimana pemikiran Aristoteles, Immanuel Kant ataupun Hans Kelsen yang berbeda antar satu dengan lainnya.

Filsafat Hukum Islam: Pola Berpikir Dari Atas ke Bawah (Deduktif)

Studi atas doktrin-doktrin keagamaan, cenderung bertitik tolak dari sesuatu yang pasti atau kepastian yang berwatak langsung. Kebenaran dogmatis akan diterima begitu saja, tanpa harus diargumentasikan dengan cara-cara yang rasional dan logis. Umumnya, orang menerima dengan begitu saja, tanpa harus mempermasalahkan, hal baik-buruknya, benar-salahnya atau rasional-tidaknya. Sekalipun demikian, dalam konteks ini dapat saja diajukan sejumlah argumen yang memenuhi kriteria rasional dari seorang ulama yang memiliki otoritas, artinya orang akan menerima begitu saja karena otoritas tersebut. Studi atas agama hadir sebagai suatu putusan spesifik yang dapat diberikan landasan rasional, namun keyakinan adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dibanding yang diperagakan dalam filsafat hukum, yang cenderung bergerak dengan cara-cara yang spekulatif dan reflektif.

Dalam wilayah filsafat hukum Islam, kebenaran sudah ada dan bersifat mutlak, di sini kita hanya memerlukan dalil-dalil yang menjustifikasi, tidak boleh dikritisi apalagi dianulir oleh dalil baru, karena hal ini merupakan sesuatu yang dinyatakan atau bersumber dari Dzat Yang Tidak Terbatas, Yang Melampaui segala sesuatu dan menciptakan semesta beserta segenap isinya. Jadi boleh dibilang tidak akan ada yang namanya Filsafat Hukum Islam dari perspektif manusia (makhluk), kita hanya akan mengenal “Ilmu Hukum Islam” atau “Dogmatika Hukum Islam”. Subjek-material dari Dogmatika Hukum Islam ini adalah teks-teks otoritatif yang diwahyukan Tuhan dalam kitab suci al-Quran, yang mengatur tentang bagaimana manusia sebagai makhluk Allah SWT seharusnya berperilaku. Disiplin ilmiah ini bertitik tolak untuk ruang penginterpretasian atas teks-teks itu.

Sebenarnya filsafat hukum Islam merupakan istilah baru. Menurut para pakar, genealogisnya bisa ditelusuri dalam literatur klasik mulai al-Mustasfa nya al-Ghazali sampai al-Muwafaqat nya al-Syatibi. Dalam karya para ulama tersebut filsafat hukum Islam diistilahkan dengan Maqasid al-Shari’ah.

Pembahasan tentang maqasid al-shari’ah ini ditujukan untuk mencari maksud Allah dari hukum syari’ah yang diturunkan melalui ayat-ayat hukum maupun hadits-hadits hukum. Dengan asumsi bahwa tujuan Allah menurunkan syari’ahnya adalah kemaslahatan (kebaikan/kedamaian) bagi manusia, bukan sebaliknya. Karena bisa jadi syari’ah yang berada pada ruang waktu yang salah tidak akan mendatangkan maslahah, bahkan sebaliknya mendatangkan mudharat (kerugian/bahaya). Untuk itu filsafat hukum Islam atau maqasid al-shari’ah di sini bertujuan untuk menempatkan syari’ah atau hukum Islam pada ruang dan waktu yang tepat.

Komentar

Kesamaan antara filsafat hukum dengan filsafat hukum Islam adalah accept a law as true law (menerima hukum sebagai hukum yang benar). Hanya saja filsafat hukum akan lebih terarah untuk pengevaluasian atau pengkritisan sensasi-sensasi tertentu dari hukum yang dikomposisikan manusia, sehingga berdasarkan kenyataan itu dapat disimpulkan hukum mana yang berlaku sebagai hukum yang baik dan benar, atau mana hukum yang adil.

Sementara dalam filsafat hokum Islam, hukum yang benar dan adil itu tidak perlu dicari, sebab ia sudah ada, di sini orang hanya perlu memahami dan menginterpretasikannya dengan cara-cara yang relevan dan akseptabel (bisa diterima).

14 January 2010

Pembacaan al-Quran


Kebahagiaan dalam “Membaca” al-Quran

Bagi umat Islam, al-Quran adalah inti sari dari semua pengetahuan. Pengetahuan ini terkandung di dalam al-Quran dalam bentuk benih dan prinsip. Al-Quran memuat prinsip dari segala pengetahuan, termasuk kosmologi dan pengetahuan tentang alam semesta. Al-Quran bukan hanya sumber pengetahuan metafisis dan religius, melainkan juga sumber segala pengetahuan. Al-Quran adalah pedoman dan sekaligus kerangka segala kegiatan intelektual Islam.

Al-Quran diturunkan bagi petani sederhana di pelosok dusun maupun ahli metafisika di universitas yang berdiri megah di tengah megapolitan. Al-Quran mengandung berbagai tingkat pengertian dan berlapis makna bagi semua jenis pembacanya. Karena itu, orang harus mempersiapkan diri agar dapat memahami arti al-Quran. Mempersiapkan diri dalam pengertian seseorang harus mempunyai perangkat lunak (pengetahuan yang luas) yang dibutuhkan untuk memahami informasi-informasi yang disampaikan al-Quran.

Ketika al-Quran membahas tentang waktu (wa al-‘asr), sebelum membacanya, ada baiknya kita juga sudah punya bekal yang cukup mengenai konsep waktu. Bisa dari sudut pandang filsafat, budaya, sastra atau yang lainnya. Ketika membahas tentang keberadaan Allah (huwa al-awwalu wa al-akhiru) kita akan lebih punya wacana yang menarik jika sudah membaca kajian filsafat tentang asal muasal segala sesuatu atau membaca kajian tasawuf tentang Dzat Allah. Demikian juga ketika mencermati tema-tema lain dalam al-Quran seperti relatifitas, ekonomi, pendidikan, wanita, tanaman, logam, ombak, simetri, hujan, kabut, kaca, dan sebagainya.

Bagi orang yang suka berpikir, memahami al-Quran merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan, karena kata-katanya penuh makna dan bernas. Ketika hati sedang gundah gulana bukalah al-Quran secara acak dan temukan poin-poin tertentu kemudin lihat konteks turun dan hadits-hadits Nabi SAW yang berkenaan dengan ayat-ayat itu maka kita dapat merasakan kesenangan tersebut dan sejenak melupakan kerepotan-kerepotan hidup yang sering tidak memberi kesempatan bagi jiwa kita untuk istirahat. Banyak tema-tema yang menarik dan dapat menjadi sumber inspirasi dalam mengarungi kehidupan.

Keasyikan, itulah yang saya rasakan ketika “membaca” al-Quran. Maka dari itu, kemanapun pergi di tas saya selalu ada kitab tafsir kecil Sofwah al-Bayan li Ma’ani al-Quran al-Karim yang di dalamnya berisi tafsir, hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat sekaligus asbab al-nuzulnya. Tak lupa juga terjemah al-Quran Al-‘Alim Edisi Ilmu Pengetahuan.

Untuk sampai dalam kondisi seperti itu, pertama kali saya berusaha membebaskan al-Quran dari berbagai kesan yang profan seperti identiknya al-Quran dengan tradisi tertentu, budaya tertentu atau klaim otoritas golongan tertentu, seolah al-Quran adalah milik saya sendiri. Karena kalau kita mengidentikkan al-Quran dengan kesan tertentu maka jarak kita dengan al-Quran akan terasa jauh, kita tidak merasa ikut memiliki. Seterusnya, interaksi kita dengan al-Quran hanya sebatas ritualitas semata.

Kesulitan dalam “Membaca” al-Quran

Membaca, atau lebih dalamnya lagi mengkaji al-Quran pada dasarnya tidak serta merta bisa dilakukan oleh semua orang. Tidak otomatis seseorang yang membeli al-Quran di toko buku bisa segera membacanya di rumah dan mengambil pelajaran darinya. Karena banyak yang harus dipersiapkan oleh seseorang yang ingin “membaca” al-Quran. Menurut Jalaluddin al-Suyuti dalam kitabnya Al-Itqan ada 80 kategori ilmu pendukung apabila seseorang ingin “membaca” al-Quran. Di mana masing-masing kategori tersebut untuk mempelajarinya dibutuhkan pengamatan-pengamatan yang mendalam.

Selain itu seorang pembaca juga dihadapkan dengan berbagai macam model dan system penafsiran dari berbagai aliran keagamaan yang berkembang di dunia Islam, sebagaimana bisa dibaca dalam kitab Madzahib al-Tafsir al-Islami karangan Ignas Goldziher. Belum lagi bila dihadapkan dengan karya kontemporer tentang kajian al-Quran semisal tulisan Mohammed Arkoun dengan “Berbagai Pembacaan Al-Quran” nya, Fazlur Rahman dengan “Double Movement” nya, Nasr Hamid Abu Zaid dengan “Tekstualitas Al-Quran” nya, Muhammad Shahrur dengan “Hermeneutika Al-Quran Kontemporer” nya serta masih banyak lagi yang lainnya.

Keluasan isi al-Quran, kadang juga dibatasi oleh kajian secara parsial. Umat Islam disibukkan oleh satu tema al-Quran sedangkan tema-tema yang lain cenderung terlupakan. Contohnya, hampir semua energi ulama dan umat Islam dipergunakan untuk mengkaji ayat-ayat hukum yang jumlahnya seperlima. Sebaliknya, ayat-ayat kauniyah meskipun berjumlah sangat banyak, terabaikan. Sains sebagai perwujudan normative dari ayat-ayat kauniyah seolah-olah tidak terkait dan tidak mengantar orang Islam ke surga atau neraka sehingga tidak dibahas, baik di wilayah keilmuan maupun pengajian-pengajian.

Atau mungkin tentang pelestarian alam. Al-Quran sangat menganjurkan pemeluknya untuk menjaga dan melestarikan alam. Menurut al-Quran, alam dan segala isinya diciptakan Tuhan agar dipergunakan manusia secara bertanggung jawab. Al-Quran mengajarkan bahwa manusia wajib menjaga keseimbangan alam. Semua makhluk ciptaann Tuhan termasuk hewan, tumbuhan dan benda-benda mati berdzikir, memuja-muji Allah, Tuhan Semesta Alam. Tetapi faktanya umat Islam kurang greget (bersemangat) dalam usaha melestarikan alam.

Di sisi lain, banyak kalangan yang membenci al-Quran tidak memahami kondisi ini. Mereka hanya membaca terjemahan al-Quran dan menemukan ayat-ayat yang dianggap saling berlawanan atau mungkin bertentangan dengan akal sehat. Padahal persoalannya tidaklah sesederhana itu. Dengan berbekal pembacaan seperti itu mereka menambah rumitnya permasalahan dengan mengaburkan pemahaman umat Islam awam dengan menunjukkan bahwa di dalam al-Quran banyak sekali terdapat kekeliruan dan hal-hal yang tidak masuk akal. Sebagaimana yang sekarang marak dalam situs-situs jahat mereka.

Bagi orang awam tentu saja kondisi-kondisi di atas sangat menyulitkan untuk membuka akses mereka terhadap al-Quran. Bagi mereka membaca al-Quran dengan benar sesuai dengan tajwidnya saja sudah membutuhkan usaha yang ekstra keras. Berbagai metode sudah diciptakan hanya untuk bisa membacanya dengan benar.

Dari sini bisa diambil pengertian bahwa bagi umat Islam yang masih awam, pemahaman terhadap al-Quran sangat tergantung kepada pengajaran ulama. Jika tidak karena inisiatif ulama untuk mengajar umatnya yang awam mengenai al-Quran selama itu pula akses al-Quran terhadap mereka terputus. Umat hanya mampu membaca dalam pengertian yang sederhana. Selanjutnya, kondisi ini menyebabkan mereka kesulitan untuk menemukan persoalan-persoalan yang masih tak terpikir dan luasnya hal yang tak dipikirkan. Yang berkaitan dengan kebahagiaan mereka di dunia lebih-lebih di akhirat. Yang memberitahukan mereka tentang proyek jangka panjang, visi misi yang jelas dan kongkrit yang bisa dijadikan pedoman dalam mengarungi kerasnya kehidupan. Wallahu a’lam.

10 January 2010

Waktu Senggang


Waktu senggang hari-hari ini tak banyak berkaitan dengan reflektifitas atau kontemplasi. Waktu senggang kini lebih berkaitan dengan rekreasi. Dan dalam rekreasi itu orang pergi, ke luar dari diri, menuju dunia luar yang menyenangkan, seperti: tempat-tempat wisata, mall, club, negeri-negeri yang asing, wisata umroh, dan seterusnya.
Sekarang, pada abad postmodern ini dunia dikelola oleh dunia yang semu, maya, dunia informasi, terlebih lagi, dunia imaji dan sensasi. Manusia makin jarang dan sulit untuk sungguh bersentuhan dengan totalitas dirinya sendiri. Perenungan diri hanya tampil sebagai implikasi, atau lebih buruk lagi, ekses atau pelarian dari medan dunia semu yang mengepungnya.
Dahulu, pada masa Yunani Kuno, masyarakat polis terorganisir dan terstruktur rapi, terbagi menjadi dua lapisan, orang bebas dan para budak. Orang bebas mempunyai kesempatan luas berkecimpung dalam tataran filosofis, dalam bidang akademis, dalam mengapresiasikan seni, dalam bidang politik, berorganisasi dan berdebat. Ini dimungkinkan karena mereka memelihara dan menghidupi waktu senggang. Itu pula yang akhirnya memunculkan para pemikir avant garde kala itu seperti Anaxagoras, Parmenides, Heraklitos, Zeno, Socrates, Plato dan Aristoteles.
Waktu senggang bagi orang bebas dalam masyarakat Yunani Kuno terisi kegiatan berdiskusi tentang kebenaran dan upaya-upaya menjunjungnya, berrefleksi tentang berbagai gelagat peristiwa kehidupan yang telah, sedang, dan akan ada, berdistansi dan berabstraksi dengan realitas, dan seterusnya. Tak heran bila berbagai bentuk masterpiece dalam bidang seni, filsafat dan spiritualitas lahir dan berkembang di sana, lantas diwariskan dan dipelihara dari generasi ke generasi.
Pada abad pertengahan di Eropa, kaum bangsawan yang kaya raya mengisi masa mudanya dengan belajar ilmu pengetahuan di pusat-pusat kebudayaan, semisal di Andalusia Spanyol yang pada waktu itu menjadi pusat peradaban umat Islam. Menerjemahkan buku-buku filsafat berbahasa Arab ke dalam bahasa mereka. Sebagian yang lain membangun bangunan-bangunan yang megah, menciptakan karya seni, mengadakan diskusi-diskusi ilmiah dan melakukan eksperimen-eksperimen. Hal-hal tersebut mungkin dilakukan karena harta dan waktu senggang mereka. Kondisi inilah yang kemudian memunculkan Renaissance (abad Pencerahan).
Di kalangan umat Islam khazanah keilmuan dan keagamaan juga dihasilkan dari waktu senggang. Penguasa-penguasa zaman dahulu banyak mendirikan museum, perpustakaan, akademi, observatorium, pusat kajian ilmu pengetahuan. Para anggota dari tempat-tempat itu diberi tempat tinggal cuma-cuma, mendapat gaji, dan dibantu dalam riset mereka. Di semua akademi, perpustakaan, madrasah, rumah sakit dan observatorium yang disebutkan di atas, kebutuhan financial selalu dipenuhi agar para ilmuwan dapat mempunyai banyak waktu senggang dan dapat mencurahkan waktu sepenuhnya pada kegiatan belajar dan riset. Negara menciptakan waktu senggang bagi para ilmuwan dan insinyur untuk menghabiskan waktu mereka sepenuhnya dalam kegiatan riset, penemuan dan penulisan.
Kontemplasi dan pemikiran-pemikiran yang dilakukan di waktu senggang mungkin saja dapat memunculkan ide-ide yang tak terduga, menghasilkan karya yang luar biasa, atau inspirasi-inspirasi yang mengalir. Ini, terjadi ketika waktu senggang bukan hanya bermakna pengisi waktu untuk lebih banyak mengkonsumsi ilusi yang tak real. Banyak mengkonsumsi gaya hidup pop (generasi MTV), banyak menikmati hiburan media yang absurd dan irrasional. Bagaimana dengan waktu senggang Anda..?

03 January 2010

PERTARUNGAN TAK KUNJUNG SELESAI


MODERNISME: Kemajuan yang berdampak

Pandangan dunia a la Descartes yang mekanistik sebagai titik tolak modernisme telah berpengaruh kuat pada semua ilmu dan pada cara berpikir Barat pada umumnya. Metode mereduksi fenomena yang kompleks menjadi balok-balok bangunan dasar dan metode mekanisme yang dipakai untuk berinteraksi telah mendarah daging di dalam kebudayaan kita, sesuatu yang sering diidentifikasikan dengan metode ilmiah. Pandangan, konsep, atau pikiran yang tidak sesuai dengan metode ilmiah tidak akan dibicarakan secara serius dan biasanya dikesampingkan, jika tidak dijadikan cemoohan. Sebagai konsekuensi dari penekanan pada ilmu reduksionis ini kebudayaan manusia telah menjadi sangat terpecah-pecah dan telah mengembangkan teknologi, institusi, dan gaya hidup yang benar-benar tidak sehat

Pertumbuhan teknologi yang berlebihan telah menciptakan suatu lingkungan di mana kehidupan menjadi tidak sehat baik secara fisik maupun secara mental. Udara yang tercemar, suara yang mengganggu, kemacetan lalu lintas, bahan pencemar kimia, bahaya radiasi, dan banyak sumber stress fisik dan psikologis yang telah menjadi bagian kehidupan sebagian besar dari kita sehari-hari. Bahaya kesehatan yang multisegi bukan hanya akibat samping kemajuan teknologi yang bersifat incidental; bahaya itu merupakan cirri integrasi system ekonomi yang tergoda oleh pertumbuhuan dan perluasan,, yang terus menerus meningkatkan teknologi tingginya dalam rangka meningkatkan produktifitas. Di sisi lain sosialisme modern mengakibatkan otoritarianisme dan totalitarianisme yang ternyata terbukti menyengsarakan rakyat.

Dinamika yang mendasari problem-problem utama zaman kita, aids -kriminalitas, perlombaan senjata nuklir, polusi, inflasi, krisis energi- adalah satu dan sama. Semuanya merupakan residu peradaban yang tidak terreduksi oleh system yang kita kenal dengan modernisme. Jika kita melanjutkan pola-pola pertumbuhan yang terdifferensiasikan dewasa ini, kita akan segera kehabisan cadangan logam, makanan, oksigen, dan ozone yang menentukan kelangsungan hidup kita.

Hal ini diperparah dengan munculnya institusi korporasi yang menjadi cirri khas modernisme. Manusia, yang termasuk di dalam institusi itu dan orang-orang yang harus berhadapan dengan institusi itu merasa terasing dan kehilangan kepribadian, sedangkan keluarga, lingkungan tetangga, dan organisasi social skala kecil terancam dan seringkali dirusak oleh dominasi dan eksploitasi institusional.

Jika konsekuensi-konsekuensi kekuatan korporasi berbahaya di negara-negara industri, maka di Negara Dunia Ketiga konsekuensi-konsekuensi itu merupakan malapetaka. Di Negara-negara itu, di mana pembatasan resmi sering tidak ada atau tidak mungkin diberlakukan, eksploitasi manusia dan tanah mereka telah mencapai perbandingan yang ekstrem. Dengan bantuan manipulasi media yang terampil, yang menekankan pada sifat dasar perusahaan yang “ilmiah”, dan seringkali dengan dukungan penuh dari pemerintah Amerika Serikat korporasi-korporasi multinasional itu dengan kejam menyedot sumber daya alam Dunia Ketiga. Untuk itu, mereka sering menggunakan teknologi yang menimbulkan polusi dan ganguan social, dan oleh karena itu menyebabkan bencana lingkungan dan kekacauan politik.

Mereka menyalahgunakan sumber daya tanah dan belantara Negara-negara Dunia Ketiga untuk menghasilkan tanaman pangan untuk yang menguntungkan ekspor dan bukannya tanaman pangan untuk penduduk local, dan mereka juga mendukung pola-pola konsumsi yang tidak sehat, termasuk penjualan produk-produk yang sangat berbahaya yang telah dilarang di Amerika Serikat.

Banyak cerita mengerikan tentang perilaku korporasi di Dunia Ketiga yang telah muncul pada tahun-tahun terakhir menunjukkan dengan meyakinkan bahwa penghormatan pada manusia, alam, dan pada kehidupan bukan menjadi bagian dari mentalitas korporasi. Sebaliknya, kejahatan-kejahatan korporasi dalam skala besar kini merupakan aktifitas yang paling meluas dan paling sedikit diajukan ke pengadilan. Kebutuhan-kebutuhan mendasar masyarakat diubah menjadi suatu komoditi yang dapat dijual kepada konsumen menurut aturan-aturan ekonomi “pasar bebas”. Sedangkan bantuan ekonomi adalah mengambil uang dari orang-orang miskin di Negara-negara kaya dan memberikannya pada orang-orang kaya di Negara miskin. Mereka memberitahu kita tentang berkilaunya masakan dan pakaian, tetapi lupa menyebutkan hilangnya sungai dan danau yang berkilau.

POST MODERNISME: Gerakan Ketidakpuasan

Kebudayaan baru yang sedang bangkit ini mempunyai suatu visi realitas yang masih sedang dibicarakan dan dieksplorasi pada saat ini tetapi lambat laun akan muncul sebagai sebuah paradigma yang baru, yang dipersiapkan untuk mengalahkan pandangan dunia a la Descartes di dalam masyarakat kita yang terbukti membawa dampak buruk bagi kemanusiaan.

Maka dari itu postmodern percaya bahwa narasi besar telah kehilangan kredibilitas dan tidak lagi memadai untuk memahami dunia kontemporer. Mereka yakin bagian fragmen tidak dapat digunakan untuk memahami keseluruhan, dan demikian pula sebaliknya. Menurut mereka, masing-masing fragmen atau konstruksi fragmen yang lebih kecil menduduki wilayah filosofisnya sendiri, memiliki makna yang dapat ditafsirkan tanpa harus merujuk pada gambaran yang lebih besar. Dengan demikian, mereka mengklaim bahwa narasi besar telah mati dan sekarang yang ada adalah, Jean Baudrillard, “permainan fragmen-fragmen”. Apakah memang benar demikian? Bila benar demikian, apa criteria untuk menentukan apakah suatu tindakan benar atau salah?

Sampai juga kita pada sebuah masa di mana segala sesuatunya membutuhkan penerjemahan baru. Apa yang disebut oleh orang-orang sebelumnya sebagai modern ternyata mesti segera dibuang ke tempat sampah karena keusangannya. Abad kegemilangan rasio digugat, realitas meluruh hingga tak lagi kita dapat dibedakan antara yang nyata dan tak nyata, segala totalitas menyebar, pusat runtuh, berbagai peristiwa mencuat mengganggu pada tahun 1968, serangkaian transformasi sosio ekonomi dan kebudayaan pada tahun 1970 dan 1980 menunjukkan bahwa kerusakan masyarakat sebelumnya telah muncul.

Hingga ada yang merindukan kembali pada masa keemasan Yunani dan Romawi, sementara lainnya kelabakan merancang tata social-politik baru di tengah ledakan-ledakan media, computer dan teknologi-teknologi baru, restrukturisasi kapitalise, perubahan politik, bentuk-bentuk kebudayaan baru, dan pengalaman-pengalaman ruang dan waktu baru menghasilkan suatu kondisi dimana perkembangan dramatis telah terjadi dalam budaya dan masyarakat. Post modernisme adalah filsafat yang tidak menyukai totalitas dan gerakan besar untuk mengahadapi persoalan besar, yang disebutnya sebagai “Narasi Agung” (Grand Narrative). Post modernisme menentang pendidikan ideologis dan gerakan politis. Serta menolak objektifitas dan metode mencari objektifitas yang disebutnya sebagai positivisme.

NEO MODERNISME: Kemarahan Kaum Ideolog

Dengan kemunculan Post Modernisme ternyata tidak serta merta persoalan selesai. Banyak di kalangan pemuja modernisme yang tidak terima mengenai keberadaannya. Alex Callinicos dalam bukunya yang berjudul Against Postmodernisme menggambarkan bagaiman postmodernisme meluas akan tetapi tidak mencari sumber ilmu pengetahuan, di mana realitas material yang akan dijelaskan menjadi acuannya, tetapi justru sibuk pada makna manusia dalam memersepsikan realitas. Dikatakan, bahwa bagi kaum post modernist, filsafat dan pengetahuan bukan lagi persoalan bagaimana memahami objek, tetapi telah beralih menuju persoalan bahasa, struktur pikiran, ilusi, makna, dan lain sebagainya. Dikatakan pula filsafat ini menjadi cara berpikir orang yang acuh terhadap realitas, karena realitas seakan tak ada gunanya dipahami, tetapi hanya dimaknai. Pemikiran yang sangat subjektif dan tidak serius.

Gunnar Myrdal, Ernest Gellner dan Andre Gorz dan kaum ideology yang lain kebakaran jenggot dan menggugat keberadaan filsafat post modernisme karena dianggap mengancam totalitas ideology mereka. Post modernisme adalah suatu gerakan yang –sebagai tambahan dari cacat lain: ketidakjelasan, kepura-puraan, ikut-ikutan, berlagak- melakukan kesalahan-kesalahan besar dalam metode yang direkomendasikannya. Kesukaannya akan relativisme dan perhatian berlebihan terhadap keanehan semantic membuatnya tidak dapat melihat aspek non-semantik yang ada dalam masyarakat dan, yang paling penting, asimetri yang mutlak meluas dalam kekuasaan kognitif dan ekonomi di dunia ini. Berkompromi dengan kekacauan global, yang diakibatkan oleh suatu kekuatan kognitif serta teknologi tertentu (teknologi informasi). Relatifisme yang menjadi sumber post modernisme tidak memiliki, dan tidak bakal memiliki, satu programpun, apakah itu politik atau bahkan dalam metode penelitian, usaha untuk membawa objeknya sendiri yaitu makna dari The Other. Terlalu memaksa objek untuk berbicara mewakili dirinya sendiri.

Pertarungan Yang Tak Kunjung Selesai

Filsafat adalah suatu ketidaktuntasan, yang tidak tuntas bukan hanya pencarian kebijaksanaan itu, melainkan juga upaya untuk menyatakan obyeknya itu sendiri, yaitu dunia atau realitas, tidak pernah mencapai maksudnya. Tugas filsafat adalah menemukan hakikat segala sesuatu, namun apa yang disebut hakikat tidak pernah dapat dideskripsikan sebagaimana adanya.

Filsafat adalah sebuah ketidaktuntasan. Filsafat tidak berhenti pada postmodernisme yang menghancurkan segala stagnasi dan dogmatisme, namun sekaligus menyudahi upaya untuk menciptakan dunia baru dengan pemaknaan baru. Tidak ada kata selesai, jika sebuah pemikiran filsafat dianggap selesai maka serta merta berubah menjadi ideologi. Dan itu berarti menjadi suatu masalah. Selamat bertarung..!

BUKU: Mempengaruhi Kehidupan


Membaca buku memang mengasyikkan, bisa lupa waktu dan bisa bikin lupa daratan. Seperti masuk ke dunia lain. Membuka lembar demi lembar, diiringi rasa penasaran untuk menemukan apa yang ada di balik lembar berikutnya. Ketika lembar halaman yang dibaca akan habis, hati menjadi resah karena kegiatan membaca akan terhenti, dan itu berarti akan kembali ke dunia nyata yang penuh dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Atau berarti harus membeli buku baru lagi untuk dibaca yang tentunya harus ada anggaran untuk itu. Mungkin seperti iklan rokok, Perhatian….membaca buku bisa menimbulkan kecanduan. Dampak lain, kalau tidak membaca tubuh akan mengalami sakaw karena ketagihan yang tidak terpenuhi. Atau, ketika asyik meringkuk dalam kamar tahu-tahu isteri marah-marah karena banyak pekerjaan rumah yang tidak tersentuh.

Semua orang pasti membaca, entah itu membaca resep masakan, petunjuk konsumsi obat pada bungkus, membaca sms atau juga membaca buku pelajaran atau diktat kuliah, tapi tidak semua bisa menikmati membaca seperti yang saya sebutkan di atas. Karena mungkin saja seseorang rajin membaca karena tuntutan tugas kuliah, tuntutan profesi atau membaca supaya bisa berbicara dengan kosakata yang populer dan keren di hadapan audience.

Hobi membaca saya, kalau dirunut ke belakang, diimulai sekitar kelas dua SD. Dimulai dengan membaca majalah anak-anak bekas yang dibelikan oleh Bapak di pasar buku bekas di Malang, tepatnya dulu di baratnya pasar Boldy. Disamping membaca buku-buku di perpustakaan SD di mana bapak mengajar. Ketika Bapak pergi ke Malang, oleh-oleh yang paling saya tunggu adalah majalah anak-anak bekas seperti Bobo, Kawanku, Ananda, Si Kuncung, Hai, Tom Tom dan majalah Donald Bebek. Semuanya bekas, pernah juga sekali dibelikan buku baru tipis di Toko Buku Paling Lengkap, toko buku yang terletak di sebelah utara Kayu Tangan setelah merengek beberapa lama.

Ketika SMP, paling sering baca komik silat seperti Jaka Tuak, Panji Tengkorak, Si Buta, Mandala, Golok Setan dan lain-lain, super hero seperti Gundala, Godam, Maza dan kawan-kawannya serta novel seperti Agatha Christie, Wiro Sableng Pendekar Kapak Naga Geni 212, Kho Phing Ho, Petualangan Old Shaterhand dan Winnetou kepala suku Apache juga Lima Sekawan yang kupinjam dari dua persewaan di desaku. Atau sekali-sekali nyolong untuk membaca novel Nick Carter yang pada masa itu dikenal sebagai novel orang dewasa. Karena keseringan mengunjungi penyewaan buku dan komik, pada waktu itu yang nyantol di otak adalah nama tokoh-tokoh dan alur cerita, bukannya rumus-rumus kimia atau fisika dari sekolah.

Semasa SMA, kegiatan membaca sempat terhenti karena waktu banyak tercurahkan untuk mempelajari mata pelajaran sekolah yang sudah mulai sulit, di samping itu juga karena aktif dalam kegiatan organisasi. Tetapi pada suatu ketika, waktu kelas 3, saya menemukan buku bekas terjemahan al-Hikam karya Syaikh Atho’illah al-Sakandari. Sebuah buku yang mengkaji tentang ilmu tasawuf atau ajaran-ajaran asketik dalam Islam. Buku itulah kemudian yang mempengaruhi jalan pikiran saya pada waktu itu. Dari yang setiap hari mengkaji ilmu-ilmu eksak di sekolah, kemudian muncul ketertarikan untuk mempelajari kajian-kajian keIslaman. Berawal dari situ, saya kemudian mempelajari bahasa Arab supaya bisa lebih bisa membaca dan memahami literatur-literatur Arab. Sampai kemudian ketika semester akhir kuliah S1, saya menemukan buku milik kakak saya yang berjudul Ideologi Kaum Intelektual karya Dr. Ali Syariati seorang pemikir dari Iran yang bercerita tentang peran penting seorang intelektual di dalam membangun masyarakatnya. Buku ini yang kemudian membangkitkan minat saya untuk membaca buku-buku yang bertemakan sosial, sastra, filsafat atau buku-buku humaniora lainnya.

Pada waktu kuliah itu juga saya membeli sebuah buku yang berjudul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Yang merupakan catatan harian berupa pemikiran Ahmad Wahib terhadap fenomena atau peristiwa yang ada disekitarnya. Buku inilah yang akhirnya menyemangati saya untuk menuliskan apa-apa yang ada dipikiran-pikiran saya. Sampai sekarang pikiran-pikiran saya itu sudah tertulis di dua buku agenda tebal, yang sebagian kecil di antaranya saya tulis diblog www.matahati-hatibermata.blogspot.com . Yah, cuma tulisan-tulisan tentang apa yang terlintas di dalam pikiran, bukan tulisan bermutu atau yang memenuhi syarat-syarat kepenulisan yang baik. Keinginan menulis itupun terwujud akhir-akhir ini saja. Karena memang secara faktual, lingkungan sekitar saya kurang mendukung untuk itu disamping disibukkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan usaha untuk bisa bertahan hidup atau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sekarangpun keinginan untuk menulis itu tetap ada, walaupun lebih banyak disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan. Ingin sekali menulis sebuah buku yang tidak berkaitan dengan hal-hal yang terlalu berbau akademis (yang disibukkan dengan kutip sana kutip sini, foot note, end note dan sebagainya) tapi murni karena inspirasi dan hasil memberi makna pada kehidupan.

Kembali mengenai membaca buku, kegiatan ini memang terbukti mempengaruhi kehidupan. Dengan membaca buku saya akhirnya dapat menemukan atau melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Walaupun toh buku tersebut merupakan buku bekas, yang kalau dilihat harganya mungkin tidak seberapa. Dari perjalanan membaca buku di ataslah yang kemudian berperan besar dalam membentuk model kehidupan yang saya jalani sekarang ini. Setiap keputusan yang saya ambil dalam menghadapi masa-masa sulit berasal dari inspirasi yang saya peroleh dari membaca buku. Hal inilah yang kemudian selalu mendorong saya untuk selalu dekat dengan buku dan membacanya…

Setiap ada buku baru, sebenarnya hati ini selalu penasaran tentang isinya. Apalagi ketika berjalan-jalan di toko buku menimang buku-buku yang masih terbungkus plastic. Tetapi apa daya ati karep tenogo seret, ingin membeli tapi kantong tipis. Solusi terbaik akhirnya dengan banyak membaca resensi-resensi buku yang bertebaran di media massa maupun internet, sehingga bertemu dengan para resensor seperti M Iqbal Dawami, Sidik Nugroho Wrekso Wikromo dan yang lain-lain . Dari blog-blog mereka, saya mendapat banyak inspirasi. Di antaranya adalah tulisan M Iqbal Dawami di blognya www.penulispinggiran.blogspot.com yang berjudul “Mereka yang Tercerahkan dengan Menulis”.

Solusi lain, karena kurangnya finansial untuk membeli buku adalah dengan membaca buku dari perpustakaan, baik yang ada di kampus atau di tempat lain. Bahkan pernah juga terbetik dalam pikiran untuk menyewakan tanah pemberian orang tua untuk membeli buku (he..he..he..). Dari pada menahan diri dan ngiler melihat buku-buku bagus yang seperti menggoda saya dan melambai-lambaikan tangan untuk dibaca.